- Februari 4, 2021
- Posted by: AstriSO93
- Category: Gerakan Revitalisasi Desa
Bincang-Bincang Wisma Hijau (BBWH) diawali dengan pertemuan tatap muka pada 17 Januari 2020 dengan tema Mengapa Desa Perlu Direvitalisasi(?). Dalam kondisi pandemi Covid 19, BBWH berlanjut secara webinar dan sampai Januari 2021 telah terselenggara 17 kali. Pada 21 Januari 2021 BBWH tampil dengan tema Mewujudkan Pencapaian SDGs Desa dengan pembicara utama Bapak Dr. (HC) Drs. A. Halim Iskandar, M.Pd, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Kiranya kedua tema diskusi BBWH tersebut perlu di dicermati lebih lanjut untuk kebaikan semua.
Sebagai penulis buku SDGs Desa, Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan, Bapak Halim Iskandar mengurai, bahwa SDGs (Sustainable Development Goals, 2015 – 2030) adalah konsep pembangunan global yang dilaksanakan secara Nasional. SDGs adalah kelanjutan dari MDGs (Milenial Development Goals, 2000 – 2015) dengan menyerap pemikiran para ahli terkait pembangunan yang berpusat pada warga (people-centered development). SDGs mencakup 17 tujuan dengan 169 target yang saling terkait, saling mempengaruhi, inklusif dan terintegrasi satu sama lain. Agar memberi hasil dengan manfaat bagi rakyat banyak, SDGs perlu dilokalkan menjadi SDGs Desa. Untuk itu, 17 SDGs yang ada perlu ditambah 1 SDGs ke 18, yaitu: Kelembagaan desa dinamis dan budaya desa yang adaptif.
Rakyat Indonesia yang sebagian besar hidup di desa-desa, sebagian besar berada dalam kondisi miskin dan terbelakang, membutuhkan perbaikan kehidupan melalui pembangunan. SDGs adalah upaya pembangunan yang lengkap dan sangat dibutuhkan di desa-desa. Sementara itu SDGs hanya akan bergerak kalau ada kelembagaan desa yang dinamis dan ditunjang oleh budaya yang adaptif. Masalahnya, seturut penelitian Clifford Geerd yang menyimpulkan bahwa kelembagaan tradisional masyarakat Jawa seperti arisan, jimpitan, sinoman, selapanan dan lain-lain bersifat normless dan structuraless, sehingga tidak instrumental untuk program pembangunan. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat di desa-desa, sejak 1970 Bina Swadaya membentuk kelembagaan baru yang disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau Self Help Group (SHG), yaitu perkumpulan orang-orang secara bersama menolong diri sendiri. Pembentukan KSM berlangsung melalui proses musyawarah dan mufakat, silih asah – silih asih – silih asuh. KSM bekerja mendasarkan prinsip-prinsip koperasi, maka disebut juga Koperasi Berbasis Masyarakat atau Community Base Cooperative. KSM berorientasi pada upaya peningkatan pendapatan anggota, berwawasan keterbukaan serta dikelola secara demokratis dan partisipatif. Untuk mewujudkan KSM yang efektif perlu diadakan pelatihan dan pendampingan bagi anggota dan pengurus. Untuk itu Bina Swadaya menyelenggarakan program pelatihan khusus bagi pendamping KSM.
Ternyata pendekatan kelembagaan KSM banyak dijadikan instrumen berbagai program pembangunan dengan nama berbeda-beda. Dalam program Seed Money for Women Participation in Development bagi para akseptor Keluarga Berencana, BKKBN yang didukung UNFPA (United Nations Fund for Population Affairs) membentuk kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), sebanyak 650.000 kelompok. Program IDT membentuk 120.000 POKMAS (Kelompok Masyarakat) IDT. Program Perhutanan Sosial di Pulau Jawa membentuk 9.000 Kelompok Tani Hutan (KTH). Sementara di wilayah-wilayah pasca bencana dan pasca konflik, istilah KSM tetap dipakai ketika membentuk kelompok-kelompok solidaritas. Pembentukan KSM oleh berbagai lembaga Pemerintah, Swasta maupun Filantropi yang difasilitasi Bina Swadaya dalam dekade 1980an dan 1990an mencapai sekitar 1 juta yang beranggotakan sekitar 25 juta (keluarga).
Dalam era demokratisasi serta desentralisasi, dan setelah diundangkan UU no 6/2014 tentang Desa, upaya peningkatan keberdayaan masyarakat mendapat momentum baru. Dalam UU Desa terdapat prinsip rekognisi dan subsidiaritas, merupakan sikap menghargai kearìfan lokal, sekaligus merupakan penegasan pengakuan negara terhadap keberadaan dan kewenangan desa. Lebih dari itu, desa-desa akan menerima dana desa dari APBN untuk dipergunakan sesuai kebutuhan. Merespon perkembangan ini, Bina Swadaya bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Batang, Jawa Tengah (2016 – 2018) menyelenggarakan pilot proyek pemberdayaan masyarakat desa, membentuk 100 KSM di 10 Desa. Dari pilot proyek ini kemudian disusun program pembangunan desa berkelanjutan secara partisipatif dengan dukungan multipihak, disebut Gerakan Revitalisasi Desa (GRD). Terhadap proses marginalisasi yang menjadikan desa-desa semakin miskin dan terbelakang, GRD berusaha membendung melalui solidaritas masyarakat secara swadaya dalam kelembagaan yang solid yaitu KSM, mengajak seluruh warga desa bergabung, no one left behind. KSM-KSM yang kebanyakan dikelola ibu-ibu menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam mengarah terwujudnya sistem keuangan mandiri di desa-desa. Selanjutnya untuk menangani kegiatan-kegiatan lebih luas bidang produksi pertanian dan non pertanian, penerapan teknologi tepat guna, kerjasama dengan pihak-pihak di dalam maupun diluar desa, termasuk lembaga perbankan dan lain-lain, dibentuklah Koperasi Serba Usaha (KSU) yang berakar pada KSM-KSM. Sebagai lembaga milik warga, KSU bersama BUMDes bekerjasama dengan Pemerintah Desa menyelenggarakan pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan desa mandiri, maju dan sejahtera.
Kami yakin kelembagaan masyarakat dinamis yang terwujud dalam penyelenggaran GRD akan mendukung percepatan pencapaian SDGs Desa. Senergi antara keduanya akan saling memperkaya pengalaman dan memperkuat proses pembangunan desa berkelanjutan. Keduanya saling mengisi, laksamana tumbu oleh tutup, tumbu mendapatkan tutupnya. Semoga.
Oleh Bambang Ismawan.