- Juni 20, 2021
- Posted by: AstriSO93
- Categories: Artikel, Catatan
Tanggal 1 Juni telah ditetapkan Pemerintah sebagai Hari Lahir Pancasila, sekaligus hari libur nasional. Upacara kenegaraan pun diadakan untuk memperingatinya. Masyarakat memperlakukan bulan Juni sebagai bulan Pancasila. Kita bangga, dunia internasional menghargai kecerdasan para penggali dan penyusun Pancasila sebagai falsafah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan falsafah dasar ini semakin diyakini sangat tepat dan bermanfaat bagi negara yang warganya begitu bineka dalam agama, ras dan suku, bahasa maupun adat istiadat, yang tersebar di ribuan pulau. Pertanyaan yang banyak terlontar saat ini adalah seberapa serius nilai- nilai Pancasila di mewujudkan dalam penyelenggaraan negara serta perilaku dan tindakan nyata warganya.
Setiap hari dalam bulan Juni ini, Pancasila diberitakan dan dibahas dalam media konvensional maupun media sosial. Terbaca antara lain Yudi Latif membahas “Pancasila, Idealitas dan Realitas, mengungkap kesenjangan antara cita-cita dan perilaku, terutama karena sikap the love of power jauh lebih besar daripada the power of love. Akhmad Syafii Maarif membahas “Lumpuhnya Pancasila” dengan menelusuri sejarah dan mengatakan bahwa Pancasila telah diagungkan secara lisan tapi dikhianati dalam perilaku. Bahkan ditengarai bahwa Pancasila pernah digunakan untuk membunuh demokrasi. Magnis Suseno, dengan tema: “Pancasila, tidak kurang dan tidak lebih” menyatakan bahwa Pancasila tidak perlu dihayati seperti menghayati Agama, tetapi hendaknya menghayati Pancasila karena kita beragama. Sementara, webinar yang diselenggarakan Kawal Indonesia, Baskara dan Perkumpulan Amerta menyimpulkan perlunya merumuskan konsep ekonomi berdasarkan nilai-nilai Pancasila dengan kesiapan ķelembagaan yang akurat serta kapasitas yang memadai para penyelenggaranya.
Memang masih banyak webinar diadakan membahas Pancasila dari berbagai bidang dan sudut pandang. Dalam minggu pertama bulan Juni ini telah dua kali saya menjadi narasumber webinar tentang Pancasila. Kebanyakan narasumber membahas Pancasila dari segi-segi falsafah hidup berbagsa, pendidikan, hukum, ekonomi dan lain-lain. Tetapi hampir tidak ada yang membahasnya dari segi tindakan. Disini kesempatan memperkenalkan Bina Swadaya menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam tindakan. Menghadapi masalah-masalah kemiskinan yang mendera sebagian besar rakyat Indonesia, Bina Swadaya melakukan berbagai kegiatan, kemudian merefleksikan hasil yang dicapai menjadi pengetahuan baru, dan selanjutnya melakukan kegiatan-kegiatan baru dengan pengetahuan yang telah diperoleh.
Bina Swadaya (berdiri 1967) berakar pada Gerakan Sosial Ekonomi Pancasila (GSEP, berdiri 1954). GSEP didirikan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang sangat prihatin terhadap masalah- masalah sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat. Kemudian GSEP mendirikan Ikatan Buruh Pancasila (1954), Ikatan Petani Pancasila (1958), Ikatan Usahawan Pancasila (1962), Ikatan Paramedis Pancasila (1963) dan Ikatan Nelayan Pancasila (1964). Melalui organisasi- organisasi tersebut masyarakat warga diajak bergabung mengatasi masalah- masalah sosial-ekonomi yang kita hadapi dengan mengutamakan kemampuan diri secara bersama.
Bina Swadaya berproses sesuai perkembangan sosial-politik dan ekonomi yang berlaku. Sejak didirikan sampai 1974 bergerak sebagai bagian dari Ikatan Petani Pancasila (IPP). Setelah IPP bergabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Bina Swadaya bertransformasi menjadi lembaga pemberdayaan dan pengembangan sosial-ekonomi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Selanjutnya, sejak 1999 Bina Swadaya ditengarai bertransformasi menjadi Lembaga Wirausaha Sosial, yaitu ketika sebagian besar program-programnya dilaksanakan secara wirausaha. Kewirausahaan Sosial adalah pembangunan sosial berkelanjutan dengan strategi kewirausahaan. Maknanya mencakup berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dengan pengembangan lapangan kerja produktif dan memelihara lingkungan hidup secara gotong royong. Dengan mengaplikasikan kewirausahaan dalam menyelenggarakan program- program, diharapkan kemandirian lembaga dibidang keuangan akan lebih terjamin.
Dalam rangka memperingati ulang tahun kemerdekaan NKRI ke 72 (2017), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memilih dan menetapkan 72 Icon Pancasila berprestasi, dan Bina Swadaya terpilih menjadi salah satunya. Kemudian dalam suatu sarasehan para penerima penghargaan terlontar suatu pertanyaan; Bina Swadaya itu berkarya terkait pada sila nomer berapa dari Pancasila? Pertanyaan ini dijawab “Semua sila dalam Pancasila”. Penjelasannya: Komitmen Bina Swadaya untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin dan terpinggirkan mencerminkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua); komitmen kemanusiaan yang dihayati dengan ketulusan dan kebebasan ini bersumber pada iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (sila pertama); upaya yang diperjuangkan Bina Swadaya adalah pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat lemah demi keadilan sosial (sila kelima); upaya-upaya tersebut dilakukan dengan mengajak warga masyarakat berpartisipasi dengan menyatukan dalam kelembagaan lokal melalui musyawarah-mufakat, saling asah, saling asih dan saling asuh (sila keempat). Konkritasi dari usaha tersebut diwujudkan dengan terbentuknya Kelompok Swadaya Masyarakat di desa-desa yang kemudian menyatukan diri membentuk kelembagaan di tingkat Kabupaten, Provinsi dan Nasional (sila ketiga). Itulah bagaimana Bina Swadaya menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan lembaga, menetapkan dan mengelola program- program.
Pancasila adalah roh dan petunjuk arah Bina Swadaya. Dan Bina Swadaya adalah salah satu bentuk pelaksanaan Pancasila dalam tindakan.
Oleh Bambang Ismawan