- Oktober 23, 2018
- Posted by: andriansyah
- Categories: Artikel, Catatan, Gerakan Revitalisasi Desa, InfoGrafis, Lingkup Kerja
Cliffort Geert (Antropolog AS) pada 1950-an mengadakan penelitian tentang kelembagaan masyarakat tradisional Jawa di Mojokerto, berkesimpulan bahwa masyarakat tradisional itu bersifat normless dan structureless sehingga sulit dijadikan instrumen pembangunan.
KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) berproses sebagai wahana saling belajar-mengajar para anggota untuk mengenali masalah dan kemampuan bersama serta mengambil keputusan untuk kemajuan dengan memobilisasi sumber daya bersama. KSM juga jadi instrumen berkomunikasi dengan pihak ketiga pada posisisi kesetaraan.
KSM adalah kelembagaan masyarakat yang diintroduksi dan dikembangkan oleh Bina Swadaya sejak awal 1970-an dengan norma-norma dan struktur yang jelas, bahkan dengan tujuan dan mekanisme kerja yang jelas pula. Pada hakikatnya KSM adalah koperasi yang tumbuh di “akar rumput” yang menjadi instrumen masyarakat akar rumput menolong diri sendiri untuk meraih kemajuan dan peningkatan kesejahteraan.
Untuk mengembangkan KSM, Bina Swadaya menerjunkan pendamping yang sebelumnya dilatih secara khusus. Para pendamping dikoordinasi secara efektif di lapangan melalui kantor-kantor wilayah Bina Swadaya yang disebut guswil (gugus wilayah).
Pada 2000-an tercatat 23 guswil yang tersebar di semua pulau besar dan kecil dari Sumatera sampai Papua Barat dengan sekitar 3.000 KSM dampingan.
Untuk melipatgandakan dampak upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan KSM, Bina Swadaya telah mengembangkan kerja sama dengan berbagai lembaga dan program, antara lain dengan:
- BKKBN, program women participation in development, terbentuk 650.000 KSM.
- Bank Indonesia dan Bank BRI, dalam program hubungan bank dan KSM, melayani 34.227 KSM melalui lebih dari 1.000 kantor bank di 23 provinsi.
- Perum Perhutani dalam program Perhutanan Sosial di seluruh Pulau Jawa membentuk 9.000 KSM tani hutan.
- BAPPENAS dan Kemendagri dalam program IDT membentuk 120.000 KSM.
- Kementerian Pertanian, program P4K.
- World Bank dan ADB dalam program pemberdayaan masyarakat pascabencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, Bengkulu dan Yogyakarta.
- Pembentukan KSM pascakonflik di Ambon, Poso, dan Halmahera.
- Bekerja sama dengan berbagai perusahaan tambang di Kaltim, Papua, Lombok dan Bojonegoro untuk peningkatan keberdayaan masyarakat sekitar proyek.
- Berbagai program CSR di berbagai tempat di Indonesia.
Sejak awal KSM didorong mengatasi masalah yang mereka hadapi secara swadaya, berdasarkan ikatan pemersatu masing-masing, dan ikatan pemersatu (common bond of interest) itu bisa berupa kesamaan tempat tinggal, bidang usaha, atau profesi). Pada umumnya mereka memulai kegiatan pada kemandirian keuangan.
Pada periode 2006/2007 pimpinan Bina Swadaya melihat, bahwa kemandirian tidak hanya perlu di tingkat KSM dan tingkat Bina Swadaya, tetapi perlu juga terjadi di tingkat guswil. Maka, guswil diubah dari perangkat perpanjangan pengurus Bina Swadaya menjadi lembaga koperasi setempat independen yang beranggotakan KSM-KSM binaannya dengan hidup bersama saling mendukung dan melayani secara mandiri.
Dalam konsep GRD (Gerakan Revitalisasi Desa) terdapat KSM dan KSU (koperasi serba usaha), dengan jati diri dan pola hubungan yang sangat mirip dengan pengalaman Bina Swadaya puluhan tahun lalu. Dengan dimensi dan dinamika baru, perlu disusun rajutan baru berdasar kesempatan dan ancaman baru pula. Memang tidak semua mampu bertahan, namun ada sejumlah guswil yang masih hidup sampai saat ini.
Proses pengembangan KSM dengan guswilnya merupakan pengalaman berharga yang perlu dikapitalisasi untuk merespons peluang-peluang pembangunan baru seperti GRD saat ini.
Menyelesaikan studi S2 di IPB, pada 1983 saya melakukan penelitian dan menulis tesis Pengembangan KSM di 3 desa Lampung Tengah. Saat ini telah diselesaikan penelitian tentang pelayanan keuangan mikro di 3 desa Kabupaten Klaten yang dilakukan oleh masyarakat tradisional, bank, pemerintah dan KSM dalam rangka studi S3 Leiden.