Kontribusi Ekonomi Solidaritas Sosial dalam Mewujudkan Pekerjaan yang Layak di Indonesia

International Labour Organization (ILO) memiliki mandat konstitusional untuk memajukan keadilan sosial guna menciptakan pekerjaan yang layak sesuai dengan Ekonomi Solidaritas Sosial (ESS). ESS dapat berperan dalam mengatasi tantangan dari era pascapandemi dan mengarahkan pekerjaan masa depan yang berpusat pada planet dan manusia.

Berdasarkan laporan Pekerjaan Layak yang di publikasi ILO dijabarkan bahwa pekerjaan layak merupakan hal utama dalam upaya-upaya pengentasan kemiskinan dan merupakan cara untuk mencapai pembangunan yang setara, inklusif dan berkelanjutan. Pekerjaan layak juga melibatkan kesempatan atas kerja yang produktif dan memberikan pendapatan yang adil, memberikan keamanan di tempat kerja dan perlindungan sosial bagi pekerja dan keluarganya serta memberikan masyarakat kebebasan dalam menyatakan kekhawatiran mereka, berorganisasi dan terlibat dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

“Pekerja didorong untuk membangun lingkungan kerja yang kondusif sesuai dengan keragaman ESS untuk mempromosikan pekerjaan yang layak. Kami berharap dapat memajukan ESS dalam memberikan layanan pekerjaan yang layak dengan tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Head of Cooperative Unit ILO Geneva Simel Esim dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau yang berkolaborasi dengan ASEC Indonesia dan ILO dengan tema “Workshop Asian Solidarity Economy Forum Peran SSE dalam memberikan kerja yang layak Indonesia” yang diselenggarakan secara hybrid, Kamis (21/7/22).

Pada kesempatan yang sama Program Officer ILO Jakarta, Tendy Gunawan menjelaskan pekerjan yang layak dalam unit ekonomi sosial solidaritas (ESS) memiliki 4 pilar, pertama employment. Employment sendiri memiliki 3 turunan yang terdiri dari kesempatan kerja, remunerative employment, dan working conditions.

Kedua, social security. Pekerja harus memiliki jaminan sosial yang melindungi pekerja mulai dari pekerja sakit, kecelakaan kerja, hingga jaminan pensiun.

Pilar ketiga, basic ride. Pilar ketika ini memiliki turunan seperti tidak ada pekerja yang dipaksa, tidak ada pekerja anak, tidak ada diskriminasi di tempat kerja, dan freedom of association. Menurut Tendy, setiap pekerja berhak mempunyai asosiasi untuk menyuarakan hak-haknya.

Indikator keempat, lanjut Tendy adalah social dialogue. Social dialogue memiliki 3 macam level, pertama level antara pemberi kerja dan penerima kerja. Level kedua adalah management dan pekerja, dan ketiga adalah social partner dan pembuat kebijakan.

“Sehingga antara pemberi kerja dan penerima kerja harus berbentuk collective bargaining. Collective bargaining ini mencakup semua aspek seperti antara supplier ke vendor, antara petani dan koperasi, sehingga adanya negosiasi dari kedua belah pihak. Ekonomi Solidaritas sosial sangat masuk ke dalam 4 pilar tersebut. Pekerja bisa terlibat dalam pengambilan keputusan di perusahaan. Sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Sehingga Decent work dapat dilihat tidak hanya dari sisi pemberian upah ataupun jaminan sosialnya, tetapi juga bisa dilihat dari sisi pekerja memiliki hak untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masa depan pekerja,” tutup Tendy.

Hal senada diungkapkan Pendiri Yayasan Bina Swadaya sekaligus Pendiri ASEC Indonesia Bambang Ismawan. Pihaknya menjelaskan bahwa Ekonomi Solidaritas Sosial dibentuk dan dibangun dengan mengutamakan modal manusia, menjaga kelestarian lingkungan hidup, serta memberikan manfaat yang diperoleh kepada shareholders.

“Perspektif SSE mendasarkan pada sikap percaya bahwa Tuhan menyediakan sumber daya alam cukup asal dibagikan secara adil. Karena itu mengedepankan strategi kerjasama dengan mengutamakan modal manusia, menjaga kelestarian lingkungan hidup, serta memberikan manfaat yang diperoleh kepada shareholders.

Sementara itu, Ketua Koperasi Usaha Bersama Sejahtera Sosial Masyarakat (UBSSM) Henut Hendro Pramono mengungkapkan pihaknya membangun Koperasi UBSSM sebagai bentuk keprihatinan terhadap profesi buruh. Di mana profesi ini begitu dengan dengan persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hadir sejak tahun 2017, dengan jumlah anggota awal sebanyak 76 orang, dalam waktu 5 tahun terakhir jumlah anggota koperasi ini mencapai lebih dari 400 anggota.

“Pandemi Covid-19 menjadi pukulan terberat profesi buruh. Di mana hampir di semua sektor industri terpuruk akibat pandemi, mengakibatkan PHK besar-besaran. Sulitnya mencari pekerjaan baru juga menjadi tekad kami membentuk koperasi ini berdiri. Koperasi ini dibangun untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi siapapun, khususnya dari sektor pekerja yang terkena PHK,” kata Henut dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau yang berkolaborasi dengan ASEC Indonesia dan ILO yang diselenggarakan secara hybrid, Kamis (21/7/22).

Selain pandemi, kendala lain yang dihadapi pekerja buruh adalah perubahan teknologi, kondisi saat ini memaksa industri dan perusahaan memanfaatkan teknologi membuat tenaga manusia mulai tergantikan dengan sistem dan mesin. Jumlah pengurangan tenaga manusia ke mesin ini juga cukup signifikan. “Anggota koperasi kami berasal dari beragam profesi dari sektor industri. Potensi-potensi para anggota untuk membuat unit usaha bersama sangat besar. Saat ini kami membangun 2 unit usaha, minimarket dan restoran. Dua unit usaha ini berdiri murni dari dana anggota yang terkumpul hampir Rp1 miliar. Meski unit usaha ini sempat terpukur didera pandemi, kami tetap optimis bahwa pekerja mampu memiliki usaha-usaha yang dibangun secara swadaya. Ketika kita mampu membangun usaha sendiri, masa depan bis akita tentukan sendiri,” tutup Henut.



Tinggalkan Balasan