PPKM Bina Swadaya: Memaknai Sebuah Komitmen

Awalnya adalah sebuah panggilan. Panggilan itu mengusik para pendiri Bina Swadaya. Terngiang dalam benak mereka, “Kehadiran Bina Swadaya harus mampu mengangkat harkat-martabat masyarakat miskin.” Komitmen itu antara lain diterjemahkan dalam program pelayanan keuangan mikro bagi masyarakat miskin yang membutuhkan modal kerja.

Pergumulan pelayanan keuangan mikro Bina Swadaya dimulai dari Program Tabungan Setia Kawan dan Kredit Setia Kawan (1976), Program Hubungan Bank dan KSM (1988—2001), Pos Pelayanan Lapang (1991—1992), Bank Perkreditan Rakyat (1992), Lembaga Pendampingan Usaha Mandiri (1999), hingga Pusat Pengembangan Keuangan Mikro (PPKM) yang dijalankan pada 2002. Refleksi yang ditarik Bina Swadaya dari perjalanan panjang berkarya bagi masyarakat miskin melalui sektor keuangan mikro ini adalah pelayanan yang berjalan relatif lambat. Artinya, jumlah masyarakat yang terlayani sedikit, sedangkan sistem yang dianut pun sulit melayani secara cepat. Padahal, impian besarnya adalah bagaimana melayani kebutuhan masyarakat miskin secara cepat dengan outreach (jangkauan) yang besar.

Pergerakan untuk mewujudkan impian itu berujung dengan direplikasikannya pelayanan keuangan mikro model ASA (Association for Social Advancement) yang diadopsi dari Bangladesh. “Pelayanan keuangan mikro model ASA cukup ideal, karena memadukan pendekatan financial, social, dan membership. Tentunya dengan model seperti itu, upaya kita untuk menjangkau orang miskin akan lebih efektif,” menurut Direktur PPKM (Pusat Pengembangan Keuangan Mikro), sebuah gugus yang mewadahi bentuk-bentuk kegiatan pengembangan keuangan mikro Bina Swadaya.

Kekhasan pelayanan keuangan model ASA dapat ditilik dari kedisiplinan, baik di tingkat kelompok, para staf lapang maupun manajemen PPKM. Ciri lainnya, kegiatan keuangan berpusat di tingkat lembaga, bukan di kelompok masyarakat. Kredit yang diberikan tidak mensyaratkan agunan. Sebagai gantinya, anggota harus rutin menghadiri pertemuan serta menyetorkan angsuran secara tertib dan tanpa toleransi tunggakan.

Terdapat beberapa aturan main penting yang perlu dipahami khususnya menyangkut kriteria area, kelompok, serta kebijakan kredit ataupun tabungan. Area yang dipilih kantor PKM untuk menjadi target pelayanan adalah area yang jumlah keluarga miskinnya relatif besar dan aktif secara ekonomi. Jarak lokasi kelompok-kelompok yang dibentuk maksimal 5 km dari kantor PKM dan terdapat sarana atau akses transportasi menuju ke sana.

Sementara, untuk keanggotaan kelompok disyaratkan harus perempuan, memiliki usaha sendiri, suami, ataupun keluarga. Jenis usahanya bisa meliputi pertanian, peternakan, perdagangan, industri rumah tangga, kerajinan, ataupun jasa. Penghasilan keluarga disyaratkan maksimal Rp1 juta per bulan untuk pedesaan dan Rp2 juta per bulan untuk perkotaan. Anggota berusia 18—55 tahun (di atas 55 tahun dimungkinkan sejauh sehat secara fisik dan aktif menjalankan usaha) dan sistem keanggotaan berbasis domisili (RT/RW). Jumlah anggota dalam setiap kelompok maksimal 30 orang. Satu keluarga hanya boleh menjadi satu anggota kelompok. Anggota yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan anggota lain tidak boleh disatukan dalam satu kelompok yang sama. Pelajar dan mahasiswi tidak diperbolehkan menjadi anggota kelompok.

Pertemuan kelompok dilaksanakan secara mingguan pada pada hari, waktu, dan di tempat yang sama. Anggota kelompok wajib menghadiri pertemuan dan tidak boleh diwakilkan. Lama pertemuan kelompok maksimal satu jam. Setiap kelompok dikoordinir oleh satu orang koordinator yang juga berasal dari kelompok yang bersangkutan. Koordinator tidak boleh merangkap menjadi koordinator kelompok lainnya. Ia juga tidak memperoleh uang jasa atas posisi tersebut.

Untuk memperoleh pelayanan keuangan, syarat utamanya antara lain (anggota) wajib menabung secara rutin dan tidak boleh ada hari menabung yang lowong. Anggota baru diperbolehkan mengajukan kredit minimal setelah 4 minggu menabung. Keputusan untuk meluluskan kredit ini pun harus didahului survei lokasi dan kegiatan usaha. Pola angsuran dirancang secara mingguan dan tidak menolerir tunggakan.

Meramu SOIP dan Komitmen

Kelanggengan sebuah LKM menuntut terpenuhinya 4 faktor kritis, yaitu sustainability, outreach, impact, dan performance (disingkat ”SOIP”). Merujuk informasi dari Kepala Unit Keuangan PPKM, sustainability (keberlanjutan) dimaknai sebagai kemampuan untuk menutup seluruh biaya modal dan operasional. Sustainability mencakup aspek modal, kualitas aktiva produktif (menyangkut kredit dan penempatan dana pada pihak ketiga), serta manajemen umum dan risiko. Indikator utamanya adalah Operating Self Sufficiency (OSS) dan Financial Self Sufficiency (FSS). OSS merupakan indikasi kemampuan LKM untuk menutup seluruh biaya operasional yang diketahui dari perbandingan antara pendapatan dan biaya operasional.

Sementara, FSS merupakan indikasi kemampuan LKM untuk menutup biaya operasional dan modal. Nilainya dapat diketahui dari perbandingan antara pendapatan dan biaya operasional ditambah biaya modal. Dengan rata-rata outstanding credit per cabang Rp900 juta, bisa menutup biaya operasional dan modal, bila capaian repayment rate (RR) minimal 95%. Namun untuk mengejar sustainability, jangan mudah tergoda melonggarkan aturan karena akan berakibat fatal.

Outreach (jangkauan) merupakan jumlah target yang harus dicapai dalam ukuran yang tepat dan tidak overload. Perhitungannya, satu cabang rata-rata terdiri atas 4—5 CO (Credit Officer). Setiap CO melayani 18 kelompok yang masing-masing beranggotakan 20—30 orang. Jadi, idealnya satu kantor cabang PKM melayani lebih dari 1.440 keluarga. Faktanya, CO saat ini hanya melayani rata-rata 15 kelompok dengan jumlah anggota 13 orang per kelompok. ”Para CO terlalu prudent alias takut terjebak kredit macet. Sebab itu mereka tidak mau sembarangan merekrut anggota kelompok,” sibak Sarjono kalem.

Capaian outreach sangat bergantung pada ketersediaan dana, apalagi LKM yang bercirikan credit led microfinance lebih berfokus pada pelayanan kredit dengan jangkauan anggota yang banyak daripada memobilisasi tabungan. Jadi drive yang digunakan adalah kredit, bukan tabungan. Dengan kata lain, jumlah kredit yang digulirkan jauh lebih besar daripada jumlah tabungan yang masuk. Menyoal keterbatasan dana bisa mengharap perbankan, karena mereka tak cukup diyakinkan bahwa pelayanan ke pengusaha mikro adalah sesuatua misi yang baik, sebaliknya mereka tetap menuntut kolateral, akibatnya LKM-LKM berpaling ke lembaga donor.

Menurut Arihadi, bila anggota kelompok terus dimotivasi untuk menabung, maka hal itu akan bisa menjadi sumber pendanaan bagi kantor cabang PKM. Memang, umumnya LKM yang berhadapan dengan masalah keterbatasan dana akhirnya harus bernegosisasi untuk memperoleh dukungan perbankan. Langkah terakhir yang biasanya ditempuh adalah berpaling ke lembaga donor. Namun, selama hampir 3 tahun berjalan, PPKM telah berhasil memobilisasi tabungan yang berkontribusi 20% untuk pendanaan kredit.

Impact atau dampak pelayanan keuangan terhadap target group dilihat dari meningkatnya omzet, pendapatan (meski relatif tak signifikan), dan kontinuitas usaha. Kredit mungkin saja digunakan untuk memenuhi kebutuhan nonusaha, sebab kredit mikro memang berdimensi helping the poor. Namun, prinsipnya kredit diberikan untuk kepentingan usaha. Indikasi pemanfaatan dana kredit untuk keperluan usaha atau nonusaha sulit terlihat. Misalnya, seorang pedagang mengajukan kredit untuk keperluan usaha. Namun, di sisi lain ia juga memerlukan dana untuk membayar uang sekolah anaknya. “Kalau pedagang itu tidak memperoleh kredit, maka akan timbul 2 kemungkinan. Usahanya terganggu atau anaknya tidak bayar uang sekolah. Jadi untuk mengetahui impact, perlu diteliti pula penggunaan kreditnya.

Sementara, mengenai performance (kinerja), ukuran yang banyak dipakai adalah repayment rate (tingkat pengembalian) yang terbagi dalam beberapa jenis, seperti realisasi atau target angsuran, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL), dan kredit berisiko (Portfolio at Risk/PAR). Saat ini PPKM menggunakan ukuran target/realisasi dan PAR. Salah satu kiat memacu kinerja, menurut Arihadi dan Sarjono, adalah ”mengejar” anggota kelompok yang memiliki tunggakan 1—3 angsuran agar segera menutupnya. Oleh karena itu, budaya disiplin menyetor angsuran alias tidak ada toleransi terhadap tunggakan harus dijaga. Dari unsur CO, mereka diharapkan untuk dapat secara intensif mensosialisasikan kesadaran, bahwa kredit adalah pilihan (option) dan bukan hak.

Tantangannya, bagaimana meramu sustainability, outreach, impact, dan performance dalam suatu sistem manajemen. Barangkali perlu melihat kembali standar manajemen, bagaimana operasionalisasinya, serta bagaimana staf dan manajemen PPKM merespons segala tantangan yang dihadapi.

Merunut perjalanan PPKM sejak Oktober 2002, kinerja tahun pertama dan menjelang akhir tahun kedua sangat baik. Repayment rate tinggi. Memasuki akhir tahun kedua PPKM menghadapi tantangan berat. Tantangan pertama, terdapat anggota kelompok yang memiliki kebiasaan menunda pembayaran. Ada juga anggota kelompok yang menganggap kredit sebagai bantuan dan hak, memiliki perilaku ngemplang (enggan atau menolak membayar utang), serta perilaku tidak jujur yang ditampakkan dalam bentuk penyalahgunaan kredit.

Tantangan kedua, perlu terus-menerus ditanamkannya nilai kedisiplinan atau kepatuhan pada aturan maupun standar manajemen, baik di tingkat anggota kelompok, staf operasional, maupun manajemen PPKM. Ketiga, sulitnya mencari kaum muda beretos kerja tinggi yang mau mendedikasikan dirinya untuk melayani masyarakat miskin.

Pemberdayaan masyarakat miskin merupakan sebuah kerja besar dan menuntut perjuangan yang serius, pengelolaan yang profesional dan beretika. Pelayanan keuangan bagi pengusaha mikro membutuhkan komitmen jangka panjang, ”Apa pun tantangan dan risikonya, kita harus setia pada komitmen, karena itu merupakan ’nilai’ yang harus diberikan untuk orang-orang miskin.” (sjw, wien)