Revitalisasi Desa sebagai Elemen Penting Pemulihan Ekonomi Berkelanjutan

Kehadiran desa dinilai menjadi wadah yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan sosial-ekonomi. Sebuah desa dapat maju, mandiri, dan sejahtera apabila berjalan sesuai dengan aspek pendukungnya. Sebab, revitalisasi desa merupakan elemen penting dalam pemulihan ekonomi berkelanjutan. Selain itu, revitalisasi desa juga erat kaitannya dalam pembangunan masyarakat desa.

Ketua Pengurus Yayasan Bina Swadaya, Bayu Krisnamurthi, mengungkapkan, momentum perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 tahun dimaknai sebagai kebangkitan desa-desa di Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia berutang kemerdekaan pada orang desa. 77 tahun yang lalu, penderitaan para pahlawan bangsa dalam merebut kemerdekaan tak lepas dari hidup sebagai ‘bangsa kuli’, represi dan penganiayaan, kelaparan, serta kemiskinan.

“Pejuang-pejuang kemerdekaan yang gagah berani sebagian adalah orang desa. Mereka merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan segala keterbatasan namun mampu mengusir penjajah. Kita berhutang kemerdekaan pada orang desa,” kata Bayu Krisnamurthi dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau bertema “Mengisi Kemerdekaan dengan Gerakan Revitalisasi Desa”, Jumat (18/8/22).

Menurutnya, jika kemerdekaan itu berarti bebas dari kemiskinan dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya, orang desa belum merdeka seutuhnya. Permasalahan kemiskinan di Indonesia, sebagian besar berada di pedesaan. Sekitar 15 juta orang penduduk pedesaan berada dalam kemiskinan (55% dari total penduduk miskin).

Di sisi lain, Indonesia juga masih menghadapi permasalahan stunting, di mana sekitar 25% atau hampir 8 juta dari 31 juta anak usia dini masih terkategori stunting dan 62% dari jumlah tersebut berada di pedesaan. Belum lagi, beragam permasalahan mendasar seperti krisis air bersih, minimnya layanan kesehatan, ketersediaan sekolah, serta masalah kekurangan gizi dan kerentanan pangan masih belum terselesaikan.

“Belum lagi, desa seolah terdiskriminasi oleh terbatasnya fasilitas dan akses terhadap internet.  Dengan demikian, berbagai fasilitas dan peluang yang ditimbulkan oleh teknologi digital tidak dapat dinikmati oleh orang desa,” tegasnya.

Diakui Bayu, berbagai kajian yang telah dilakukan di Jepang, Korea, dan Eropa Barat menunjukkan masa depan bergantung pada desa. Desa buruk akan menciptakan masa depan yang buruk pula. Bahkan, sebuah simulasi yang dilakukan United Nations menunjukkan bahwa pada 2050 mendatang, produksi pangan masih akan disediakan oleh desa (rural-area), meski urban farming semakin berkembang.

Oleh karena itu, menurut Bayu, harmonisasi kehidupan sosial-ekonomi, sosial-politik, bahkan kebudayaan dan peradaban manusia bergantung pada keseimbangan dan berkurangnya kesenjangan kehidupan di desa dan kota (rural-urban inclusivity). Menurutnya, tugas kita bersama membuat desa dan kota saling inklusif satu sama lain. Belum lagi permasalahan ‘pertempuran’ menghadapi iklim ekstrem dan ketidakpastian iklim akan banyak bergantung pada peran pedesaan mempertahankan bentang alam desa.

“Masa depan kita akan bergantung pada desa. Dengan tiga tiga alasan yang meliputi historis, kemanusiaan, dan masa depan, kita harus mengembangkan, membangun, dan merevitalisasi desa,” ungkapnya.

Ke depan menurutnya, unit operasional paling tepat untuk membangun bangsa harus berawal dari desa. Sebab, suksesnya pencapaian SDGs Desa ditekankan pada inclusivity. Revitalisasi Desa diartikan sebagai meletakkan kembali arti penting desa secara proposional dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik bangsa dan negara. Desa memiliki arti penting yang luar biasa, baik bagi dirinya sendiri maupun bangsa dan negara.

“Desa bukan daerah yang akan ditinggalkan, dan membangun desa bukan berarti membuat desa menjadi kota,” ungkap Bayu tegas.

Menurut Bayu, untuk menuju Indonesia yang lebih maju, revitalisasi desa memerlukan integrasi beberapa faktor kunci yang meliputi infrastruktur desa, keberlanjutan ekonomi dan bisnis pedesaan, kehidupan sosial budaya desa, daya dukung dan daya tahan desa, serta keterkaitan dan saling ketergantungan antara desa-desa dan desa-kota.

“Kalau ini bisa kita mewujudkannya, bukan hanya desa-desa yang akan maju, Indonesia juga akan menjadi makmur, berdaya saing, berkembang, dan terhormat di mata dunia,” tutup Bayu.

Hal senada juga diungkapkan oleh Inisiator Gerakan Revitalisasi Desa Bambang Ismawan, menurutnya desa seharusnya kuat sehingga bisa menjadi penopang bagi kehidupan warganya. Sebagai akar dari Negara Indonesia, desa harus mandiri sehingga pohonnya (Negara Indonesia) tumbuh kuat. Ironinya, dalam 20 tahun terakhir kondisi desa semakin tertinggal jika dibandingkan dengan kota. Masyarakat yang tinggal di desa semakin terpinggirkan dengan adanya pembangnan dan kebijakan-kebijakan yang pada akhirnya kurang mendukung kehidupan di desa. Hingga akhirnya banyak warga yang memilih meninggalkan desa untuk mengadu nasib ke kota. Hal ini tidak terlepas dengan marginalisasi desa yang berpengaruh pada aspek-aspek di dalamnya, yakni sumberdaya manusia, kelembagaan, keuangan, produksi, rantai pasok, dan lingkungan.

Salah satu upaya pemerintah untuk membangun desa dengan diterbitkannya Undang-undang No. 6/2014 tentang Desa yang memberikan pengakuan dan kewenangan bagi desa untuk mengelola dan mengembangkan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Undang-undang tersebut juga menjamin ketersediaan dana untuk membiayai program-program yang direncanakan oleh desa melalui dana desa.

“Penguatan kelembagaan masyarakat sebagai wadah pengembangan usaha sosial ekonomi yang mendukung perwujudan desa maju, mandiri dan berkelanjutan,” ucap Bambang.

Lebih lanjut diakui Bambang, usaha mikro memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara. Keuangan mikro berkontribusi besar dalam mengentaskan kemiskinan. Bung Hatta pernah berkata bahwa kemerdekaan kita untuk sektor perekonomian rakyat.

Sejalan dengan Bung Hatta, Bambang menyebut Profesor Mubyarto juga pernah mengatakan bahwa sektor perekonomian rakyat merupakan sektor yang menghidupi sebagian besar rakyat Indonesia. ”Hingga diakhir hayatnya pada 2005 lalu, pernyataan ini masih belum terjawab,” jelas Bambang.

Pernyataan tersebut akhirnya terjawab oleh lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), usaha kecil didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri. Usaha ini dilakukan perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar serta memenuhi kriteria lain.

Sementara itu, Penyuluh Sosial Sentra Terpadu Pangudi Luhur Bekasi-Kementerian Sosial, Latri M.Margono, menjelaskan, revitalisasi pembangunan desa adalah memperkuat kelembagaan pemerintah desa dan antardesa untuk mendorong masyarakat desa mampu tampil sebagai subyek pembangunan yang berwenang mengelola pembangunan desa secara mandiri. Di dalam perangkat desa, terdapat komponen bangsa yang meliputi tetua adat, komunitas adat, dan masyarakat (perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas). Semua komponen itu adalah warga negara Indonesia seutuhnya.

“Istilah pemberdayaan masyarakat digunakan secara luas oleh lapisan masyarakat, seperti diantaranya pembuat kebijakan, praktisi, pelaksana program, pekerja sosial, penyuluh pertanian dan sosial, serta kelompok profesional lain. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang impelentatif dalam pembangunan yang berpusat kepada partisipasi masyarakat merupakan suatu keharusan yang perlu dikembangkan,” tuturnya.

Setelah berbagai program-program yang diterapkan kepada desa, saat ini dirinya mengatakan bahwa gerakan revitalisasi desa yang digaungkan oleh Bambang Ismawan tak dapat dikerjakan sendiri, di mana perlu adanya sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan program tersebut.

Diakuinya, penting dan menjadi konsentrasi bersama adalah bagaimana merevitalisasi kembali sebuah komunitas atau masyarakat untuk tetap mempertahankan keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia. Terlebih keberadaan desa adat berfungsi sebagai pelestari sekaligus pelaku kearifan lokal yang berpotensi dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat, serta penguatan karakter masyarakat. Karena itu, perlu adanya unsur pemberdayaan.

“Membangun suatu wilayah bukan berarti meninggalkan wilayah tersebut dari desa/dusun menjadi sebuah kota. Tetapi semua itu semata-mata untuk masyarakat yang lebih maju dan berkembang. Sama halnya di Kementerian Sosial RI melalui Direktorat Komunitas Adat Terpencil dan Keberdayaan Ekonomi Sosial juga terus mengarahkan program-program untuk masyarakat adat dan komunitas adat terpencil untuk dapat bergerak lebih maju,” tutupnya.



Tinggalkan Balasan