- Maret 10, 2022
- Posted by: Astri
- Category: Artikel
Permasalahan sosial masih banyak ditemui di Indonesia, terutama di masyarakat pedesaan dan pinggiran kota. Adalah Dudi Krisnandi dan Hanna Keraf, dua sosok sociopreneur yang tergerak untuk mengatasi permasalahan sosial di pedesaan dengan mengikutsertakan masyarakat setempat. Keduanya menjalankan usaha yang tak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi berupaya untuk mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Pertemuan Dudi Krisnandi, Owner PT Moringa Organik Indonesia, dengan Bambang Ismawan, pendiri Yayasan Bina Swadaya pada 2004 membuat Dudi memantapkan diri untuk menjadi wirausaha sosial. Dudi percaya, jalan yang dipilih bermanfaat dan berkontribusi pada permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Berkat dorongan dan nasihat dari Bambang Ismawan, Dudi kemudian memantapkan diri untuk bergerak dan terjun langsung ke masyarakat. Hal inilah yang melandasi tindakan-tindakan yang ia lakukan bersama masyarakat melalui usaha produksi kelor.
Baginya, ada satu keunikan yang ia temukan dari kelor. Dalam proses menjalankan usaha kelor, Dudi mengaku perlu melibatkan masyarakat. Hal tersebut teringat karena filosofi dari Bambang Ismawan.
“Pak Bambang pernah berkata kepada saya: ‘Gunakanlah sedikit mesin dan ajaklah sebanyak mungkin orang.’ Ucapan Pak Bambang ini bahkan masih melekat hingga hari ini,” ungkap Dudi pada diskusi virtual yang mengangkat tema “Pemberdayaan Tak Kunjung Sudah” dalam rangka mensyukuri 84 Tahun Bambang Ismawan yang diselenggarakan secara virtual, Senin (7/3).
Pada kesempatan itu, dirinya bercerita, dalam satu hektare lahan kelor, ia melibatkan sekitar 20–30 orang untuk melepas daun kelor dari tangkainya. Tangkai kelor harus benar-benar terlepas dari daunnya. Hal ini karena tangkai kelor mengandung antinutrisi yang dapat mengurangi jumlah nutrisi dalam daun kelor saat diolah.
Pada proses pengembangan kelor selanjutnya, Dudi berhasil menciptakan mesin yang bisa disimpan di rumah. Mesin tersebut ia ciptakan agar masyarakat dengan hanya memiliki 1.000 pohon kelor bisa memiliki penghasilan sekitar Rp3 juta per bulan tanpa harus meninggalkan pekerjannya sebagai petani.
Melalui kelor, pria asal Pangandaran, Jawa Tengah ini, turut melibatkan banyak masyarakat dalam proses produksinya seperti janda-janda tua dan masyarakat rentan di sekitar tempat tinggalnya di Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora. Melalui usahanya, ia memiliki misi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.
Meski begitu, banyak tantangan yang harus ia lalui dalam memberdayakan masyarakat. Mempekerjakan banyak orang membuat ia harus ekstra menanamkan kepatuhan dan kejujuran kepada para pekerja.
“Memang benar ada tantangannya ketika kita melibatkan banyak orang dalam proses produksi, yaitu kepatuhan atas SOP dan kejujuran yang sampai saat ini menjadi kendala terbesar. Namun, saya meyakini, apa pun yang saya lakukan, saya ingin hasilnya turut berdampak bagi masyarakat sekitar,” ungkapnya.
Hal senada juga dialami oleh Hanna Keraf. Putri dari Alexander Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan Nasional ini, juga mendedikasikan dirinya sebagai sociopreneur untuk membantu menuntaskan permasalahan sosial di desa, mengikuti jejak Bambang Ismawan.
Pertemuannya dengan Bambang Ismawan pertama kali ketika Hanna berusia 23 tahun. Saat itu dirinya masih bekerja pada Yayasan Sahabat Cipta dan Swiss Contact yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan yang berada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hanna menyebut, Bambang Ismawan menjadi salah satu alasan dirinya mendirikan Du Anyam.
“Satu nasihat dari Pak Bambang yang tidak akan pernah saya lupakan adalah saat beliau mengatakan: ‘Ketika kamu sudah masuk ke komunitas, kamu memiliki tanggung jawab besar untuk melanjutkan pemberdayaannya dan tidak boleh berhenti di tengah jalan.’ Begitu banyak pelajaran dari beliau tentang kewirausahaan sosial,” tutur Hanna.
Du Anyam memberdayakan perempuan di Nusa Tenggara Timur untuk membuat anyaman. Sejak berdiri pada 2014, Du Anyam berhasil memberdayakan dan meningkatkan taraf hidup perempuan melalui kearifan lokal dengan serat alam di NTT sebanyak lebih dari 1.200 orang.
Melalui pengembangan anyaman, Du Anyam meyakini perempuan dapat memiliki akses untuk meningkatkan perekonomiannya secara mandiri. Untuk mengembangkan kapasitas ibu-ibu binaannya, Du Anyam memberikan pelatihan dan pendampingan mulai dari peningkatan kualitas, desain, dan nilai tambah bagi produk anyaman.
Diakui Hanna, tantangan terbesarnya saat ini adalah minimnya minat generasi muda membangun bisnis yang juga dapat menyelesaikan permasalahan sosial. Du Anyam hadir untuk memberikan dampak bagi masyarakat.
“Isu yang sangat sering ditemukan adalah bagaimana gerenasi muda dari kota-kota besar yang memiliki kapasitas mulai dari jaringan, pendidikan, kemampuan untuk membuka akses pasar, kemampuan membangun organisasi justru tidak memiliki jaringan yang kuat di level akar rumput. Sangat minim anak-anak muda yang mau mengembangkan bisnis dari desa bersama masyarakat. Kami sebagai anak-anak muda yang juga seorang wirausaha sosial tidak hanya memikirkan mengembangkan usaha semata, tetapi juga menjadikan komunitas menjadi bagian dari perkembangan perusahaan. Perusahaan berkembang maka komunitas berkembang,” jelas Hanna.
Dirinya berkeinginan untuk mengajak lebih banyak anak muda yang berada di desa dengan segala permasalahan sosial yang ada berkesempatan untuk mengembangkan usaha bersama masyarakat.
“Inilah tantangan yang sara rasa perlu dipelajari oleh generasi muda untuk sama-sama menyelesaikan permasalahan sosial di desa dengan membangun jaringan dan komunitas dari level akar rumput barulah membangun wirausaha sosial, wirausaha yang berdampak bagi masyarakat,” tutup Hanna.