- Oktober 24, 2022
- Posted by: Astri
- Categories: Artikel, BBWH
Sebagian masyarakat masih menganggap laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda berdasarkan gender. Laki-laki dianggap memiliki derajat yang lebih kuat, gagah, pekerja keras, dan cocok melakukan aktivitas di luar rumah. Sementara itu, perempuan dianggap sebagai makhluk lemah lembut, keibuan, dan tak cocok beraktivitas di luar rumah.
Perempuan pada umumnya banyak yang tersingkir akibat stigma yang terjadi di masyarakat tersebut. Pola relasi gender ini yang memberikan peran lebih besar terhadap laki-laki dibanding perempuan yang dibatasi dari berbagai kegiatannya. Dengan begitu, secara tidak langsung hal ini menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan bagi perempuan.
Namun, seiring perkembangan zaman, banyak perempuan yang memutuskan untuk mencari nafkah bagi keluarga. Seorang perempuan yang memiliki peran sebagai pencari nafkah bagi keluarga jelas tidak mudah. Akan tetapi, faktanya, perempuan pencari nafkah di keluarga ini bukan hal tabu bagi kehidupan sosial masyarakat. Padahal, perempuan yang terlibat perekonomian di dalam keluarga selain ingin menunjang kesejahteraan, juga ingin meringankan beban suaminya.
Kemandirian perempuan ini dapat terlihat dari keterlibatannya terhadap sektor pertanian di Nusa Tenggara Timur (NTT). Wakil Direktur Bagian Humas, Promosi & Kerja Sama Politeknik Pertanian Negeri (Politani) Kupang, Melinda R.S Moata, mengungkapkan, untuk mengukur sejauh mana keterlibatan perempuan terhadap sektor pertanian, Politeknik Pertanian Negeri (Politani) Kupang melakukan survei di 21 kabupaten, dengan jumlah responden sebanyak 110 orang.
Dari 110 responden yang mengikuti survei, didominasi oleh petani tanaman pangan dan perkebunan. Hal ini mengingat topografi wilayah NTT diklasifikasikan menjadi dataran rendah, dataran tinggi, gunung, dan pegunungan (perbukitan) sehingga mendukung untuk melakukan kegiatan bercocok tanam.
Dikatakan Melinda, petani yang berada di wilayah dataran tinggi menghasilkan produk-produk perkebunan. Adapun sisanya, banyak menghasilkan produk tanaman pangan, hortikultura, perikanan, dan peternakan.
“Kami melakukan survei terhadap 110 responden yang terdiri dari 75% laki-laki dan 25% perempuan yang tersebar di 21 kabupaten. Berdasarkan hasil survei tersebut, terlihat bahwa mayoritas responden berprofesi sebagai petani produktif dengan rentang usia 15 hingga 65 tahun,” jelas Melinda dalam webinar Bincang-Bincang Wisma Hijau bertema ‘Peran dan Tantangan Perempuan di Rantai Pasok Pertanian Indonesia’, Selasa (11/10/22).
Lebih lanjut pihaknya menjelaskan, berdasarkan data hasil survei terhadap 110 responden, dapat disimpulkan, mayoritas petani di NTT memiliki luas lahan kurang dari 1 hektare, diikuti dengan kepemilikan lahan seluas 1–2 hektare. Berdasarkan hasil survei tersebut menunjukkan laki-laki (suami) memegang peranan besar di bidang pertanian dengan persentase 80,9%, kemudian diikuti oleh peranan istri di bidang pertanian dengan persentase 30,9%. Hal ini terjadi karena perempuan masih memegang peranan dan tanggung jawab mengurus rumah tangga dan anak.
Diakui Melinda, laki-laki memegang peranan paling tinggi di bidang pertanian. Laki-laki akan berfokus pada pengelolaan uang untuk usaha tani yang dialokasikan untuk pengelolaan lahan, pemupukan, benih dan pemeliharaan. Laki-laki berperan dalam proses teknis di lapangan. Adapun perempuan berperan pada pemasaran usaha tani.
“Perempuan memiliki peran besar dibandingkan laki-laki dalam usaha tani, khususnya pada bidang pemasaran sehingga pengetahuan tentang entrepreneurship terhadap perempuan penting digalakkan, khususnya pengelolaan panen, pengolahan hasil dan pemasaran,” tegas Melinda.
Sementara itu, akses penggunaan mesin dan teknologi masih didominasi oleh laki-laki, di mana ketertarikan perempuan pada penggunaan mesin dan teknologi di NTT masih sangat minim. Namun, perempuan memiliki peran pada bidang pemasaran melalui pemanfaatan media sosial.
“Ke depan penting bagi kami untuk lebih memberdayakan perempuan pada pemanfaatan sosial media sebagai wadah untuk melakukan pemasaran, karena perempuan memiliki kekuatan tersebut. Jika ini berjalan baik, kami akan meningkatkan kapasitas mereka pada bidang-bidang lainnya,” tutur Melinda.
Untuk sistem pemberian upah di NTT, Melinda mengaku, pemberian upah kepada laki-laki lebih besar ketimbang perempuan. Sementara itu, untuk tingkat pendidikan, rata-rata didominasi oleh tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) sehingga untuk pendidikan formal antara perempuan dan laki-laki tidak jauh berbeda.
Permasalahan yang masih dihadapi di NTT adalah masyarakat (laki-laki dan perempuan) yang mendapatkan pelatihan usaha tani, baik formal maupun informal masih minim. Tercatat, hanya 50% masyarakat yang mendapatkan pelatihan. Dari 50% tersebut ada beberapa pelatihan yang diikuti masyarakat, mulai dari pelatihan budidaya tanaman, pembenihan, pemupukan, kelompok tani, rantai nilai hingga penggunaan alat dan mesin pertanian, serta beberapa jenis pelatihan di bidang pertanian.
Berdasarkan 110 responden tadi, lanjut Melinda, dapat terlihat aktivitas yang dilakukan perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Perempuan memiliki 17 aktivitas, sedangkan laki-laki hanya 13 aktivitas.
“Selain terlibat dalam usaha tani, perempuan memiliki aktivitas lain di luar bidang pertanian. Aktivitas perempuan lebih banyak dan lebih menarik dibandingkan laki-laki. Tantangan yang dihadapi perempuan juga lebih banyak antara laki-laki dan perempuan,” tambahnya.
Menurutnya, ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan secara bersama yakni perlunya penguatan kelembagaan untuk perempuan seperti pembentukan koperasi, bank perkreditan rakyat, kelompok tani, PKK, keluarga, hingga pegadaian.
“Namun beberapa bidang yang belum melibatkan peran perempuan harus ditingkatkan, misalnya seperti persiapan lahan hingga panen dan penggunaan teknologi. Pekerjaan ini untuk perempuan hanyalah pekerjaan tambahan karena selain mengurus anak, keluarga dan aktivitas sosial lain, di sela waktu kosongnya perempuan membantu usaha di bidang pertanian,” tutup Melinda.