- Juni 19, 2012
- Posted by: andriansyah
- Categories: Artikel, Peristiwa, Profil Kemandirian
“Kehilangan…” itulah yang perasaan yang menggelayuti para sahabatnya saat mendengar kabar bahwa Prof. Dr. Mubyarto dipanggil Tuhan pada hari Selasa 24 Mei 2005. Kabar duka itu tersiar setelah 4 hari lamanya Muby, demikian ia akrab dipanggil, dirawat di RS Sardjito, Yogyakarta. Sosok sederhana yang memasuki usia 67 tahun itu tak kuasa melawan penyakit paru-paru basah dan serangan jantung ringan yang menggerogotinya sejak lama. Kehilangan ini begitu meyayat, semangat Muby untuk menggelorakan Ekonomi Pancasila tak akan pernah padam. Meski kenyataannya, ia bak seorang “nabi” yang “berseru-seru di padang gurun”. Tak banyak yang mau memperhatikan gagasannya, baik pembuat kebijakan pemerintah, pelaku ekonomi, bahkan kalangan cendekiawan.
Kita patut khawatir. Jangan-jangan Ekonomi Pancasila hanya tinggal “kenangan” saja pasca kepergian Muby. Tak ada lagi yang mau menggali khazanahnya. Bulan Januari lalu dalam seminar yang diadakan oleh United Nations Support Facility for Indonesia Recovery dengan SCTV, Muby tak bisa memendam kekesalannya ketika dengan sinis seorang mahasiswa mengatakan, “Ekonomi Pancasila sudah usang. Pak Muby perlu menggagas ide yang lain”.
Promotor dan pemikir Ekonomi Pancasila ini memang patut diteladani. Ia meyakini bahwa ilmuwan tidak seharusnya berdiam di “menara gading”. Baginya, ilmu merupakan sarana untuk memajukan umat manusia. Maka Muby pun bertekad mendedikasikan hidupnya bagi kemajuan kemanusiaan, terutama bagi yang lemah, miskin, dan terpinggirkan. Tak heran jika kehidupan pedesaan, kaum petani, dan rakyat kecil akrab dengan lelaki kelahiran Desa Demakijo, Sleman, Yogyakarta, 3 September 1938. Semangat merakyat itu ditularkannya ke anggota keluarga dengan cara mengajak Sri Hartati Widayati, isteri tercinta dan 4 anaknya untuk berekreasi atau sekadar beranjangsana ke desa. Bahkan di tengah-tengah kesibukannya, Pak Muby menyempatkan diri berdiskusi dan mendengar keluhan para pedagang batik di pasar Ngasem (Yogyakarta).
Ia juga menyendengkan telinga untuk mendengarkan ratapan tukang potong ayam maupun pengusaha mikro lainnya yang menghadapi laju kenaikan harga-harga sebagai dampak pencabutan subsidi BBM. Keberpihakan terhadap nasib petani juga secara nyata ditunjukkannya antara lain melalui penolakan terhadap privatisasi air. Diam-diam Muby pun menolak mengonsumsi komoditas-komoditas pertanian dari mancanegara yang deras menyerbu Indonesia sebagai buntut dari perjanjian WTO dan AFTA. Contoh-contoh tersebut hanya sebagian dari bentuk perlawanannya terhadap kebijakan-kebijakan yang membuat petani dan rakyat kecil semakin sengsara.
Menengok ke belakang, istilah Ekonomi Pancasila sebenarnya diciptakan oleh Profesor Emil Salim sekitar 1960-an. Namun, istilah tersebut justru lebih melekat pada sosok Mubyarto. Ini karena kegigihan dan konsistensinya untuk menggali dan memperjuangkan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi nasional. Polemik EP pun meluas usai diseminarkan dalam acara Dies Natalis Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) pada 19 September 1980. Semangat Muby jugalah yang mendasari pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM yang salah satu tujuannya adalah mencari dan menemukan kebijakan alternatif untuk menyejahterakan rakyat, menanggulangi kemiskinan, dan mengatasi ketimpangan ekonomi berlandaskan etika Pancasila.
Hakikat Ekonomi Pancasila
Ekonomi Pancasila merupakan gagasan mengenai sistem ekonomi nasional yang mengacu dan didasarkan pada etika falsafah Pancasila dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral.
- Ada kehendak kuat dari warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, yaitu tidak membiarkan terjadinya ketimpangan ekonomi dan sosial.
- Dijiwai semangat nasionalisme ekonomi dan tantangannya di era globalisasi, yaitu terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh dan mandiri.
- Demokrasi ekonomi berdasarkan kerakyatan dan kekeluargaan. Dalam konteks ini, koperasi dan usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat.
- Adanya keseimbangan yang harmonis, efisien dan adil antara perencanaan nasional dengan otonomi yang luas, bebas dan bertanggung jawab menuju terciptanya keadilan sosial.
Ide utama Ekonomi Pancasila (EP) adalah mendorong para pelaku ekonomi bekerja atas dasar rangsangan ekonomi dan moralitas agar perekenomian nasional berjalan dengan mekanisme yang sehat serta menghasilkan output yang baik. Jika prinsip ini dipegang, bahaya monopoli dan ketamakan para kapitalis yang mengusung semboyan survival of the fittest akan tereliminasi. Pendek kata, kalau semua pelaku ekonomi berperilaku ‘baik’, maka perekonomian nasional pun akan bekerja secara baik pula.
Kondisi ideal yang digagas Muby mengundang banyak kritik, terutama mengenai cara mencapai hal-hal ideal tersebut. Menjawab pengkritiknya, Muby berargumen bahwa Ekonomi Pancasila memang tak mudah diwujudkan sehingga sangat membutuhkan kerja keras, komitmen, maupun kerja sama antara berbagai disiplin ilmu sosial. Di sisi lain, penerapan EP menghadapi tantangan berat dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi kekuatan adidaya setelah ambruknya Uni Sovyet pada 1991. “Wajah terbaru” kapitalisme yang dikenal sebagai “Konsensus Washington” telah bergulir pada 1989. Wajah baru kapitalisme tersebut memiliki 3 pilar, yaitu stabilitas ekonomi makro, liberalisasi (modal dan uang), dan privatisasi. Meski para pejabat kita menolak disebut sebagai “penganut” Konsensus Washington, fakta gencarnya privatisasi dan liberalisasi seolah sulit untuk membantah hal itu.
Menyorot kondisi ekonomi nasional, Muby menilai ekonomi Indonesia adalah ekonomi utang. Memang, sejak era Orde Baru, ekonomi republik kita sangat bergantung pada kucuran modal asing dalam bentuk investasi ataupun utang. Ini merupakan dampak dari pendekatan teori ekonomi Neo-Klasik yang diterapkan oleh para pengambil kebijakan yang hanya mengedepankan rangsangan ekonomi (dan menafikan rangsangan moral) sebagai penggerak roda perekonomian. Sehingga mereka pun cenderung memacu pertumbuhan ekonomi dengan dukungan utang luar negeri. Akibatnya, negara terjatuh dalam krisis moneter dan masuk perangkap sistem kapitalistik. Inilah yang memaksa Presiden Soeharto “menjual” kedaulatan ekonomi kita ke tangan IMF.
Konsekuensi mengikuti resep-resep IMF maupun Bank Dunia justru memperpuruk perekonomian nasional. Selain itu, fakta juga telah membuktikan, banyak kebijakan dan praktik ekonomi lain yang bertentangan dengan sistem Ekonomi Pancasila. Misalnya, kasus-kasus privatisasi BUMN yang menyebabkan pengalihan kepemilikan ke tangan investor asing, pencabutan subsidi BBM dan subsidi untuk petani yang membuat rakyat tercekik, privatisasi air, serta pengucuran dana BLBI dan rekapitulasi perbankan senilai Rp750 triliun. Praktik-praktik tersebut membuktikan bahwa para pembuat kebijakan lebih peduli pada pengusaha besar, sedangkan pengusaha mikro dan kecil tetap tertinggal dalam rentang garis kemiskinan.
Praktis, pascakrisis, komponen sistem Ekonomi Pancasila yang masih bertahan adalah ekonomi kerakyatan yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi skala mikro, kecil, dan menengah (lebih populer dengan akronim “UMKM”). Bila pemerintah memang serius mengentaskan kemiskinan, jalan yang harus ditempuh adalah memberdayakan usaha mikro dan kecil. Itu berarti harus mengangkat harkat-martabat Ekonomi Pancasila.
Semoga Ekonomi Pancasila tidak hanya menjadi prasasti berukir yang dibiarkan tak terawat di tengah padang belantara atau cagar budaya, tetapi menjadi prasasti hidup yang terus-menerus mengeluarkan gema yang menyemangati untuk bertindak meski sang nabinya, Muby, telah pergi. Hanya untuk rakyat Indonesia… (sjw, wien)