Pemberdayaan Masyarakat Melalui Dana Bergulir

Oleh: Bambang Ismawan

Download: Buletin Bina Swadya, No. 59/Tahun XIV/Maret – April 09

Gagasan pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan dana bergulir mulai dipikirkan ketika muncul kesadaran bahwa masyarakat miskin itu bukan the have not melainkan the have little. Bahwa mereka adalah economicaly active poor yang lebih memerlukan aksesbilitas pada  service provider (dalam hal ini lembaga keuangan) daripada belas kasihan. Dan bahwa upaya pembangunan masyarakat seutuhnya menjadi lengkap apabila memiliki manfaat ekonomi bagi anggotanya.

Sejak tahun 70-an Bina Swadaya telah menggunakan mekanisme dana bergulir sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian masyarakat melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang didampinginya. Dalam upaya Bina Swadaya memberdayakan masyarakat setidaknya ada 3 pengalaman yang bersentuhan dengan pengelolaan program dana bergulir, yaitu Pertama, Tabungan Setia Kawan (TSK) dan Kredit Setia Kawan (KSK), diantara Kelompok Swadaya Masyarakat. Kedua, Pengembangan Kelompok Akseptor KB menjadi Kelompok UPPKS, dan Ketiga, Program Inpres Desa Tertinggal (IDT)

Program TSK dan KSK

Dalam setiap KSM yang didampinginya, Bina Swadaya selalu menekankan pentingnya memiliki kegiatan pemupukan modal dari para anggotanya. Pemupukan modal itu bisa berupa hasil produksi, tenaga kerja dan kini banyak berupa uang.  Pemupukan modal berupa uang ini dipahami sebagai tabungan yang didayagunakan untuk memperkuat usaha anggota melalui pinjaman.  Tetapi para anggota KSM yang miskin itu memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyediakan dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usaha-usaha yang semakin maju.

Mendasarkan pada gagasan untuk memobilisasi dana yang tersedia, kemudian didesain dan dipromosikan skema tabungan dan kredit antar KSM yang bertujuan untuk menggalang solidaritas.  Kalau tabungan anggota dikelola KSM, dalam program TKS tabungan KSM dikelola Bina Swadaya.  Selanjutnya Bina Swadaya dengan dukungan lembaga donor berupa dana bergulir (revolving fund) yang berfungsi sebagai matching fund memberikan pinjaman kepada KSM sampai sebesar 4 kali TSK, yang ditujukan kepada anggota yang memerlukan. Program ini berhasil baik, selain mampu meningkatkan rasa solidaritas antar KSM, para anggota KSM juga memiliki kesempatan untuk meningkatkan usaha mereka yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.

Kegiatan TSK-KSK yang sukses ini (100% kredit kembali selama 5 tahun) dipresentasikan dalam suatu lokakarya di Nanjing (1986) yang diselenggarakan APRACA (Asia Pasific rural and Agricultural Credit Association) dan sekaligus menjadi embrio bagi Proyek Hubungan Bank dengan KSM (PHBK) yang diperjuangkan Bina Swadaya tahun 1987.  PHBK adalah suatu gagasan yang bertujuan untuk mempertemukan 2 ekosistem, yaitu: ekosistem modern (yang diwakili oleh bank) dan ekosistem miskin/tradisional (diwakili oleh KSM) dan LSM sebagai penghubung dan pendamping dengan prinsip win-win solution.  Dalam PHBK, Bank meningkatkan jangkauan pelayanannya, KSM mendapatkan aksesbilitas dan LSM yang memperoleh profesional fee untuk membangun kemandirian finansial.

Kelompok UPPKS–BKKBN

Pada tahun 1983 BKKBN bekerjasama dengan UNFPA (United Nation Fund for Population Affair) menyelenggarakan program yang disebut Income Generation, Women Participation in Development.  Program ini akan dilaksanakan melalui Kelompok-kelompok Akseptor dengan tujuan para peserta KB menjadi ”lestari” karena insentif berupa peningkatan pendapatan dengan dana bergulir yang waktu itu disebut seed capital.  Bina Swadaya diminta membantu pelaksanaan program ini.  Pertama-tama konsep Kelompok Akseptor diubah menjadi Kelompok yang belakangan disebut UPPKS yang cara kerjanya sama dengan KSM.  Kemudian melatih PLKB (Petugas Lapangan KB) menjadi pendamping kelompok yang berwawaskan income generating.

Program ini berlangsung sukses antara lain ditandai banyaknya jumlah Kelompok UPPKS yang terhimpun, yaitu 650.000 kelompok dengan sekitar 13,5 juta anggota (keluarga).  Melalui Instruksi Presiden telah dihasilkan trilyunan dana dari keuntungan perusahaan (5%) sebagai dana bergulir.  Kenyataan ini telah mengagumkan dunia, sehingga banyak negara berkembang belajar penyelenggaraan KB di Indonesia terutama tentang aspek pengelolaan kelompok dengan insentifnya (dana bergulir) agar menjadi Kelompok KB Lestari.

Program IDT

Pemerintah Ore Baru akhirnya (1993) menyadari bahwa kemiskinan adalah masalah serius, meskipun banyak Gubernur dan Bupati menolaknya.  Mereka merasa reputasinya terganjal kalau dilaporkan di wilayah kerjanya terdapat orang miskin.  Sikap semacam ini menyulitkan Tim identifikasi lapang.  Tetapi keadaan berubah setelah ada berita bahwa kepada orang miskin akan dibantu dengan dana bergulir (disebut dana IDT) yang akan disalurkan melalui Pokmas (Kelompok Masyarakat) yang dibentuk oleh masyarakat sendiri di desa-desa tertinggal.  Sekitar 4000 Pendamping direkrut diantara lulusan S1 (Sarjana Pendamping) dilatih selama sebulan baik fisik maupun pengetahuan tentang Pokmas (sama dengan KSM) dan keterampilan pendampingan.  Selain penyusunan konsep, Bina Swadaya juga terlibat dalam pelatihan untuk mempersiapkan tenaga Pendamping.  Program IDT ini telah membentuk 120.000 Pokmas dengan anggota 3,6 juta keluarga.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh P3PR terhadap perkembangan Pokmas-pokmas IDT diperoleh hasil: 36% Pokmas masuk dalam kriteria Golongan A atau golongan yang telah siap berhubungan dengan Bank, 31% Pokmas masuk dalam kriteria B, yaitu telah memiliki kegiatan simpan pinjam, kalau didampingi 6 bulan lagi diperkirakan dapat meningkat menjadi A; dan 33% merupakan Pokmas dengan kriteria C, yaitu Pokmas yang gagal dan tidak berlanjut. Sayang program IDT hanya berlangsung 3 tahun.  Para pendamping IDT kemudian diberhentikan dan pemerintah telah menarik dana IDT yang kemudian dikelola sebagai program UEDSP dibawah Departemen Dalam Negeri.

Refleksi

Keberhasilan dan keberlanjutan upaya pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan instrumen dana bergulir ditentukan oleh Pertama, efektifitas penyelenggaraan kelompok (KSM). Kedua, efektifitas pendampingan kelompok, dan Ketiga, kesiapan lembaga pelayanan (dalam hal ini Bank) untuk bermitra.

Tentang efektifitas KSM. KSM adalah model pembangunan masyarakat yang menekankan pada proses kemandirian dalam kebersamaan. Yaitu dengan menjadikan KSM sebagai wahana: saling belajar, identifikasi masalah bersama, mobilisasi sumberdaya, dan memperluas jaringan komunikasi dengan pihak lain. Sementara itu, karena anggota KSM terdiri dari orang miskin maka kegiatan-kegiatan KSM perlu bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan anggota.  Kegiatan-kegiatan itu perlu dilakukan dalam kebersamaan dalam kelembagaan seperti Koperasi.  Pengalaman menunjukan penyelenggaraan kelompok dengan diagram berikut menjamin keberhasilan.

Secara keseluruhan efektifitas KSM dapat digambarkan dalam gambar berikut ini  :    

 

 

Sementara soal pendampingan. Peran Pendamping sangat berpengaruh pada kinerja sebuah KSM agar mencapai dan meningkatkan kemandirian. Pendamping berperan sebagai (a) motivator yang harus dapat menumbuhkan motivasi para anggota untuk mendukung pelaksanaan kelompok; (b) fasilitator yang mampu memfasilitasi anggota kelompok agar memiliki keterampilan untuk mengembangkan kelompok dan (c) komunikator yang mampu mencari informasi sehubungan dengan berbagai usaha yang mempunyai prospek yang baik.

Agar dapat melaksanakan perannya dengan baik, pendamping harus memiliki Pertama, pemahaman tentang konsep pembangunan yang bertumpu pada partisipasi rakyat kecil melalui pendekatan kelompok swadaya. Kedua, perilaku yang dapat diterima masyarakat setempat serta memahami aspirasi masyarakat. Selain itu, dia juga harus mampu mengembangkan aspirasi itu menjadi motivasi bersama untuk menggerakkan partisipasi anggota dalam setiap kegiatan kelompok. Ketiga, pendamping berfungsi sebagai mitra kelompok, menghadiri setiap pertemuan anggota KSM. Keempat, pendamping sebagai fasilitator membantu dalam pemecahan masalah, juga melakukan bimbingan khusus dalam hal organisasi, administrasi pembukuan, permodalan, usaha dan sebagainya. Kelima, pendamping harus memenuhi persyaratan & mempunyai komitmen dalam pengembangan swadaya masyarakat &  bersedia tinggal di lokasi (biasanya dilakukan dengan training/retraining dahulu)

Adapun mengenai kesiapan Lembaga Mitra, yaitu Bank. Memang suatu Bank tidak didesain untuk melayani orang miskin.  Tetapi dengan kebijakan tertentu ternyata banyak kantor Bank bisa melayani orang miskin.  Dalam hal ini perlu kebijakan Pemerintah untuk mendorong lembaga perbankan bermitra dengan program pemberdayaan masyarakat. Adanya mekanism professional fee bagi pendamping dan lembaga pendampingan seperti yang terlaksana dalam PHBK, keberlanjutan pemberdayaan masyarakat dimungkinkan dengan adanya pendampingan mandiri, yaitu upaya pendampingan yang biayanya dibebankan pada harga pendampingan itu sendiri, bukan bantuandari luar. (*)