Bina Swadaya Gelar Diskusi Publik Kesejahteraan Petani dalam Upaya Pemulihan Ekonomi di Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 cukup memukul perekonomian Indonesia. Perekonomian Indonesia sepanjang 2020 berada di zona negatif. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 minus 2,07 persen secara tahunan (yoy). Namun yang menarik adalah pertanian justru menjadi salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan positif. BPS mencatat, sepanjang April—Juni 2020 kinerja sektor pertanian justru tumbuh 2,19 persen (yoy).

Namun, kondisi ini tidak serta-merta meningkatkan pendapatan petani. Salah satu permasalahannya, selama pandemi berlangsung terjadi penurunan daya beli di tingkat masyarakat. Belum lagi adanya kendala distribusi dan akses pangan yang terhambat sehingga tidak semua produk pertanian terserap maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan angka Nilai Tukar Petani (NTP) dibandingkan dengan 2019, pada periode Januari—Juni 2020 NTP mengalami penurunan dari 100,64 menjadi 99,45.

Kesejahteraan petani pernah mengalami perbaikan antara 2015 sampai 2019 ketika ada kenaikan tingkat harga produk yang diterima oleh petani yang mendorong perbaikan NTP. Indeks harga produsen (IHP) di sektor pertanian secara umum terus mengalami kenaikan sejak kuartal pertama 2015 sampai dengan kuartal keempat 2019. Fluktuasi NTP cenderung sejalan dengan pergerakan IHP.

Permasalahan lain, sebagian besar petani Indonesia masih belum mengeyam pendidikan formal yang layak. Berdasarkan SUTAS (Survei Pertanian Antar Sensus) 2018, sekitar 67 persen dari seluruh petani di Indonesia tidak atau belum mengantongi ijazah setingkat SLTP ataupun sederajat. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut kemungkinan menjadi penyebab para petani masih menjalankan praktik pertanian tradisional.

Hasil SUTAS 2018 mengindikasikan bahwa lebih dari 50 persen dari rumah tangga pertanian di Indonesia tidak mengaplikasikan mekanisasi dan teknologi lainnya di samping mekanisasi.

Di sisi lain, UU Nomor 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan telah diberlakukan guna mewujudkan pertanian yang maju, efisien, tangguh, dan berkelanjutan. Situasi pandemi ini menjadi momentum yang tepat untuk menguji dan menjadi pijakan bahwa aturan yang baru telah membantu menjadi penopang ketahanan pangan di Tanah Air.

Berdasarkan kondisi tersebut perlu ditinjau apakah kebijakan yang dilakukan sebelum adanya pandemi Covid-19 lebih baik sehingga selama pandemi Covid-19 tidak memburuk, terutama kesejahteraan petani serta strategi/upaya apa yang harus dilakukan ke depan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Untuk mengetahui urgensi pemulihan ekonomi yang adil dan berkelanjutan, Yayasan Bina Swadaya menggelar diskusi publik Bincang-Bincang Wisma Hijau: Build Forward Better yang mengusung tema ‘Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani dalam Upaya Pemulihan Ekonomi’, bersama dua narasumber, Peneliti Senior Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang, M.S., dan Peneliti Senior SMERU, Ir. M. Sulton Mawardi, M.Com.

Pantjar berpandangan bahwa nilai tukar petani (NTP) bukan penanda kesejahteraan petani. Dirinya beranggapan bahwa pendapatan petani tidak hanya dari usaha pertanian. Indeks harga adalah harga yang diterima dari usaha tani, dirinya kembali menekankan bahwa pendapatan usaha tani tidak hanya berasal dari usaha tani. Sementara, pendapatan rumah tangga petani secara rata-rata dari usaha pertanian hanya sekitar 50 persen. Dirinya juga mengungkapkan, suatu kekeliruan adalah ketika NTP disebut sebagai neraca laba-rugi.

“NTP bukan ukuran surplus atau neraca laba-rugi usaha pertanian. NTP bukan penanda profitabilitas usaha pertanian. NTP mungkin berguna sebagai indikator perubahan situasi pasar dan perbandingan antarkomoditas dan antardaerah,” tuturnya dalam diskusi.

Pantjar mengungkapkan, program pemulihan di sektor pertanian harus dilakukan dengan sangat segera. Ia mencatat ada empat poin utama yang bisa dilakukan untuk pemulihan tersebut. Pertama, menghidupkan dan memperkuat usaha pertanian terdampak. Kedua, memanfaatkan peluang La Nina. Ketiga, perlunya menyusun kerangka kebijakan dan program yang komprehensif secara lintas kementerian dan lembaga. Keempat adalah pengembangan sistem adaptasi dan respons dini terhadap bencana pertanian.

“Untuk jangka pendeknya, kita perlu mendorong usaha tani terintegrasi yang berkelanjutan seperti korporasi petani dengan mengedepankan inovasi teknologi, peningkatan skala, multikultural, pendalaman rantai nilai dan juga kelembagaan usaha atau korporasi petani,” ungkap Pantjar.

Sementara untuk jangka menengah dan panjang, bisa dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya adalah transformasi pertanian dan pedesaan untuk mengurangi beban pertanian serta transformasi ekonomi nasional untuk mengurangi beban pertanian dan pedesaan.

Narasumber kedua, Peneliti SMERU Sulton Mawardi, memaparkan empat topik diskusi, yaitu sektor pertanian dalam meningkatkan kesejahteraan petani, indikator kesejahteraan petani, kondisi kesejahteraan petani selama Covid-9, dan upaya keberlanjutan kesejahteraan petani.

“Terkait kebijakan pertanian, saya menyinggung regulasi. Seperti kita tahu bersama, aspek regulasi sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan petani, karena kebijakan tidak terlepas dari aspek regulasinya,” ucap Sulton.

Seperti yang tercantum pada UU No. 19 tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam UU tersebut dengan sangat jelas dikatakan mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang layak.

Demikian juga UU No. 41 tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU ini dikeluarkan dengan tujuan meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat serta meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak.

“Tujuan dikeluarkannya UU ini sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani,” ungkap Sulton.