- September 12, 2022
- Posted by: Astri
- Categories: Artikel, BBWH
Dampak perubahan iklim telah membuat pola curah hujan tidak lagi menentu. Kondisi ini menyulitkan petani untuk menentukan awal masa tanam. Guru Besar Purnabakti Antropologi Universitas Indonesia, Prof. Yunita Winarto, mengungkapkan, agar petani dapat beradaptasi pada risiko perubahan iklim untuk meminimalisasi terjadinya gagal semai, gagal tanam, atau gagal panen, petani perlu mengasah pemahaman tentang agrometeorologi.
“Untuk menghadapi perubahan iklim, petani harus responsif, petani harus didampingi untuk tanggap terhadap perubahan iklim. Petani harus mahir mengantisipasi dampak perubahan iklim. Bila petani mampu mengantisipasi, mereka bisa beradaptasi dengan baik untuk mengatasi krisis pangan,” kata Yunita dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau bertema “Kecukupan Pangan & Krisis Iklim” yang digelar secara virtual, Jumat (2/9/22).
Selama ini petani mengelola pertanian berdasarkan tradisi yang diwarisi dari orang tua, pengalaman empiris yang diperoleh melalui panca indera, serta introduksi informasi dan teknologi tanpa pembelajaran. Diakui Yunita, petani tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di luar batas kemampuan inderawi dan pengalamannya. Yang kerap terjadi, petani kurang mendapatkan dampingan untuk mengenali dampak perangkat teknologi yang diterapkannya itu, termasuk risikonya bagi pertumbuhan tanaman, eksosistem, dan perubahan iklim. Oleh karena itu, menurut Yunita, petani perlu memperoleh jasa layanan iklim dalam bentuk komitmen pendidikan berkelanjutan. Pendidikan yang diberikan kepada petani tidak cukup hanya dengan satu program pelatihan, karena kondisi iklim yang dinamis.
“Kami memperkenalkan Warung Ilmiah Lapangan, hasil kerja sama antropolog dengan agrometeorolog dari Belanda dan Afrika Selatan untuk memberi pelajaran agrometeorologi pada petani. Metode pembelajaran yang kami lakukan melalui pendekatan kolaborasi antardisiplin dan transdisiplin, serta komunikasi dialogis antarpihak,” ungkapnya.
Melalui Warung Ilmiah Lapangan, petani diajak menjadi peneliti, mengenali dampak pola hujan tertentu pada kondisi lahan dan tanaman. Dari pengalaman itu, bila diperoleh prakiraan kondisi iklim di musim tanam yang tengah berjalan atau yang akan datang, petani dapat mengantisipasi kemungkinan dampaknya pada budidaya tanaman di lahannya. Berdasarkan kemahiran melakukan antisipasi itu, petani diharapkan dapat mencari upaya terbaik dalam menghadapi risiko timbulnya masalah yang menggangu pertumbuhan tanaman. Pelajaran ini memungkinkan petani dapat mengambil keputusan tepat dalam menanggapi konsekuensi perubahan iklim.
“Para petani mendapatkan jasa layanan iklim, seperti pengukuran curah hujan, pengamatan agroekosistem, evaluasi hasil panen, dan pengorganisasian kegiatan. Petani juga mendapatkan informasi skenario musiman agar mampu melakukan antisipasi sekaligus membuka alternatif solusi apabila terjadi masalah gagal semai, gagal tanam, atau gagal panen. Petani juga dapat mencari pengetahuan baru yang diperlukan dalam mengatasi masalah yang terjadi, dan belajar dari eksperimen ‘sama-sama menang’ di lahannya. Keterampilan melakukan digitalisasi data curah hujan juga disajikan, yang bertujuan agar data mereka tersimpan,” ujarnya menambahkan.
Hal senada diungkapkan, Sekretaris Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI) Sumedang, Nandar Cukanda Sonjaya, yang telah merasakan manfaat pembelajaran agrometeorologi dalam menanggapi dampak perubahan iklim.
“Setelah mempelajari agrometeorologi bersama Warung Ilmiah Lapangan sejak 2018, kini kami tahu cara melakukan pengukuran curah hujan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya kecenderungan hujan tipuan. Sebelum mendapat pelajaran agrometeorologi, kami sempat terkecoh dengan hujan tipuan. Ketika akan menjelang musim penghujan, curah hujan yang tiba-tiba tinggi membuat petani bersiap untuk melakukan penanaman, namun ternyata hujan yang turun belum berarti awal musim hujan tiba. Kini setelah mendapatkan pelajaran agrometeorologi, kami bisa mengenali tanda-tanda awal musim hujan tipuan tersebut. Banyak manfaat yang kami dapatkan ketika kami mencoba belajar menjadi petani peneliti. Menjadi petani peneliti membuat kami menghindari gagal tanam yang berakibat pada kegagalan panen,” ungkap Nandar.
Sebagai informasi, istilah yang digunakan petani yakni “hujan tipuan” sebenarnya merujuk pada “awal musim hujan yang dapat menipu petani”. Karena turunnya hujan pertama setelah musim kemarau itu dianggap petani sebagai penanda sudah tibanya awal musim hujan. Padahal, dapat terjadi adanya periode hari kering tanpa curah hujan setelah turunnya hujan pertama. Akibatnya, dapat terjadi gagal semai atau gagal tanam, terutama di lahan tadah hujan.
Bersama Warung Ilmiah Lapangan, para petani juga dapat menentukan keputusan tepat untuk mengantisipasi berbagai masalah yang timbul seperti kekeringan, kebanjiran, atau serangan hama dan penyakit hingga cara menanggulanginya.
“Kami bukan hanya mendapatkan pengetahuan sebatas teknik penanaman, melainkan pemahaman tentang antisipasi perubahan iklim yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Misalnya, saat kami memperoleh informasi tentang akan terjadinya El Nino di akhir tahun 2018 hingga awal 2019, kami prakirakan bahwa curah hujan akan terlambat dan baru mencapai puncaknya sekitar bulan Januari-Februari 2019. Padahal ekosistem lahan saya adalah lahan tadah hujan. Diprakirakan bahwa air hujan tidak akan mencukupi untuk tanam padi. Oleh karena itu, saya mengajak teman-teman petani mengubah pola tanam dari padi-padi ke jagung-padi, atau jagung-jagung dan tanaman lainnya. Untuk melakukan perubahan pola tanam itu, kami berinisiatif menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperoleh dukungan benih jagung serta peralatan menanam benih dan merontokkan bulir jagung. Juga bantuan untuk memperbaiki sarana penunjang pertanian seperti perbaikan saluran irigasi. Agar petani lebih peka pada perubahan, saya juga membuat islilah baru yaitu SEKOPI CINTA (Sekolah Petani dalam Menggapai Cita-cita), hingga gerakan pemanfaatan pekarangan,” tutup Nandar.