- Februari 19, 2021
- Posted by: AstriSO93
- Category: Articles
Indonesia akan memasuki tahun kedua pandemi Covid-19. Kepala Program Kedaruratan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Mike Ryan, menyampaikan bahwa tahun kedua pandemi virus corona kemungkinan akan lebih sulit dibanding tahun lalu.
Untuk pertama kali sejak era kemerdekaan, Indonesia mengalami wabah global yang panjang dan berdampak besar terhadap sektor kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik. Literatur pandemi mencatat bahwa respons dan antisipasi awal yang cepat dan tepat sangat menentukan keberhasilan pengendalian, meminimalisir dampak, serta kecepatan pemulihan pascapandemi.
Berbagai kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengendalikan dan meminimalisir dampak. Kebijakan tersebut juga merupakan peran pemerintah Indonesia dalam mencegah dan merespons risiko kesehatan yang mengancam orang-orang di seluruh dunia, sebagaimana ketetapan IHR (International Health Regulations) 2005. Ketika pandemi masih berlangsung dan sedang diatasi, hal yang juga penting adalah bagaimana pemulihan kesehatan dilakukan agar krisis ekonomi tidak berkepanjangan.
Guna mengetahui urgensi pemulihan ekonomi yang adil dan berkelanjutan dengan tujuan memperkaya gagasan, sharing pengetahuan untuk menjawab masalah-masalah di atas, Yayasan Bina Swadaya menggelar diskusi publik Bincang-Bincang Wisma Hijau: Build Forward Better yang mengusung tema ‘Kesiapsiagaan Krisis Pandemik dan Pemulihan Kesehatan’, bersama dua narasumber ternama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K); Epidemolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, M.D., MSc.PH., serta dipandu moderator yang juga Penasihat Field Epidemology Training Program Dr. I Nyoman Kandun, M.P.H.
Prof. Tjandra mengungkapkan bahwa banyak negara di dunia sudah memiliki International Health Regulation (IHR) dalam kaitannya dengan masalah kesehatan antarnegara seperti pandemi Covid-19 yang terjadi sekarang ini. IHR yang sekarang dipakai bermula di 2005 dan ditandatangani semua anggota World Health Organization (WHO), termasuk Indonesia.
IHR 2005 merupakan dokumen legal yang mengikat kepada WHO dan semua negara anggotanya yang berisi hak, kewajiban, dan berbagai prosedur standar (standardized procedures). Tujuan dari IHR 2005 adalah untuk mencegah, melindungi, melakukan pengendalian, dan memberikan respons kesehatan masyarakat terhadap penyebaran penyakit dari satu negara ke negara lain dengan melakukan upaya membatasi risiko kesehatan, dengan sedapat mungkin tanpa harus mengganggu lalu lintas dan pedagangan internasional.
“Februari ini, Indonesia sudah menyatakan akan mendukung WHO dalam menghadapi darurat kesehatan. Kita akan melihat bagaimana peran Indonesia dalam IHR untuk menanggulangi pandemi ini,” ujarnya saat diskusi.
Dirinya juga menyatakan bahwa untuk dapat menerapkan IHR, negara harus mempersiapkan delapan core capacities, yaitu kebijakan dan legislasi, koordinasi, surveilans, respons, kesiapan (preparedness), komunikasi risiko, sumber daya manusia, dan kegiatan laboratorium.
“Delapan core capacities ini yang akan dinilai untuk mengetahui negara itu siap atau tidak siap menghadapi pandemi,” ungkap Prof. Tjandra.
Lantas bagaimana menilainya? Dirinya berpendapat untuk menilai kesiapan negara dalam pelaksanaan kapasitas inti ini, dalam dokumen IHR 2005 ada mekanisme evaluasi mandiri di mana negara mengevaluasi dirinya sendiri. Namun, kini diperkuat dengan Joint External Evaluation (JEE). JEE ini diakui Tjandra merupakan alat untuk menilai apakah suatu negara sudah siap menghadapi kemungkinan hal-hal emergensi termasuk pandemi. Dirinya menegaskan bahwa Indonesia, Amerika, Eropa, serta sebagian besar negara siap menggunakan tools tersebut.
“Tapi pada kenyataannya begitu pandemi Covid-19 datang, semua negara kewalahan. Sehingga JEE ini seharusnya diperbaiki, agar negara-negara siap menghadapi pandemi yang sekarang ataupun yang akan datang,” ujarnya menambahkan.
Narasumber kedua, Dicky Budiman memberikan pandangannya. Ia mengatakan, setelah 100 tahun, dunia baru lagi menghadapi pandemi yang begitu besar. Berdasarkan berbagai perspektif, ia menyatakan bahwa pandemi ini berdampak pada multisektor.
Dirinya memberikan penegasan kepada pemerintah serta masyarakat Indonesia bahwa dalam pengendalian pandemi ini kesehatan adalah aspek penting yang harus didahulukan dan tidak dapat dinegosiasi dengan kepentingan lainnya di luar itu.
Dicky menyarankan, agar prediksi ini sebaiknya dapat diantisipasi pemerintah melakukan segala persiapan. Sebab, menurutnya, mengendalikan pandemi Covid-19 tidak semudah seperti mengendalikan pandemi lainnya.
“Meskipun tren global pandemi ini menurun, Covid-19 masih ada. Setiap orang berisiko terinfeksi dan dapat menjadi sumber penularan. Penyedia layanan kesehatan harus menjadi pemimpin dalam kesiapsiagaan pandemi dan rencana pemulihan. Untuk itu, kita perlu mengetahui langkah-langkah yang harus diambil dan kapan harus mengimplementasikan adalah komponen utama untuk mempersiapkannya,” tutupnya.