- September 13, 2022
- Posted by: Astri
- Categories: Artikel, BBWH
Krisis iklim (climate crisis) saat ini sudah menjadi ancaman global. Krisis iklim berdampak terhadap kecukupan pangan, baik di tingkat lokal maupun global. Iklim dan cuaca yang semakin sulit diprediksi menjadikan sebagian besar lahan pertanian produktif tak mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Berkurangnya produksi akan mengakibatkan harga pangan mahal. Kenaikan harga dapat berdampak pada akses, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Agustus 2019 menyatakan, perubahan iklim telah mengancam pasokan pangan dunia. Lebih dari 10% populasi dunia saat ini mengalami kekurangan gizi dan perubahan iklim semakin memperburuk situasi tersebut. Sementara itu, laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPPC) menunjukkan, perubahan suhu rata-rata yang terjadi belakangan ini berdampak pada menurunnya produksi pangan.
Koordinator Data, Evaluasi dan Pelaporan/Ketua Komite Teknis 65–11 Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Batara Siagian, menjelaskan, dalam konteks kecukupan pangan, ketersediaan/pasokan harus sebanding dengan kebutuhan.
Menurutnya, ada tiga elemen penting dalam kecukupan pangan. Pertama, dilihat dari produksi dalam negeri, walaupun ada beberapa negara yang tidak bisa memproduksi pangan sendiri seperti Singapura. Kedua, kecukupan pangan dapat dilihat dari stok akhir tahun. Ketiga, untuk mengamankan ketersediaan pangan, opsi terakhir yang dilakukan adalah mengimpor bahan pangan.
Menurutnya, ada kriteria pengalokasian impor pangan. Dengan SDM yang dimiliki, perlu dilakukan substitusi antarproduk pangan sehingga tidak terjebak kepada pemenuhan kebutuhan pangan bersumber dari impor. Kendati demikian, dirinya tak mengelak, beberapa komoditas pangan tidak bisa dibudidayakan di dalam negeri seperti gandum.
Sebagaimana diketahui, gandum menjadi salah satu produk pangan yang sulit dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu, capaian impornya hingga 11 juta ton/tahun. Adapun akselerasi yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi volume impor komoditas tersebut, yakni dengan cara mengganti komoditas serupa, misalnya sorgum.
Ada beberapa perspektif yang dapat dilihat dari sudut volume sehingga perlu dilakukan perhitungan konsumsi dengan cadangan ideal. Artinya, perlu dideskripsikan berapa banyak konsumsi pangan setiap tahunnya ditambah dengan cadangan ideal, untuk mengantisipasi krisis iklim yang akan berdampak terhadap produksi.
“Peningkatan kualitas pupuk juga perlu diperhatikan. Penggunaan pupuk yang tak bermutu baik akan menghambat proses produksi tanaman, yang akhirnya berdampak terhadap kualitas pangan yang dihasilkan,” jelas Batara pada Bincang-Bincang Wisma Hijau bertema “Kecukupan Pangan dan Krisis Iklim” yang digelar secara virtual, Jumat (2/9/22).
Beras menjadi komoditas pangan yang beberapa tahun terakhir mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi ini diketahui pemicunya adalah iklim. Global Food Security Index (GFSI) mencatat, skor indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2020 mencapai level 61,4. Namun, pada 2021 indeksnya turun menjadi 59,2. Indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia pada 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara.
GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar yang meliputi, keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resource and resilience).
Diakui Batara, Kementerian Pertanian memiliki solusi inovatif yang mengacu kepada 4 indikator besar GFSI. Pertama, ketersediaan pasokan dalam pembangunan pertanian, khususnya untuk mengantisipasi krisis pangan dan cascading. Solusi inovatif tersebut meliputi ketersediaan sarana produksi yang aman dan berkelanjutan, peningkatan indeks pertanaman, produktivitas, area lahan baru, penanganan pascapanen, pengembangan komoditi substitusi, produk olahan, serta penguatan kawasan produksi terintegrasi dan berkelanjutan.
Kedua, keterjangkauan pangan meliputi kemampuan produksi suatu daerah, distribusi yang baik, pola cadangan, dan pengaturan harga. Ketiga, keamanan pangan meliputi standar, sertifikasi, dan pengawasan (termasuk karantina).
“(Keempat), Ketahanan sumber daya alam meliputi pengendalian RT/RW atas alih fungsi lahan baku sawah, penelitian dan pengembangan, pertanian zero waste, serta pertanian presisi dan berbasis ekosistem,” tambahnya.
Lebih lanjut Batara menjelaskan, kondisi yang diharapkan dari solusi inovatif ini meliputi pemenuhan kebutuhan (terutama pangan) didominasi dari produksi nasional, terkendalinya inflasi keberlanjutan penyediaan produksi terselenggara dengan baik, harga pangan yang relatif terjangkau, serta nilai pola pangan harapan meningkat dan tingkat kerawanan pangan menurun.
“Yang harus kita cermati bersama dalam rangka mengantisipasi krisis iklim ke depan, bagaimana ketahanan sumber daya alam secara bersama-sama kita jaga. Iklim harus menjadi faktor yang selalu diamati. Di sisi lain, optimalisasi lahan harus terus digerakkan,” tutup Batara.
Pada kesempatan yang sama Rice Program Manager Rikolto, Nana Suhartana, mengungkapkan, pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat multidimensional, mulai dari sumber daya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksi pertanian, hingga aspek ketahanan pangan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani dan masyarakat.
Perubahan iklim berperanguh terhadap kerentanan (vulnerable) di tingkat produksi pangan, di mana kondisi yang mengurangi kemampuan beradaptasi. Perubahan iklim juga berdampak terhadap pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrem. Pergeseran pola hujan akibat perubahan iklim memengaruhi sumber daya dan infrastruktur pertanian yang menyebabkan bergesernya waktu tanam, musim dan pola tanam, serta degradasi lahan.
“Iklim adalah faktor eksternal yang dihadapi oleh petani. Kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dalam menghadapi perubahan iklim. Untuk itu, petani perlu dibekali pengetahuan agar dapat beradaptasi dengan perubahan iklim, serta mendorong petani dengan berbagai perkembangan inovasi pertanian,” ujar Nana.
Menurutnya, iklim dapat diprediksi jika melihat tiga tahun ke belakang. Sebetulnya, kita bisa mempelajari tren iklim yang berkembang 30 tahun ke belakang untuk mengantisipasi iklim ke depan. Data ini yang dibutuhkan oleh para petani. Sejauh ini data tersebut hanya dimiliki oleh BMKG.
Selain iklim, pihaknya menjelaskan, infrastruktur pertanian juga menjadi elemen penting. Perlu adanya sinergi perbaikan infrastruktur pertanian antara pemerintah dan kelompok petani. Sebab, yang banyak terjadi ketika infrastruktur dibangun setelah itu tidak ada perawatan dari kelompok petani. Minimnya perawatan infrastruktur menyebabkan mudahnya terjadi kerusakan.
Permasalahan lain yang masih terjadi adalah pemakaian pupuk Nitrogen dan Fosfor secara berlebihan mengakibatkan emisi gas rumah kaca. Belum lagi pemberian pupuk Nitrogen dan Fosfor yang berlebihan juga berdampak terhadap kesehatan tanaman itu sendiri. Melemahnya kesehatan tanaman akan berdampak pada penurunan hasil pertanian.
“Adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi pupuk bersibsidi di satu sisi menjadi tindakan tepat namun di sisi lain petani tidak mempunyai kemampuan untuk berinovasi,” tambahnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya hasil panen. Salah satunya adalah karena petani tidak memiliki kalender tanam. Padahal, kalender tanam ini berperan penting dalam proses penanaman. Selanjutnya, masih banyak petani menggunakan benih yang tidak terseleksi dengan baik dan masih banyak pascapanen dilakukan dengan cara tradisional. Dengan demikian, food lost di hamparan sawah cukup tinggi.
Melihat kondisi tersebut, Rikolto menerapkan prinsip Sustainable Rice Platform (SRP). SRP merupakan standar baru yang bertujuan meningkatkan keuntungan petani, produktivitas, keamanan pangan, efisiensi penggunaan air, nutrisi dan pestisida, menekan gas rumah kaca, menjaga kesehatan dan keselamatan tanaman.
“Tujuan utama dari program beras berkelanjutan adalah petani dapat membuat perencanaan tanam, petani mengetahui tingkat kesuburan tanah, penggunaan air, pupuk, dan penanganan hama dan penyakit secara tepat. Sehingga produktivitas pun meningkat, petani juga mampu beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim dengan langkah-langkah yang tepat pula,” ucap Nana menambahkan.
Sementara itu, Petani Dampingan Rikolto, Yuniar Punky, yang telah didampingi Rikolto sejak 2012 ini mengaku berkat dampingan Rikolto, petani mampu beradaptasi dengan perubahan iklim dan menjalankan produksi pertanian yang selaras dengan prinsip SRP.
Bagi petani, iklim merupakan faktor penting dalam berbudidaya tanaman pangan. Saat ini iklim telah mengalami perubahan, di mana musim kemarau dan musim hujan tidak menentu. Misalnya, ketika kemarau panjang, petani akan kesulitan mengairi lahan dan berakibat pada kekeringan, sebaliknya, musim hujan yang terjadi lebih panjang berdampak pada mewabahnya hama dan penyakit.
Berkat dampingan dari Rikolto, sejumlah upaya yang dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim dengan menerapkan Alternate Wetting and Drying (AWD). AWD adalah teknologi yang dapat diterapkan petani untuk mengurangi penggunaan air irigasi di lahan sawah. Pengairan sawah secara berlebihan turut berdampak pada emisi gas metana (CH4). Dengan menerapkan AWD sebagai kontrol dalam mengairi sawah, penggunaan air menjadi lebih efisien.
“Sejak 2018 bersama Rikolto, kami belajar budidaya padi berkelanjutan menggunakan standar SRP. Kami dibekali teori dan juga dilatih secara langsung dengan membuka demplot. Berdasarkan pembekalan dan pengetahuan yang telah kami miliki, para petani harus bisa beradaptasi serta mengupayakan agar bisa mengatasi dampak dari perubahan iklim yang tidak bisa dihindari,” beber Yuniar.
Masa depan sistem pangan bergantung pada kemampuan kita beradaptasi terhadap perubahan dan krisis iklim yang terjadi. Menciptakan sistem pangan yang tangguh serta dapat beradaptasi dengan perubahan iklim harus menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, perlu adanya upaya antisipasi dengan mengubah pola tanam ataupun melakukan diversifikasi pangan.