Diskriminasi Koperasi Masih Terjadi, Pengamat Koperasi Suroto Tegaskan Koperasi di Indonesia Perlu Pembenahan

Pengamat koperasi, Suroto, menilai sistem perkoperasian di Indonesia belum berkembang karena paradigma perkoperasian masih jauh dari pengertian koperasi yang sebenarnya, yakni rakyat ditempatkan sebagai yang utama. Selain itu, ia juga menilai bahwa masih banyak perundang-undangan di Indonesia yang diskriminasi terhadap koperasi sehingga menghambat perkembangan koperasi.

“Pada sistem peraturan perundang-undangan kita masih banyak yang berlaku diskriminatif terhadap koperasi sehingga menghambat perkembangan koperasi di Indonesia,” kata Suroto Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (6/7).

Ia mencontohkan aturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap koperasi seperti UU Rumah Sakit yang wajib berbadan hukum perseroan (PT). Bentuk diskriminasi lain terhadap koperasi diakui Suroto adalah investasi asing yang juga wajib berbadan hukum PT. Bahkan, kebijakan tersebut disebutkan di UU Penanaman Modal. UU yang seperti ini membuat koperasi sulit berkembang.

Seharusnya, koperasi dapat keluar dan menjadi lintas bisnis yang modern. Namun, yang selama ini terjadi adalah koperasi menjadi usaha yang terkesan hanya sebagai tempat pembinaan dan charity. Menurutnya, perlakuan diskriminatif terhadap koperasi harus diakhiri.

“Yang selama ini terlihat, seolah-olah citra koperasi hanya untuk pelaku ekonomi marginal. Parahnya lagi paradigma ini sudah diaborsi dari sebelum koperasi itu lahir,” ujarnya.

Koperasi di Indonesia perlu pembenahan serius

Dalam rangka memperingati Hari Koperasi Nasional 2021, pihaknya menyarankan pemerintah untuk dapat menghentikan format-format kebijakan yang mendiskriminasi koperasi. Untuk mengubah paradigma tersebut, ia mengajak semua pihak untuk memperkaya pengetahuan terhadap sistem perkoperasian di Indonesia bahwa koperasi bisa bergerak di semua sektor.

“Sejatinya koperasi dapat dikembangkan dengan serius di semua sektor. Dari mulai sektor pertanian, pabrikasi, keuangan, perdagangan, bisnis berbasis platform, hingga di sektor layanan publik,” ungkapnya.

Suroto menyebut bahwa kegagalan perkembangan koperasi menjadi bangunan perusahaan yang mencerminkan demokrasi ekonomi itu terkait citra koperasi yang ternyata telah diposisikan sebagai pelaku usaha yang marginal.

Koperasi telah tercitrakan sebagai pelaku ekonomi pinggiran hingga masyarakat sulit membedakan koperasi dan jenis badan usaha lainnya. Masalah ini secara paradigmatik menyebabkan orientasi pemberdayaan koperasi, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan menjadi kurang tepat. Paradigma masyarakat dalam melihat koperasi juga saatnya dirombak total. Ini persoalan citra koperasi yang harus diubah dari anggapan usaha yang lemah dan kecil menjadi usaha yang kompetitif dan berdaya saing.

“Kita harus membuat koperasi berkembang dan menjadi “Pahlawan Ekonomi” bagi masyarakat. Kita ubah paradigma yang selama ini tercipta bahwa rantai nilai ekonomi dikuasai oleh mafia kartel di sektor marketing, processing, insurance hingga financing, dimiliki oleh koperasi,” tegas Suroto.

Menurutnya, ketidakpahaman masyarakat akan sistem perkoperasian menyebabkan banyak orang terkecoh, bahkan tertipu oleh koperasi abal-abal. Seperti halnya investasi bodong mengatasnamakan koperasi.

Ia mencontohkan, negara-negara yang ekonomi domestiknya stabil terjadi karena koperasi memiliki kontribusi sebagai kelembagaan yang sudah mapan. Untuk mengikuti jejak negara-negara tersebut, Suroto menyampaikan harus ada Gugus Wilayah (Guswil) yang menangani koperasi secara serius. Menurutnya yang paling penting saat ini adalah masyarakat mencari sumber daya pengetahuan sendiri untuk merombak tata kelola koperasi yang ada di masyarakat, kemudian membangun spirit baru untuk mengembangkan koperasi sesuai dengan prinsip dan nilai-nilainya. Lebih lanjut diakui Suroto, keberadaan koperasi masih memerlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mampu bertransformasi dan berkembang. Pasalnya hingga saat ini, kekuatan koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif kecil. Padahal, seharusnya koperasi diharapkan menjadi pilar atau “Soko Guru” perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat.