Kelompok Disabilitas Tungku Mose Jaong Jadi Pejuang Pangan Organik

Upaya membantu masyarakat terdampak pandemi Covid-19 dalam memenuhi kebutuhan pangan terus digencarkan Jaringan Katholik Melawan Covid-19 (JKMC) bersama Trubus Bina Swadaya (TBS). TBS dan JKMC menjalankan sebuah misi, yaitu menguatkan ketahanan pangan keluarga yang terdampak Covid-19. Misi ini dilakukan dengan memberikan dampingan dan bantuan stimulan berkelanjutan.

Bersama JKMC, TBS melakukan pendampingan kepada Kelompok Disabilitas Tungku Mose Jaong, Desa Jaong, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Trubus Bina Swadaya bekerja sama dengan Counterpart Internasional menggalang dana dengan beberapa negara di Afrika. Dana yang didapatkan, kita donasikan ke Kelompok Disabilitas Tungku Mose Jaong sebesar Rp11 juta yang diperuntukkan untuk mengembangkan pertanian dan peternakan babi,” jelas Emilia Setyowati, Sekretaris Eksekutif Yayasan Bina Swadaya.

Manajer Program Kelompok Disabilitas Tungku Mose Jaong, Rikhardus Roden Urut, mengungkapkan kelompok disabilitas yang berlokasi di Desa Jaong, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT ini dibentuk oleh Forum Inklusi Paroki Langke Majok, Pemerintah Desa Jaong, dan Yayasan Ayo Indonesia pada 29 Oktober 2019.

“Kelompok ini bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan keluarga disabilitas agar mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten, Gereja, dan Pemerintah Desa dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya dan politik mereka,” kata Rikhardus.

Kelompok disabilitas ini berjumlah 25 orang, beranggotakan aparat desa, guru, pegiat sosial, dan 15 KK penyandang disabilitas. Jenis disabilitas yang teridentifikasi adalah 2 orang ODGJ, 1 orang epilepsi, 2 orang kaki bengkok, dan sisanya adalah gangguan penglihatan. Jumlah KK disabilitas di Paroki Langke Majok secara keseluruhan adalah 164 KK.

“Mereka diberi pendampingan tentang pertanian organik, pelatihan pembuatan pupuk bokashi, menyediakan benih sayur-sayuran, hingga mendapatkan pendampingan teknis dan motivasi,” ujar pria yang bertanggung jawab sebagai pengendali pada program pemberdayaan sosek, khususnya para keluarga penyandang disabilitas.

Rikhardus mengatakan, dirinya dibantu dua orang pendamping lapangan yang bertugas melatih keluarga disabilitas tentang bisnis pertanian organik yang bergizi, pelatihan ekonomi hingga ekologi.

Staf lapangan juga melakukan pendampingan motivasi, untuk mendorong keluarga disabilitas mencari uang, menyediakan makanan bergizi dan ikut menjaga kualitas ekologi dengan menerapkan pertanian organik. Uang hasil penjualan sayuran organik digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan pangan lainnya.

Salah seorang anggota kelompok disabilitas, Kelianus Jemat, anak yang mengalami gangguan pada kaki (sempat menderita kelumpuhan). Meski usianya baru menginjak 11 tahun, ia begitu semangat menanam dan menjual sayur-sayuran demi membantu kedua orangtuanya. Hasil panen tersebut sebagian dikonsumsi untuk anggota keluarga dan sebagian lagi mereka jual. Dari hasil menjual sayuran biasanya Kelianus bisa mendapatkan uang sekitar Rp1,5 juta.

“Upaya pemberdayaan ini akan terus dilanjutkan dan mereka akan diajarkan juga agar melek keuangan agar mereka memiliki budaya menabung di Koperasi Kredit,” tutup Rikhardus.



Tinggalkan Balasan