- Juni 19, 2012
- Posted by: andriansyah
- Categories: Artikel, Keuangan Mikro
Membicarakan keuangan mikro agak sulit untuk membedakan nuansanya, apakah bertujuan membiayai kegiatan produktif ataukah konsumtif mengingat pelaku usaha mikro adalah rumah tangga yang tentu saja informal sifat usahanya. Informal dalam arti tak memiliki badan ataupun izin usaha. Akibatnya, sulit pula memisahkan, mana yang penghasilan rumah tangga dengan kegiatan usaha. Maka definisi kredit mikro pun baur, hingga yang dibatasi adalah nilai kredit dan merujuk perbankan, kredit mikro adalah kredit dengan pagu di bawah Rp50 juta.
Bila mengutip penelitian INDEF 2003 terhadap BPR, BRI Unit Mikro dan bank komersial, rata-rata kredit mikro adalah Rp3,5 juta. Dari sisi penghasilan, penghasilan pengusaha mikro umumnya harian, sebutlah Rp20 ribu, Rp50 ribu atau bahkan lebih kecil daripada itu. Maka, mereka akan kelabakan tatkala dituntut melunasi kebutuhan yang insidental, seperti biaya pendidikan anak. Dan memang dalam kredit mikro ada nuansa helping the poor, artinya membantu yang miskin untuk memacu produktivitas juga menjauhkannya dari jebakan retenir.
Nuansa lain keuangan mikro adalah gerakan swadaya masyarakat melalui pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang kini pertumbuhannya banyak difasilitasi oleh LSM dengan mengembangkan lembaga keuangan mikro (LKM). Maka, tak dapat disalahkan pendapat yang mengatakan keberadaan undang-undang (UU) tentang LKM tidaklah urgent, yang penting usaha mikro tetap berjalan. Sebab, LKM informal yang berjumlah ribuan dengan beragam bentuk akan sulit untuk diatur atau diformalkan, meski setelah berkembang dapat menjadi koperasi atau badan usaha lainnya. Tujuan akhir UU tersebut sebenarnya adalah agar lebih banyak orang miskin (yang menggarap usaha mikro) yang memperoleh akses kredit. Sebab, pemberdayaan usaha mikro merupakan strategi yang paling potensial untuk pengentasan kemiskinan.
Ikhwal perluasan akses kredit setidaknya dapat dicapai melalui tiga modus. Pertama, kendala akses kredit ke perbankan dapat ditembus melalui LKM dan karenanya program hubungan bank-LKM menjadi penting. Kedua, persyaratan kredit bagi usaha mikro sebenarnya dapat diringkas menjadi 2 C, yaitu character dan collateral. Collateral bagi pengusaha mikro adalah kelayakan atau prospek usaha itu sendiri, namun untuk menilainya harus ada ‘catatan usaha’. Tugas penting LSM/LKM adalah membantu para pengusaha mikro agar mampu membuat catatan usaha. Sebab, akan sangat repot bila soal ini dibebankan ke perbankan. Ketiga, mengembangkan akses LKM ke lembaga dana yang menyediakan dana murah. Idealnya pemberdayaan orang miskin haruslah multilayer, multistrata, dan dengan modus beragam.
Menghadapi kemiskinan yang begitu masif pemerintah ditantang untuk mengembangkan model pelayanan keuangan yang pro poor dengan belajar dari keberhasilan dan kegagalannya di masa lalu. Selain itu, memacu pengembangan LKM dengan cara membentuk lembaga khusus yang mem-back up LKM-LKM yang telah dirintis oleh masyarakat. Malangnya pemerintah tidak punya policy dan blue-print pengembangan LKM, belum lagi rongrongan korupsi yang sudah begitu sistemik. Bila kondisi semacam ini masih kental, LKM akan cenderung dibiarkan berjalan sendiri, artinya hanya bergantung pada dinamika keswadayaan masyarakat semata.
Dr. Iman Sugema (Direktur INDEF)
-Disarikan dari hasil wawancara Sigit Jati Waluyo dengan Dr. Iman Sugema – 7 Juli 2005 di Jakarta –