- Januari 6, 2023
- Posted by: Astri
- Categories: Artikel, BBWH
Peningkatan suhu global berpotensi memengaruhi produksi pertanian sehingga berdampak pada kemampuan dunia dalam memenuhi kebutuhan pangan. Strategi yang paling mendesak dilakukan adalah menanam varietas yang memiliki daya adaptasi tinggi, khususnya terhadap berbagai cekaman biotik dan abiotik, seperti sorgum.
Pendiri Sejati Petani Sorgum Indonesia (Sepasi) Lili Sutarli Suradilaga, mengungkapkan, saat ini pertanian Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah peningkatan suhu global yang terjadi akibat perubahan iklim. Peningkatan suhu global berpotensi memengaruhi produksi pertanian sehingga berdampak pada kemampuan dunia dalam memenuhi kebutuhan pangan.
“Strategi adaptasi yang paling mendesak dilakukan untuk menanggulangi pemanasan suhu tinggi terhadap pertanian Indonesia adalah menanam varietas yang memiliki daya adaptasi tinggi seperti sorgum,” kata Lili dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau bertajuk ‘Sorgum sebagai Solusi Pangan Potensial & Antisipasi Dampak Perubahan Iklim’ yang diselenggarakan secara virtual, Jumat (2/12/22).
Sebagai informasi, sorgum juga memiliki produksi biji dan biomassa jauh lebih tinggi dibanding tanaman tebu dan serealia lain. Kebutuhan air tanaman sorgum hanya 1/3 dari tebu dan 1/2 dari jagung. Penggunaan pupuk pada sorgum juga relatif lebih sedikit, serta pemeliharaannya mudah. Selain itu, umur panen sorgum lebih cepat 100–110 hst (hari setelah tanam) dan sekali tanam dapat diratun 2–3 dalam setahun.
Menurutnya, sorgum merupakan tanaman serealia potensial, mengingat semua bagian tanaman memiliki nilai ekonomi. Biji sorgum dapat menjadi sumber pangan karena mempunyai kandungan gizi tinggi dan sebagai substitusi tepung terigu.
Petani sekaligus praktisi pengolah sorgum asal Tasikmalaya, Jawa Barat, ini melakukan budidaya sorgum menuju hilirisasi sorgum, mulai dari pelatihan budidaya, penanaman, pelatihan pembuatan produk pakan ataupun fuel, hingga memberikan jaminan pasar dengan membuka akses menuju substitusi pangan di Jawa Barat.
“Di Jawa Barat, kami telah melakukan budidaya sorgum menuju hilirisasi yang bekerja sama dengan BUMDes dan beberapa pesantren. Kami melakukan pendampingan budidaya sorgum secara profesional, memberikan wawasan kepada petani tentang manfaat dan kegunaan sorgum, melakukan pengawasan budidaya untuk hasil panen yang optimal hingga pengelolaan panen menuju hilirisasi pangan, pakan, maupun fuel. Sejak tahun 2015 hingga saat ini kami berhasil mengolah sorgum menjadi 65 produk,” tuturnya.
Melalui Gerakan Ekonomi Sorgum (Gek-Sor), pihaknya juga melakukan hilirisasi sorgum menuju One Village One Product (OVOP). Lili melakukan pelatihan produk olahan makanan lokal yang menyesuaikan potensi daerah, membuka pasar tradisional menjadi market baru dengan produk hasil olahan sorgum. “Untuk mengembangkan Gek-Sor, pelatihan menjadi skala prioritas dengan melibatkan unsur pemerintahan, swasta di bidang olah makanan dan kerajinan. Sehingga dengan sendirinya akan membuka market baru dengan produk olahan sorgum. Saya yakin dengan bergandengan tangan, baik pemerintah, swasta, koperasi, ataupun pegiat sorgum, kita bisa mengembangkan sorgum secara lebih luas lagi sehingga sorgum benar-benar dekat dengan masyarakat,” tutup Lili.