Memahami Makna Bantuan

“Kehadiran ETESP-ADB di NAD dan Nias bukan datang begitu saja tapi dilatarbelakangi oleh musibah gempa bumi dan tsunami. Orang sering lupa bahwa bantuan, termasuk bantuan ADB, adalah bantuan kemanusian,” demikian Abu Yamin, Team Leader Bina Swadaya, dalam kata sambutannya ketika menghadiri pelatihan CF di Wisma Oikhoda Desa Sorake, Nias Selatan, Selasa (10/7).

Pernyataan di atas disampaikannya berkaitan dengan semakin pudarnya makna bantuan di tengah-tengah masyarakat. Bantuan seringkali dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai “barang” yang setiap orang berhak mendapatkannya. Oleh sebab itu, dia merasa perlu menyampaikan hal di atas guna menyamakan persepsi tentang makna bantuan tersebut. Bantuan, demikian Abu Yamin lebih lanjut, dilatarbelakangi oleh tragedi kemanusiaan (gempa bumi dan tsunami) yang mengakibatkan hilangnya ratusan ribu nyawa, harta benda, serta kerusakan infrastruktur. Dengan demikian, bantuan seyogyanya disikapi dan dipahami sebagai bantuan yang memberdayakan dalam kerangka pemulihan mata pencaharian (livelihood restoration) dan bukan bantuan yang menimbulkan konflik.

Dia juga menyebut, dengan bahasa religius, bahwa bantuan ini adalah bantuan ta`ziyah (suatu terma dalam agama Islam dimana bantuan diberikan kepada keluarga yang meninggal dan secara religius haram untuk mengambil dan memakannya, red). Lebih radikal lagi Samsul Sembiring, DIU Kab. Nias, menyebut bantuan ini adalah bantuan kematian karena dasarnya adalah orang-orang yang meninggal akibat musibah gempa bumi dan tsunami. Oleh karena itu, lanjutnya, kita harus memahami “roh” dari proyek ini, yaitu membantu orang-orang yang menderita akibat musibah tersebut.

Dalam konteks bantuan ini, Abu Yamin mengatakan bahwa Community Facilitator (CF) bukan semata-mata tenaga fasilitator Bina Swadaya, namun lebih dari itu CF adalah pembawa amanat dari si pemberi amanat itu sendiri. Dengan kata lain, CF punya tanggung jawab moral dalam mengemban tugasnya di lapangan. Di depan Kepala Dinas Perikanan dan Kepala Bappeda Nias Selatan, Abu Yamin menegaskan bahwa CF dan CMS hendaknya bisa menjaga etika; CF dan CMS tidak diperkenankan menerima apa pun dari kelompok. Pernyataan ini merupakan bentuk komitmen dari Bina Swadaya dan pihak-pihak terkait lainnya.

Pernyataan Abu Yamin di atas diamini oleh Herman Laia, SH, MHum, Kepala Bappeda Nias Selatan. Mantan pejabat Pemda Sumatera Utara yang sekaligus membuka pelatihan CF ini mengatakan, semua bantuan yang diberikan dilatarbelakangi oleh peristiwa kemanusiaan. Dengan demikian, harapannya, semua bantuan itu benar-benar disalurkan kepada orang-orang yang berhak. Lebih jauh Laia mengatakan, Nias, terutama Nias Selatan, punya potensi yang luar biasa dalam bidang perikanan. Potensi ini harus digali untuk kesejahteraan rakyat. Potensi yang besar ini tentu dikelola dengan keahlian-keahlian tertentu. Dalam konteks ini, semua pihak yang terkait, CF, CMS, SA, DIU punya peran yang sangat strategis. Ia menghimbau pihak-pihak terkait untuk memanfaatkan kegiatan bantuan ini agar bisa  berpartisipasi dalam rangka pemulihan ekonomi masyarakat (livelihood restoration).

Terkait dengan implementasi program di lapangan, Seatao Amazihono, Pejabat PPK Satker BRR ADB-ETESP Sektor Perikanan Kab. Nias & Nias Selatan mengatakan, CF jangan sampai merusak program yang sudah dibangun selama ini, sehingga sosialisasi yang sudah dilaksanakan dan keputusan-keputusan yang sudah disepakati bisa menjadi pegangan bersama. Di samping itu, ia menghimbau agar selalu berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait karena koordinasi sangat penting untuk menghindari berbagai masalah yang terjadi di kemudian hari.

Dalam melaksanakan tugas di lapangan, pihak DIU siap membantu kendala-kendala yang dihadapi CF. “CF akan menghadapi berbagai tantangan ketika berhadapan dengan masyarakat. Yang penting adalah laksanakan tugas sesuai dengan petunjuk yang ada. Kami dari DIU tetap bersama dan akan membantu jika CF mengalami kesulitan di lapangan”, demikian jelas DIU Kab. Nias Selatan, Saderakhi Waruwu. (ya)