Emilia Setyowati Paparkan Strategi Ekspor Indonesia di China Grain Trading Conference

Konferensi The 7th China Grain Trading Conference yang digelar pada 13—15 Juli 2025 di Shenyang, Provinsi Liaoning, Tiongkok, berfokus pada sirkulasi gandum, mencakup seluruh rantai industri gandum dan berbagai aspeknya, serta memfasilitasi komunikasi tentang produk, teknologi, dan layanan. Konferensi ini berkontribusi pada peningkatan kualitas dan efisiensi sirkulasi gandum serta mendukung kemajuan mendalam pembangunan pasar nasional Tiongkok.

Lebih dari 30 negara hadir melalui perwakilan asosiasi bisnis dan industri, yang menggarisbawahi peran Tiongkok sebagai pemain global dalam perdagangan biji-bijian dan inovasi pertanian. Administrasi Cadangan Pangan dan Strategis Nasional mencatat bahwa meningkatnya partisipasi internasional ini membuka jalan baru bagi transfer teknologi dan kerja sama perdagangan lintas negara.

Dalam forum internasional tersebut, Vice President IFOAM Asia sekaligus Sekretaris Eksekutif Bina Trubus Swadaya, Emilia Setyowati, menyampaikan paparan penting terkait strategi Indonesia dalam mengelola ekspor komoditas pertanian guna menyeimbangkan ketahanan pangan nasional dengan potensi pasar global.

“Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris terkaya di dunia. Namun, mengapa justru komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, kakao, dan teh, yang mendominasi ekspor, bukan komoditas utama seperti beras atau gandum?” tanyanya kepada para peserta di forum tersebut.

Dalam pandangannya, akar permasalahannya terletak pada tantangan ketahanan pangan nasional. Walaupun Indonesia termasuk produsen utama beras secara global, kenyataannya impor beras masih dilakukan karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi hampir 280 juta jiwa dan ancaman iklim yang tak menentu, kebutuhan pangan sulit dipenuhi hanya dari produksi lokal.

“Untuk gandum, kasusnya bahkan lebih jelas lagi. Indonesia tidak memproduksi gandum sama sekali. Seluruh kebutuhan industri roti, mie instan, dan produk tepung lainnya dipenuhi dari impor. Bahkan pada 2024, Indonesia masih mengimpor hampir satu juta ton jagung untuk kebutuhan pakan ternak,” lanjutnya.

Situasi ini mendorong Indonesia mengambil langkah strategis, dengan menetapkan prioritas ekspor pada komoditas non-pangan pokok seperti hasil-hasil perkebunan yang tidak berdampak langsung pada ketersediaan pangan nasional.

Ia juga menambahkan, komoditas seperti kelapa sawit, kakao, kopi, dan teh tumbuh subur di iklim tropis Indonesia. Tidak hanya mendukung perekonomian daerah dan menciptakan lapangan kerja, komoditas ini juga menjadi andalan dalam mendatangkan devisa negara.

Emilia juga memaparkan komoditas kopi sebagai salah satu contoh keberhasilan ekspor komoditas perkebunan Indonesia. Dari Aceh hingga Flores, kopi Indonesia memiliki karakter rasa yang unik dan khas, banyak diantaranya telah memperoleh status Indikasi Geografis (IG).

“Kopi spesial asal Indonesia semakin dikenal dunia. Ini tidak hanya membawa kebanggaan nasional, tapi juga membuka jalan bagi petani kecil untuk naik kelas dalam rantai nilai global,” ujar Emilia.

Di tengah keterbatasan ekspor serealia, Emilia menyebutkan singkong sebagai pengecualian yang menjanjikan. Tanaman ini tumbuh baik di lahan marginal dan kondisi kering, serta mulai menunjukkan kinerja ekspor yang menjanjikan.

“Pada 2023, nilai ekspor tepung pati singkong Indonesia tercatat mendekati 85 juta dolar AS. Fakta ini menunjukkan bahwa komoditas pangan lokal memiliki potensi besar di pasar global, jika didukung oleh infrastruktur pengolahan dan akses pasar yang baik,” jelasnya.

Menutup pemaparannya, Emilia menegaskan bahwa arah kebijakan ekspor pertanian disusun secara strategis. Prioritas utama tetap pada menjaga pasokan pangan dalam negeri, sambil mengembangkan nilai ekonomi dari komoditas non-pangan pokok, khususnya sektor perkebunan.

“Ke depan, jika kapasitas produksi serealia kita meningkat, khususnya jagung dan singkong, kita mungkin bisa lebih mendiversifikasi ekspor pertanian. Namun, untuk saat ini, fokus pada tanaman perkebunan, termasuk kopi kelas dunia, adalah pilihan tepat dan secara ekonomi sangat masuk akal,” tutupnya.

Selain menghadiri The 7th China Grain Trading Conference, Emilia juga memanfaatkan kesempatan kunjungan ke Tiongkok untuk mempererat kerja sama di bidang pertanian organik. Ia berkunjung ke Agricultural University dan bertemu dengan berbagai stakeholder di bidang pertanian organik, mulai dari peneliti, praktisi, inspektor, hingga pelaku usaha. Ia juga melakukan kunjungan ke salah satu badan sertifikasi organik di Tiongkok, guna mendalami sistem regulasi dan standar sertifikasi yang berlaku di negara tersebut. Sebuah langkah yang diharapkan dapat membuka peluang kolaborasi internasional yang lebih luas bagi pengembangan pertanian organik di Indonesia, termasuk bagi inisiatif-inisiatif yang digagas oleh Bina Trubus Swadaya.



Tinggalkan Balasan