- Oktober 16, 2020
- Posted by: AstriSO93
- Category: Catatan
Trubus Bina Swadaya (TBS) menyoroti peran petani yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan pokok dan ketahanan pangan masyarakat Indonesia, dalam diskusi No Farmers, No Food, No Future. Diskusi ini dilaksanakan pada momentum perayaan Hari Pangan Sedunia pada Jumat, 16 Oktober 2020.
Diskusi daring dengan tema No Farmers, No Food, No Future tersebut menghadirkan pembicara Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santoso bersama Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, Yunita Triwardani Winanto dan Pengamat AEPI dan Komite Pendayagunaan Pertanian, Khudori.
Selain itu, diskusi yang dipandu oleh Moderator Pengurus Yayasan Bina Swadaya, Indro J. Surono juga memberikan atensi menyampaikan pendapat kepada Petani Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI) Indramayu, Nurkilah dan PPTPI Sumedang Nandang Heryana.
Petani PPTPI Indramayu, Nurkilah menjelaskan masih bertahan dalam profesi bertani karena panggilan jiwa dalam tugas yang mulia, bisa menghidupi masyarakat Indonesia melalui jerih payah keringatnya. Masalah yang terberat dipikulnya saat ini adalah ketimpangan biaya produksi pertanian dengan harga dari hasil penjualan yang menurun drastis, justru ketika panen tiba.
Keresahan lainnya yang dirinya hadapi adalah, berkurangnya jumlah tenaga kerja petani, terutama petani muda. Kekurangan tenaga kerja petani turut membuat ongkos produksi pertanian lebih mahal.
Meski demikian Nurkilah tetap bersyukur bisa mengikuti kegiatan Warung Ilmiah Lapangan (WIL) yang menjadi sumber inspirasi untuk petani belajar memahami agrometeorologi dan agroekosistem. Program pelajaran tersebut mampu mengatasi petani mengurangi kerugian akibat dampak perubahan iklim dan sebab-sebab timbulnya hama dan penyakit.
“Tenaga kerja mahal, menyebabkan biaya produksi meningkat, hasil produksi, tidak kebijakan harga yang baik untuk hasil produksi,” jelasnya.
Keluhan yang senada juga diungkapkan petani PPTPI Sumedang, Nandang Heriana yang menanam padi dan komoditas holtikultura lainnya. Selain masalah ongkos produksi dan harga panen yang jatuh, dirinya juga dihadapkan pada ketergantungan pengairan dalam bercocok tanam, bertahan menunggu tadah hujan.
“Dalam pandangan saya, gagal panen bukan karena panennya kurang atau sedikit. Tetapi ketika panen melimpah harga murah, saya mengganggap hal tersebut sebagai gagal panen,” jelasnya.
Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, Yunita Triwardani Winanto memaparkan, petani Indonesia saat ini masih termarjinalisasi secara ekologis dan budaya pada lahannya sendiri. Dirinya membandingkan petani dalam masa sebelum dan sesudah revolusi hijau.
Setelah revolusi hijau, kebijakan pemerintah mengatur apa yang harus ditanam? kapan menannya? di mana? dan bagaimana? telah membawa petani Indonesia kepada target pembangunan pertanian yang membawa kepada konsumen sarana produksi seperti penggunaan pembasmi hama pestisida. Para petani hampir mencampur dengan berbagai bahan seperti herbisida, insektida, fungisida.
Hasilnya malah menimbulkan hama wereng dan virus menjadi tak terkendali seperti pada kasus salah satu lahan sawah di Balongan Indramayu pada musim hujan 2020.
“Para petani tidak mengerti bahaya pestisida bagi dirinya sendiri, dan dengan kapasitas racunnya. Pertimbangan lainnya adalah jika musuh alami dari hama tersebut musnah terkena racun pestisida malah menimbulkan masalah baru. Racun dijadikan obat, hal tersebut merupakan kesalahan makna budaya dan saling bertentangan secara arti,” Jelasnya.
Selanjutnya, Yunita juga menjelaskan, tantangan petani lainnya lebih komplek dengan konsekuensi perubahan iklim, meningkatnya variabilitas iklim, peningkatan suhu global, semakin sering dan semakin parahnya peristiwa peritiwa ekstrem menyebabkan risiko bagi pertanian yang semakin tidak menentu, sulit diduga, tidak lazim.
Selain itu, perubahan iklim juga berdampak pada bertambahnya jumlah hari kering, semakin berkurangnya jumlah hari basah, tetapi dengan intensitas dan distribusi hujan yang sulit diduga. Hal lain yang memperparah keadaan adalah peristiwa El Nino dan La Nina semakin tidak teratur.
“Edukasi dan literasi bagi petani sangat penting. Kita tidak cukup hanya memberikan teknologi tetapi pengetahuan,” tegasnya.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santoso mengatakan, pertanian dengan total pekerja 33 juta orang menjadi salah satu sektor terpenting dari lima sektor dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 5 juta orang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Menurut produk domestik bruto (PDB) Triwulan II tahun 2020, pertanian menjadi sektor pertumbuhan yang positif 2,19 secara year on year.
Hal ini terjadi di saat semua sektor seperti industri pengolahan, konstruksi, penyedia akomodasi dan makanan minum, perdagangan besar dan eceran mobil, sepeda motor mengalami pertumbuhan negatif.
Catatan data BPS juga menunjukan pada tahun 2017 tercatat sebanyak, 39,68 juta pekerja di sektor pertanian, sedangkan tahun 2020 menurun menjadi 38,05 juta. Yang membuat prihatin adalah rata-rata upah buruh sektor pertanian paling rendah di antara 17 sektor lainnya, bahkan kalah bersaing dengan upah buruh bangunan.
“Buruh tani pada bulan Juli 2020, hanya 62 persen dari upah buruh bangunan di Indonesia,” ungkapnnya.
Andreas menjelaskan, saat Pendemi Covid -19, Nilai Tukar Petani (NTP) selama pendemi Covid-19 merosot tajam, Bahkan menjadi yang terendah selama 20 tahun terakhir yakni mencapai 100 persen. NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase.
“Nilai Tukar Petani (NTP) Gabungan Nasional juga menjadi yang terendah selama 6 tahun terakhir,” tambahnya.
Selanjutnya, Pengamat AEPI dan Komite Pendayagunaan Pertanian, Khudori menyampaikan bahwa, sumbangsih petani untuk negeri Indonesia sangat besar, meski dalam survei-survei usaha ongkos tani padi SUPAS 2018, menunjukan gaji buruh petani rata-rata hanya Rp12 juta/tahun, atau Rp1 Juta/bulan.
Survei usaha ongkos tani padi SUPAS 2018 sebenarnya juga menunjukan, bahwa usaha tani padi masih menguntungkan. Nilai produksi Rp18,51 juta, ongkos produksi Rp13,55 juta dan pendapatan Rp4,95 juta berati tingkat keuntungan padi sawah 26,76persen dalam satu musim (4 bulan). Persentase ini lebih besar dari petani ladang 21,26 per musim.
Salah Hambatan terbesar bagi petani saat ini adalah ongkos produksi. Ongkos produksi petani baik di ladang maupun di sawah adalah biaya terbesar usaha tani padi adalah upah pekerja, jasa pertanian dan sewa lahan.
Pada padi sawah dan ladang hampir sama 74,39 persen (sawah) dan 74,26 persen (ladang). Catatan BPS juga mencatat ada porsi komponen tenaga kerja tak dibayar juga besar 14,36 persen (sawah) dan 32,84 persen (ladang).
“Ini yang membuat pengeluaran ongkos petani sangat besar. Karena Pekerja di desa semakin sulit,” jelasnya.
Khudori juga menjelaskan, Profil usaha tani padi Indonesia, di mana hanya 29,3 (sawah) dan 16,37 (ladang) dapat pinjaman bank. Sekitar 50-60 persen memakai dana sendiri atau masih mengandalkan pinjaman dari rentenir. Selain itu, 99,18 persen (sawah) dan 66,12 persen (ladang) tidak menjalin kemitraan usaha buat menjamin pasar dan harga.
Khudori menyampaikan bahwa, dalam konteks kontribusi pemenuhan pangan, hingga saat ini petani adalah profesi yang belum dihargai di Indonesia. Salah satu yang bisa dilihat adalah insentif yang diterima dari berbagai hal, petani menerima intensif dengan harga sangat tidak memadai.
Karena itu, momentum Covid-19, mengajarkan kepada kita bahwa negara-negara yang menggantungkan kepada pangan impor ternyata tidak bisa menjadi solusi.
Dengan sumber daya Indonesia di negara tropis semestinya dapat meiliki keunggulan dari faktor tersebut. Tinggal bagaimana pemerintah merakit dan membuat insentif yang memadai untuk menarik kaum milenal.
“Bahkan di negara maju saat ini, Intensif untuk petani milenial sangat besar,” pungkasnya.