Urban Farming sebagai Fondasi Ketahanan Pangan Keluarga

Indeks ketahanan pangan Indonesia berdasarkan menurut Global Food Security Index pada 2021 turun ke level 59,2 dari sebelumnya 61,4 pada 2020. Secara global, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 113 negara berdasarkan indeks tersebut. Menurut penilaian Global Food Security Index 2021, keragaman makanan pokok Indonesia masih rendah. Selain itu, Indonesia rentan terpapar bencana terkait perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan pencemaran lingkungan.

Berdasarkan proyeksi dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian 2080, Indonesia diperkirakan bisa mengalami penurunan produksi hingga 15–25%. Sementara itu, produksi pangan di sejumlah negara yang berada jauh dari ekuator mungkin akan diuntungkan dari kenaikan suhu bumi akibat perubahan iklim. Sebaliknya, negara-negara yang dekat atau berada di ekuator seperti Indonesia, justru terancam mengalami penurunan produksi.

“Dampak-dampak yang terjadi akibat perubahan iklim, salah satunya iklim yang tidak menentu, berpotensi terjadinya penurunan produksi pangan. Penurunan produksi pertanian sudah di depan mata. Jika alam terganggu, produksi pangan juga akan terganggu sehingga ini bisa menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih masif melakukan urban farming,” terang Direktur Pembenihan Hortikultura Kementerian Pertanian, Inti Pertiwi, dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau yang digelar secara virtual, Jumat (25/03).

Sementara itu, di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 49,22% masyarakat Indonesia mengalokasikan pengeluaran untuk pangan. Artinya, kebutuhan akan pangan menjadi sangat krusial dan harus mendapat perhatian khusus. Diakui Inti, pandemi Covid-19 memicu masyarakat memperbesar alokasi konsumsi pangan. Selama pandemi ini masyarakat cenderung menumpuk stok pangan. Padahal, kondisi ketahanan pangan akan semakin baik jika pangsa pengeluaran pangan masyarakat semakin kecil.

“Ketahanan pangan suatu negara dinilai baik justru ketika pengeluaran semakin kecil. Karena korelasi antara pangsa pengeluaran pangan dan ketahanan pangan ini negatif,” tutur Inti.

Hal lain yang juga disoroti Kementerian Pertanian adalah konsumsi sayuran dan buah masyarakat Indonesia masih rendah. Mengutip BPS pada 2020, secara nasional konsumsi gabungan buah dan sayur masyarakat sebesar 209,89 gram per kapita sehari. Jumlah ini masih sangat jauh dari ambang batas yang ditetapkan WHO dan Kementerian Kesehatan, yakni sebesar 400 gram per orang sehari, yang terdiri atas 250 gram sayur dan 150 gram buah. Dengan begitu, urban farming menjadi solusi alokasi pengeluaran pangan masyarakat dapat ditekan. Selain itu, konsumsi sayuran dan buah masyarakat juga akan ikut meningkat.

“Kita dapat memanfaatkan ruang terbuka seperti pekarangan rumah untuk bertani berbagai kebutuhan pangan. Urban farming juga dapat menambah pendapatan masyarakat dalam skala mikro, serta meningkatkan keragaman pangan agar tidak tergantung pada beras saja, tetapi juga kaya akan sayuran dan buah. Urban farming semakin diminati oleh masyarakat global. Bahkan, frekuensi pencarian mengenai topik urban farming seperti vertical farming di Google, cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,” jelas Inti.

Lebih lanjut, Inti mengungkapkan, pandemi Covid-19 di sisi lain memberikan satu hikmah. Kebijakan Work From Home (WFH) menciptakan kegiatan baru bagi sebagian orang, salah satunya urban farming. Permintaan benih meningkat 5 kali lipat selama pandemi.

Pengembangan urban farming di DKI Jakarta

Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta, Suharini Eliawati, mengatakan, kebutuhan pangan DKI Jakarta meningkat setiap tahunnya akibat penambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi pangan per kapita. Kebutuhan pangan DKI Jakarta per hari untuk telur ayam sebanyak 712,39 ton, daging ayam 839 ton, daging sapi 196,7 ton, beras 3.641 ton, buah-buahan 1.000 ton, dan sayuran 1.540 ton. Sementara itu, sebesar 99% kebutuhan pangan DKI Jakarta berasal dari luar daerah.

“Meningkatnya kebutuhan pangan dengan jumlah masyarakat yang terus bertambah, perilaku konsumsi masyarakat yang bertambah terutama pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan ketergantungan pasokan pangan DKI Jakarta dari daerah di sekitarnya. Tidak bisa dipungkiri fluktuasi harga pangan sangat berpengaruh,” ungkapnya.

Selain itu, ditekankan Eli, masyarakat masih minim keragaman pangan alternatifnya, seperti ubi, sukun, jagung hingga kentang. Menurutnya, penting untuk mendorong alternatif-alternatif pangan lokal lainnya. Hal lain yang menjadi perhatian DKPKP DKI Jakarta adalah food loss dan food waste. DKI Jakarta saat ini berkolaborasi dengan hotel dan pengusaha katering untuk membangun pengolahan makanan-makanan berlebih yang masih layak konsumsi untuk dikemas kembali.

Pihaknya juga menyampaikan bahwa saat ini DKI Jakarta juga tengah mengembangkan Grand Design Pertanian Perkotaan (urban farming). Adapun target yang harus diselesaikan pada 2030 meliputi pencapaian 30% ruang terbuka hijau produktif, peningkatan 30% produksi pertanian, perikanan, dan peternakan (termasuk produk olahan), serta sertifikasi 1.000 produk olahan.

“Kami bekerja sama dengan Dinas Pertamanan DKI Jakarta untuk mengembangkan tanaman-tanaman hortikultura sehingga tidak hanya sayuran dan buah-buahan. Kami juga mencoba memanfaatkan lahan-lahan tersebut dengan tanaman hias,” tuturnya.

Diakui Eli, melakukan urban farming memiliki banyak manfaat untuk masyarakat. Urban farming memenuhi 4 aspek, yakni lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan sosial. Model pengembangan urban farming yang telah dilakukan di DKI Jakarta berbasis ruangan, pelaksanaan secara terpadu dari hulu ke hilir, pengembangan teknologi budidaya hemat lahan dan memberdayakan individu dan komunitas/kelompok.

“Dalam mendukung pengembangan urban farming di DKI Jakarta, DKPKP DKI Jakarta memberikan pelayanan bibit tanaman secara gratis bagi masyarakat DKI Jakarta, baik secara online maupun offline,” tutup Eli.

Pada kesempatan yang sama, Business Strategist Kelas Trubus, Rosy Nur Apriyanti, mengungkapkan, salah satu langkah yang dapat diterapkan untuk menjaga ketahanan pangan adalah dengan menghasilkan pangan secara mandiri melalui pemanfaatan lahan pekarangan. Memanfaatkan pekarangan dapat menjadi sumber pangan keluarga, mengurangi belanja rumah tangga, dan sebagai sumber pendapatan (peluang bisnis).

Kelas Trubus (www.kelastrubus.id) sebagai sebuah platform edukasi online di bidang agribisnis memungkinkan siapa saja dapat belajar apa pun, terutama di bidang hobi dan bisnis pertanian dari ahlinya. Selain pengetahuan yang luas di bidangnya, para mentor juga memiliki segudang pengalaman yang tentunya menarik untuk dipelajari. Kelas Trubus menyediakan materi pembelajaran yang lengkap, eksklusif, dan berjangka panjang untuk semua level mulai dari pemula hingga profesional. Dikemas dengan materi yang mudah dipelajari dan dipraktikkan, Kelas Trubus siap menjadi sarana pembelajaran bagi siapa saja yang ingin belajar dari ahlinya.

“Melalui Kelas Trubus kami hadir untuk memberikan pelatihan dan pendampingan yang menggabungkan teori dan praktik yang dipandu oleh praktisi berpengalaman, akademisi, maupun peneliti. Kami menawarkan lebih dari 100 pilihan kelas mulai dari kelas urban farming, pertanian, peternakan, perkebunan, tanaman hias, biofarmaka, teknologi dan inovasi, pengolahan hingga pemasaran,” tutup Rosy.



Tinggalkan Balasan