Pandemi Covid-19 Ancam Krisis Ketahanan Pangan, Apa yang Harus Dilakukan?

Pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia jelas memengaruhi berbagai aspek kehidupan, tidak hanya dari sisi kesehatan saja, pandemi Covid-19 berpotensi menggangu ketersediaan, hingga terganggunya akses pangan. Organisasi Pangan Sedunia (FAO) mengungkapkan, potensi krisis pangan di masa pandemi mengancam hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dalam kondisi normal, kebutuhan pangan normal masih mengandalkan produksi pangan dari luar negeri. Banyak komoditas pangan pokok yang harus diimpor dari negara lain.

Melalui diskusi publik Building Forward Better, Bina Swadaya turut menyoroti permasalahan ketahanan pangan di masa pandemi Covid-19. Membuka diskusi publik dua mingguan ini, Ketua Pengurus Yayasan Bina Swadaya, Bayu Krisnamurthi menyatakan bahwa Indonesia saat ini telah melewati krisis yang diciptakan akibat pandemi Covid-19 dan juga resesi. Saat ini pemulihan ekonomi di tengah pandemi menjadi prioritas pemerintah.

Bayu mengatakan, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp900 Triliun di tahun 2020 untuk pemulihan ekonomi. Tahun ini pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp500 Triiun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Menurut pakar Ekonomi UGM Poppy Ismalina, pemulihan ekonomi harus dilakukan secara berkeadilan dan berkelanjutan. Artinya pemulihannya harus Build Forward Better,” ujarnya.

Bayu mengungkapkan, pemulihan yang dimaksud, bukan mengembalikan keadaan sebelum masa pandemi Covid-19, dirinya menekankan bahwa kita harus bisa lebih dari itu. “Kita ingin menjadi lebih baik, termasuk dalam melakukan pemulihan ekonomi,” tambahnya.

Salah satu topik yang akan dibawah pada sesi diskusi publik kali ini adalah ketahanan pangan. Pada masa pemulihan ekonomi, kita ingin ketahanan pangan kita kuat. Bayu menyatakan, komponen pertama ketahanan pangan adalah kesejahteraan petani. Bina Swadaya sangat percaya bahwa No Farmers, No Food, No Future.

“Tidak ada petani, tidak ada makanan. Tidak ada makanan berarti tidak ada masa depan. Kalau kita ingin bangun ketahanan pangan, harus ada petani-petani yang menanam dan mengusahakannya. Petani-petani ini harus sejahtera,” ujarnya.

Pertanyaan paling utama adalah bagaimana caranya melakukan pemulihan ekonomi yang juga membuat kesejahteraan petani meningkat. Sehingga ketahanan pangannya di bangun di atas pilar kesejahteraan petani. Dirinya menegaskan, ketahanan pangan yang dimaksud adalah pangan dan gizi yang ada di piring makan masyarakat.

“Pandemi Covid-19 betul-betul menegaskan kepada kita betapa pentingnya gizi yang seimbang. Ketahanan pangan bukan hanya soal swasembada, tapi lebih pentingnya bagaimana pangan tersedia di meja makan dan dikonsumi oleh masyarakat,” tegasnya.

Senada dengan Bayu Krisnamurthi, Dosen dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University, Dr Drajat Martiano mengatakan, tujuan akhir dari pencapaian ketahanan pangan bukan pada komoditas pangan, tetapi untuk mencapai kualitas hidup tinggi dari konsumsi pangan yang baik.

“Artinya, kebutuhan pangan terpenuhi baik secara jumlah dan kualitas. Namun, faktanya penduduk Indonesia, jika dilihat dari status gizi masih jauh dari berkualitas dan kita masih mengalami banyak masalah dasar untuk pemenuhan gizi,” ujar Drajat Martino dalam diskusi publik Build Forward Better yang digagas Bina Swadaya itu.

Menurutnya, Indonesia masih banyak mengalami permasalahan gizi. Utamanya adalah kekurangan nutrisi, seperti underweight dan tingkat stunting yang tinggi. Stunting hingga kini masih menjadi masalah penting bagi Indonesia karena kasusnya masih di atas 30 persen. Hal ini dampak negatifnya besar bagi anak. Kekurangan gizi akan mengakibatkan rendahnya kecerdasan dan kapasitas fisik.

Drajat mengungkapkan bahwa menurut World Health Organization (WHO) permaslahan stunting di Indonesia masuk kategori sangat tinggi. Salah atau alasannya adalah makanan orang Indonesia yang kurang beragam. Masih banyak masyarakat yang tidak mengkonsumsi makanan yang beragam jenisnya. Indonesia masuk dalam negara yang masyarakatnya tidak mampu mengakses makanan yang sehat dan beragam.

Selain itu masalah lainnya adalah kelaparan yang tidak terlihat atau micronutrient deficiency. Masalah ini terjadi karena seseorang kekurangan vitamin dan mineral. Padahal keduanya adalah zat gizi yang penting untuk menjamin imunitas dan keseimbangan tubuh. Penyakit yang paling sering muncul adalah anemia pada ibu hamil. Angkanya masih di atas 40 persen dan terus meningkat. Hal ini perlu upaya intensif antar seluruh elemen turut menyelesaikan masalah tersebut.

“Solusinya adalah membangun pangan harus berbasis sistem. Bukan hanya fokus pada komoditas tapi pada kemanan dan kualitas pangan. Hal ini bisa dicapai dengan adanya integrasi yang inklusif pada saat perencanaan, implementasi hingga tahan evaluasi yang didukung dengan kebijakan yang tepat. Selain itu keberlanjutan dari ketersediaan pangan harus di prioritaskan pada pangan lokal sebagai kontributor utama dalam pemenuhan pangan,” ujarnya menambahkan.

Lebih lanjut dirinya mengatakan, bahan pangan lokal kurang dikembangkan bahkan cenderung ditinggalkan. Hal ini terjadi karena ada pesaing kuat bahan makanan dari luar negeri, yaitu tepung terigu. Peran industrialisasi menjadi sangat penting agar pangan lokal bisa menyaingi terigu dalam bentuk tepung. Solusi ini agar pangan lokal bisa diolah menjadi aneka pangan. Bukan tidak mungking nantinya beberapa jenis lokal bahkan menjadi pangan fungsional.