- April 28, 2025
- Posted by: Astri
- Categories: Articles, Artikel, Economics, International, Keuangan Mikro

Bina Swadaya, sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat, berhasil menciptakan Program Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) yang kini menjadi model internasional. Berawal dari Lokakarya Nanjing 1986, perjuangan ini tidak hanya mengubah kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia, tetapi juga diadopsi oleh berbagai negara lain, termasuk India.
Sebagai lembaga yang berfokus pada pemberdayaan sumber daya manusia, Bina Swadaya memilih keuangan mikro sebagai instrumen pendukung program-programnya. Mengapa? Karena kemandirian masyarakat, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan, hanya bisa dicapai bila ada dukungan finansial yang kuat.
“Orang miskin itu uangnya terbatas, bahkan kurang. Tidak mungkin terus-menerus diberi bantuan. Mereka harus belajar menabung, sehingga kemandirian bisa terwujud,” kata Bambang Ismawan, Pendiri Bina Swadaya, dalam Podcast Nawala Bisma berjudul Keuangan Mikro yang Menginspirasi Dunia, yang tayang di kanal YouTube Bina Swadaya belum lama ini.
Menurutnya, kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang sebenarnya merupakan koperasi berbasis komunitas (community-based cooperative). Bina Swadaya kemudian mengembangkan ide untuk tidak hanya memberi bantuan, melainkan membangun kerja sama di bidang keuangan melalui konsep matching fund. Ini adalah program pendanaan yang mendorong usaha-usaha produktif di masyarakat.
Pendampingan yang dilakukan oleh tenaga lapangan Bina Swadaya membangkitkan semangat masyarakat untuk mengembangkan usaha. Namun, keterbatasan modal tetap menjadi hambatan. Karena itu, melalui program tabungan dan matching fund, dana masyarakat dikembangkan hingga bisa mencapai lima kali lipat dari jumlah tabungan awal.
“Dana tersebut kami kembalikan ke masyarakat dalam bentuk kredit. Inilah yang kami sebut ‘Tabungan Setia Kawan’ kepada Bina Swadaya, dan kami kembalikan sebagai ‘Kredit Setia Kawan’ kepada mereka,” ujarnya.
Meskipun membawa program yang mendukung kesejahteraan masyarakat, perjalanan Bina Swadaya penuh tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah meyakinkan masyarakat untuk menabung, di tengah kondisi ekonomi yang serba kekurangan.
“Mereka selalu mengatakan, ‘Pak, kami ini sudah miskin, kok masih diminta menabung,’ kenang Bambang. “Saya jawab, lebih baik miskin tapi punya tabungan, daripada miskin tanpa tabungan.”
Lambat laun, setelah mulai menabung, masyarakat memiliki rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kelompok mereka. Kelompok-kelompok ini dipelihara dengan baik oleh anggotanya, bahkan bertahan hingga 20–30 tahun, dan ada yang masih aktif setelah 55 tahun.
“Ini sangat penting. Mereka memiliki sesuatu yang bisa menolong diri mereka sendiri (self-help),” tambahnya.
Kesuksesan program koperasi lokal yang dijalankan Bina Swadaya di berbagai daerah seperti Sumatera dan Jawa kemudian dipresentasikan oleh Bambang Ismawan dalam Lokakarya Nanjing 1986. Presentasi ini mendapat apresiasi besar. Bina Swadaya pun menjadi anggota Asian NGO Coalition (ANGOC) yang bermarkas di Manila, Filipina, didukung oleh FAO dari Roma, Italia. FAO juga mendukung lembaga Asia Pacific Rural and Agricultural Credit Association (APRACA), yang kemudian bekerja sama dengan ANGOC untuk mengadakan seminar di Nanjing, China.
“Sebagai anggota ANGOC, kami diundang untuk mempresentasikan pengalaman tentang kredit dan tabungan,” tuturnya.
Perjalanan ke Nanjing sendiri bukan tanpa hambatan. Karena hubungan diplomatik antara Indonesia dan China saat itu belum pulih sepenuhnya, Bambang harus mengurus surat Exit Permit Only (EPO) untuk bisa berangkat.
Dalam seminar tersebut, disadari bahwa masyarakat miskin memang membutuhkan dukungan pendanaan. Namun bukan dalam bentuk hibah (grant) terus-menerus, melainkan dalam bentuk edukasi untuk menabung dan mengelola keuangan. Pendekatan Bina Swadaya ini mendapat dukungan luas dan terus berkembang.
Di Indonesia sendiri, lanjutnya, semangat ini mendorong Bina Swadaya untuk menghubungi Bank Indonesia. Bersama-sama, mereka memperkenalkan konsep hubungan antara bank dan kelompok swadaya masyarakat, yang kemudian melahirkan Program Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). Program ini tidak hanya sukses di Indonesia, tetapi juga diadopsi oleh negara-negara lain yang tergabung dalam APRACA, termasuk India.
“National Bank for Agriculture and Rural Development (NABARD) di India bahkan mengklaim telah melayani 3 juta kelompok,” ungkapnya lagi.
Ia menutup ceritanya dengan penuh syukur atas perjalanan panjang ini. “Karena berbagai kesulitan yang dihadapi Indonesia, justru lahirlah cara-cara yang bermanfaat, tak hanya bagi rakyat kita, tapi juga menginspirasi negara-negara lain. Kami di Bina Swadaya selalu melihat peluang di dalam kesulitan,” tutup Bambang.