- Oktober 24, 2022
- Posted by: Astri
- Categories: Artikel, BBWH
Peneliti Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Suci Wulandari, menilai, ketika terjadi kesetaraan gender di mana partisipasi perempuan meningkat, secara otomatis terjadi peningkatan produktivitas di sektor pertanian. Menurutnya, hal ini dapat dicapai ketika terjadi penguatan peran perempuan.
Lantas, bagaimana cara meningkatkan peran perempuan?
Sebuah fenomena yang kita hadapi secara global bahwa saat ini kita berhadapan pada perubahan demografik yang menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan pangan. padahal pada saat yang bersamaan, terjadi tekanan besar terhadap sumber daya alam. Belum lagi permasalahan sampah makanan (food waste) masih menjadi isu yang berpengaruh terhadap inefisiensi pasar dan tekanan terhadap lingkungan. Permasalahan lainnya yang tengah dihadapi adalah perubahan iklim yang menekan produksi di sektor pertanian.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan sebagai alternatif mengatasi permasalahan ini adalah melalui sistem integrasi tanaman–ternak. Di mana di dalamnya bergabung sistem produksi yang memungkinkan penggunaan input secara lebih efisien. Food and Agriculture Organization (FAO) telah mengidentifikasi penerapan sistem integrasi tanaman–ternak sebagai langkah solutif.
Jika dilihat berdasarkan segi kelestarian alam dan lingkungan, penerapan sistem integrasi tanaman–ternak menjadi salah satu strategi adaptasi dan mitigasi dari perubahan iklim. Adapun dari segi ekonomi, sistem ini dapat meningkatkan produksi dan efisiensi sehingga dimungkinkan menciptakan sebuah sistem pertanian terpadu yang berdaya tahan dan mampu mengatasi risiko. Sementara itu, dari aspek sosial budaya, sistem ini dapat mendorong keterlibatan perempuan dalam skala lebih besar.
Sistem integrasi tanaman–ternak dapat dilakukan melalui sistem integrasi sawit–sapi. Sistem ini memadukan usaha ternak sapi dalam usaha perkebunan kelapa sawit tanpa mengurangi aktivitas dan produktivitas tanaman. Potensi dan manfaat penerapan sistem ini untuk peternakan sapi adalah sebagai penyedia hijauan dari perkebunan kelapa sawit (solid dan bungkil) yang akan diolah menjadi pakan ternak bergizi tinggi. Sementara itu, kotoran sapi diolah menjadi limbah padat dan cair untuk menghasilkan pupuk cair, biogas ataupun kompos untuk meningkatkan kesuburan lahan.
Sistem integrasi bertujuan meningkatkan produktivitas, baik dari sisi sapi ternak maupun perkebunan kelapa sawit. Jika dihubungkan dalam rantai pasok, melibatkan banyak tenaga kerja. Ini menjadi semakin kompleks ketika sistem integrasi tanaman dan ternak. Di dalamnya terjadi peluang yang sangat besar dalam keterlibatan perempuan.
“Perempuan dibutuhkan di dalam sebuah sistem produksi pertanian, namun keterlibatan tersebut tidak bisa berjalan secara otomatis sehingga harus disesuaikan dengan sistem pertanian yang akan melibatkan perempuan di dalamnya. Di sistem integrasi tanaman dan ternak yang berorientasi pada bisnis sehingga sistem kewirausahaan sangat penting diterapkan,” kata Suci dalam Bincang-Bincang Wisma hijau bertema ‘Peran dan Tantangan Perempuan di Rantai Pasok Pertanian Indonesia’, Selasa (11/10/22).
Oleh karena itu, lanjut Suci, keterlibatan perempuan dalam sistem integrasi tanaman dan ternak mensyaratkan adanya aspek kewirausahaan yang memadai sehingga perempuan tidak hanya terlibat secara fisik, tetapi juga secara substansial dalam kegiatan tersebut.
Menurutnya, ada satu pendekatan yang dimungkinkan untuk meningkatkan peran perempuan dengan memperkuat sisi kewirausahaan mereka. Diakui Suci, dapat dilihat pula individual faktor bukan satu-satunya sehingga ketika akan memperbaiki aspek kewirausahaan pada perempuan terutama di sistem integrasi tanaman dan ternak kemungkinan besar tidak akan berjalan optimal, apabila sistem rantai pasok tidak memberikan dukungan besar terhadap perempuan.
Ada dua aspek pendekatan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peran perempuan, yaitu program pendampingan dan penyediaan dukungan fasilitas agar perempuan meningkatkan kemampuan kewirausahaannya.
“Berdasarkan kajian kami, yang paling memungkinkan adalah membangun pengetahuan dari perempuan itu sendiri. Sebab, yang terjadi selama ini pendekatan dilakukan secara tradisional, di mana hanya melibatkan perempuan secara fisik di antara ketersediaan waktunya. Peningkatan produktivitas tidak akan terjadi, apabila pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan tradisional. Sehingga perlu dibangun pengetahuan dari perempuan tersebut. Pada saat yang bersamaan, dibutuhkan membangun sebuah bisnis inkubator yang membantu perempuan memiliki model-model keterlibatan dan bisnis pertanian yang bisa mereka pilih dan bisa diikuti dengan baik oleh perempuan. Terakhir, kita harus memastikan perempuan terlibat di dalam bisnis inkubator tersebut,” tutup Suci.