- Juni 19, 2012
- Posted by: andriansyah
- Categories: Artikel, Peristiwa
Oleh ST Sularto
Yayasan Bina Swadaya di bawah kepemimpinan Bambang Ismawan sudah lebih dari 40 tahun bergulat dengan usaha pemberdayaan masyarakat. Dalam rentang waktu 44 tahun itu Bina Swadaya tampil sebagai wahana pemberdayaan yang konsisten, mandiri, dan kontekstual, tiga kata yang merupakan “ciri khas” Bina Swadaya. Walaupun Bambang Ismawan merasa, justru hingga saat ini masyarakat tetap belum berdaya, bahkan semakin tidak berdaya.
Menurut Bambang, baik sebelum Orde Baru maupun sesudahnya, terus berlangsung korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang menambah penggerogotan atas kekayaan negara, ketidakpercayaan publik, kesenjangan kaya-miskin; kondisi separah Indonesia ini tidak banyak dialami negara lain.
Gempa bumi, tsunami, angin topan, dan kerusakan lingkungan hidup mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat. Bina Swadaya sebagai wahana yang kontekstual, dimulai melalui gerakan sosial pada tahun 1950-an dengan roh sosial ekonomi Pancasila, menjadi lembaga pengembangan sosial ekonomi.
Dalam kaitan itu, belakangan ini Bina Swadaya berubah menjadi lembaga kewirausahaan sosial. Fokusnya pada gerakan sosial dengan kegiatan yang mengutamakan pemberdayaan sosial ekonomi bagi rakyat miskin dan lemah, mengembangkan organisasi nonpemerintah yang independen nonsektarian dan nonpartai politik.
Bina Swadaya tengah mengembangkan usaha yang difokuskan pada pemberdayaan untuk masyarakat dan oleh masyarakat—kurang lebih pemaknaan yang lebih praktis dan konkret atas konsep masyarakat warga (civil society)—yang diusahakan lewat tiga jalur pemberdayaan, yakni kelembagaan, pendekatan keuangan mikro, dan promosi pengembangan media.
Contoh keberhasilan pemberdayaan di antaranya terlihat ketika minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO), buah merah, ikan louhan, dan tanaman hias menjadi industri rakyat.
Dalam kaitan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari usaha bisnis dan sosial sekaligus, menarik apa yang sudah dilakukan pemenang Nobel Perdamaian dari Banglades, Muhammad Yunus, pendiri dan CEO Grameen Bank. Menurut Yunus, ketika kemiskinan marak dan ketidakadilan sosial terjadi, kewirausahaan adalah jawaban.
Jumlah penduduk Banglades 147 juta jiwa, 50 persennya miskin, artinya lebih dari 70 juta jiwa. Grameen Bank melayani 7 juta kepala keluarga atau 35 juta jiwa, artinya hampir 50 persen orang miskin seluruh Banglades. Anehnya, hampir 99,8 persen nasabah orang miskin yang memperoleh kreditnya mengembalikan dengan tepat waktu.
Usaha Grameen Bank—sebelum memperoleh pengakuan internasional—sudah coba dilakukan Bina Swadaya. Modal sosial, yaitu keutamaan yang selalu terus digali dan dikembangkan berupa kejujuran, coba dipraktikkan sebagai roh dalam usaha sosial sekaligus bisnis dengan payung semangat pemberdayaan masyarakat.
Seruan Cimanggis 11 Januari 2007 oleh beberapa tokoh masyarakat, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Syafii Maarif, di antaranya menyerukan peningkatan kemampuan masyarakat mengatasi masalahnya sendiri, boleh dikatakan sebagai penguatan upaya pemberdayaan yang konsisten, mandiri, dan kontekstual.
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/04/Fokus/3736030.htm