Koperasi Merah Putih, Solusi atau Mengulang Kesalahan? Apa Kata Bambang Ismawan?

Presiden Prabowo berencana membentuk Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di seluruh Indonesia, dengan memanfaatkan dana desa sebagai modal utama. Program ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi lokal, menjadikan desa sebagai lumbung pangan, serta memutus ketergantungan petani terhadap tengkulak. Setiap koperasi direncanakan menerima modal sebesar Rp5 miliar, dengan total anggaran mencapai Rp350 triliun untuk mendirikan 70.000 koperasi.

Namun, muncul kekhawatiran bahwa KDMP bisa mengulang kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) di era Orde Baru, yang dinilai gagal karena minimnya partisipasi masyarakat dan dominasi pemerintah dalam pengelolaannya.

Sebagai pelopor gerakan pembentukan koperasi di Indonesia, apa kata Bambang Ismawan?

“Saya membaca surat edaran Menteri Koperasi mengenai rencana ini. Sayangnya, inisiatif masyarakat kembali diambil alih oleh pemerintah. Padahal, koperasi seharusnya merupakan proses partisipatif yang tumbuh dari dan untuk masyarakat,” ujar Bambang dalam podcast Nawal Bisma yang tayang di kanal YouTube Bina Swadaya, baru-baru ini.

Ia menegaskan, pengalaman di masa lalu membuktikan bahwa koperasi yang hanya fokus pada peningkatan ekonomi semata justru bisa memperkeruh kesenjangan sosial. “Tujuannya memang meningkatkan produksi dan kelancaran ekonomi, tapi masyarakat justru makin miskin karena adanya ketimpangan antara mereka yang mampu dan tertinggal. Itu yang terjadi pada 1970-an. Waktu itu, banyak yang menyindir KUD sebagai singkatan dari Ketua Untung Dulu,” katanya.

Lebih lanjut, Bambang mengkritisi pendekatan top-down dalam pembentukan koperasi. “Semua Keputusan datang dari pusat, dan yang paling bawah adalah kepala desa. Padahal, koperasi adalah lembaga penting untuk masyarakat akar rumput. Prosesnya seharusnya disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan mereka.”

Menurutnya, rencana ini memang terkesan ambisius dan ingin berjalan cepat, tapi belum tentu hasilnya baik. Apalagi, implementasinya akan melibatkan banyak lembaga pemerintah dan Kementerian, namun nyaris tidak menyebutkan peran masyarakat.

“Organisasi masyarakat seperti apa yang diajak? Mereka yang telah puluhan tahun mengembangkan koperasi tidak pernah diajak bicara. Padahal, kerja sama dengan pemerintah itu bagus, asal tidak hanya di tingkat pusat. Koperasi itu organisasi masyarakat, bukan alat negara,” tegasnya.

Kekhawatiran bahwa KDMP akan mengulang kegagalan KUD juga disampaikan banyak pihak, terutama terkait dominasi pemerintah dan minimnya partisipasi anggota (masyarakat). Bambang, menegaskan bahwa keberhasilan koperasi hanya bisa dicapai melalui proses kebersamaan yang melibatkan tiga elemen: public, private, and people. “Koperasi itu wilayahnya people, tapi dalam rencana ini tidak terlihat adanya kerangka pikir yang melibatkan masyarakat,” ujar Bambang.

Ia pun mempertanyakan, “Kalau memang untuk rakyat, siapa yang nanti akan menikmati hasilnya? Apakah mereka yang sudah mapan di desa, atau masyarakat bawah yang sebenarnya paling membutuhkan? Dan, apakah koperasi yang selama ini sudah ada tidak cukup ‘merah putih’?

Ia mengingatkan agar kebhinekaan Indonesia dijadikan pertimbangan. “Jangan sampai hanya ada satu model koperasi yang dipaksakan untuk seluruh wilayah. Ini justru bisa berbahaya.”

Menurut Bina Swadaya, koperasi seharusnya menjadi entitas kelembagaan sebagai proses peningkatan keberdayaan masyarakat, sehingga keterlibatan masyarakat harus dikuatkan. Karena itu, dibutuhkan pendampingan.

“Pemerintah seharusnya mendorong organisasi masyarakat yang sudah berpengalaman mengembangkan koperasi agar makin efektif dan berkembang. Tapi, mereka justru tidak dilibatkan,” beber Bambang.

Ia mengkhawatirkan, alih-alih meningkatkan keberdayaan masyarakat, KDMP justri bisa memperkuat kelompok elite desa atau mereka yang dekat dengan kekuasaan. Sementara itu, biayanya sangat besar dan belum tentu efektif.

Bambang mengakui bahwa tujuan KDMP untuk memotong rantai tengkulak adalah langkah baik. Namun, keberhasilan program harus disertai nilai-nilai silih asah, silih asih, silih asuh. “Kenapa ini penting? Karena menurut Prof. Klever, struktur kelembagaan tradisional kita itu lemah. Bila tidak diperkuat, justru akan membahayakan pembangunan nasional.”

Ia mencontohkan perbedaan antara arisan dan koperasi. “Arisan selesai Ketika semua anggota mendapat giliran, sementara koperasi bersifat berkelanjutan. Tapi, ini hanya bisa terwujud melalui pendampingan yang efektif. Ini yang kami lakukan di Bina Swadaya.”

“Para pendamping kami latih selama tiga bulan, kemudian didampingi senior hingga bisa mandiri dan benar-benar mendampingi masyarakat. Proses ini bertahap dan tidak bisa instan,” tutup Bambang.



Tinggalkan Balasan