ISEA dan Bina Swadaya Lakukan Riset Pemberdayaan Perempuan pada Rantai Nilai Pertanian

Institute For Social Entrepreneurship in Asia (ISEA) tengah bekerja sama dengan Bina Swadaya untuk melaksanakan penelitian tindakan (action research) pemberdayaan perempuan pada rantai nilai pertanian. Salah satu dari kegiatan tersebut adalah mini riset.

Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh ISEA bersama para mitranya yang dilakukan di Indonesia, Vietnam, Thailand, dan Filipina. Di Indonesia, kajian ini dilakukan oleh Bina Swadaya bersama Dompet Dhuafa.

Peneliti Bina Swadaya Konsultan, Ana Budi Rahayu mengatakan, mini riset ini memiliki tujuan. Pertama, untuk mengetahui dampak Covid-19 terhadap perusahaan agribisnis, yaitu Trubus Mitra Swadaya bersama para penyuplai (supplier), baik laki-laki maupun perempuan di dalam rantai usaha pertanian.

Lalu yang kedua, setelah melakukan mini riset akan ditemui sejumlah data atau informasi. Bersama-sama dengan mereka disusun rencana pemulihan, khususnya bagaimana peran perempuan agar lebih berdaya dalam kondisi pandemi terhadap kegiatan usaha pertanian mereka.

Ketiga, mengevaluasi bagaimana praktik perusahaan agribisnis (terkait supplier mereka) tentang bagaimana kepatuhannya terhadap women economic empowerment di dalam agriculture value chains.

Team Leader mini riset dari BSK, Edwin Enifri mengatakan bahwa usaha-usaha sosial yang terlibat dalam penelitian tindakan ini adalah Berkah Alam Raya, Nurtani Jaya, Musangking Tani, Rizky Tani, dan Nurmala Tani. Kelima usaha tersebut merupakan usaha-usaha yang menjadi rantai pasok dari Trubus Mitra Swadaya.

“Metode yang digunakan ada empat, yakni desktop overview, interview terbuka dan semiterbuka (untuk pengambilan data), kemudian observasi sosial untuk pemetaan dan kajian rantai pasok rantai nilai usaha sosial, lalu menetapkan rencana aksi yang potensial digunakan untuk pemulihannya,” jelas Erwin.

Diskusi publik yang mengangkat topik “Consultation on GTP WEE in AVCs with Indonesian Stakeholders” ini bertujuan untuk mendiskusikannya bersama dengan para partisipan yang ada di Indonesia, melalui Pedoman Kemitraan Transformatif dalam rangka pemberdayaan perempuan di rantai bisnis pertanian.

Pedoman ini berisi tentang delapan prinsip untuk meningkatkan partisipasi dan kepemimpinan perempuan di dalam rantai bisnis pertanian. GTPWEE ini pedoman kemitraan transformatif yang akan dikonsultasikan dengan para mitra. Melalui kegiatan ini, akan meminta masukan para mitra mengenai GTPWEE/Pedoman Kemitraan.

Sekretaris Eksekutif Yayasan Bina Swadaya, Emilia Setyowati menjelaskan bahwa Bina Swadaya dan Dompet Dhuafa merupakan dua organisasi masyarakat yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat yang meliputi para produsen kecil di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan perhutanan sosial.

“Kedua organisasi ini telah terjun ke pedesaan hingga pesisir pantai. Kedua organisasi ini tumbuh dalam rangka kerja sama pendampingan usaha dan peningkatan produksi komoditas lokal,” ujarnya dalam diskusi publik bersama ISEA yang digelar secara daring, Rabu, 10 Maret 2021.

Turut hadir dalam forum diskusi tersebut, Ketua Pengurus Yayasan Bina Swadaya, Bayu Krisnamurthi menyatakan bahwa Bina Swadaya sangat antusias dengan kegiatan ini. “Apa yang dilakukan sangat terkait dengan visi dan tujuan dari kegiatan-kegiatan yang dikembangkan oleh Bina Swadaya, seperti yang telah diletakkan fondasinya oleh Pak Bambang Ismawan sebagai pendiri,” ungkap Bayu.

Dirinya juga menyentuh tiga hal penting terkait topik pembahasan ini. Pertama, transformation partnership (kemitraan transformatif). Kedua, women’s economic empowerment. Ketiga, agriculture value chains.

“Terdapat kesan yang kuat bahwa apa yang kita maksud ke dalam ketiga hal tersebut adalah secara garis besar perempuan dalam aktivitas bisnis. Tapi jika dimulai dari agriculture value chains kita ambil dari ujung akhir, yaitu konsumsi, maka perempuan memiliki peran penting dalam memastikan ketahanan dan menjamin kualitas gizi keluarga,” ujarnya.

Indonesia dan negara ASEAN lainnya masih mengalami permasalahan gizi, salah satunya adalah stunting. Masalah ini, menurut Bayu, sangat bergantung pada keberdayaan perempuan dalam mengelola makanan bagi keluarganya.

“Seperti kita tahu, di Indonesia misalnya lebih dari 90 persen menu yang ada di meja makan disediakan oleh perempuan. Sehingga kita perlu menyadari di dalam agriculture value chains sangat banyak peran perempuan, sangat banyak proses pengambilan keputusan bergantung pada perempuan, tapi di sisi lain kita melihat banyak kondisi di mana perempuan justru berada pada posisi yang lemah di dalam agriculture value chains,” jelas Bayu.

“Women’s Economic Empowerment ini memiliki dimensi yang lebih luas, juga memiliki kompleksitas justru karena keistimewaan peran perempuan. Oleh sebab itu, harus menjadi faktor yang diperhatikan bersama, tidak hanya melalui pendekatan linier untuk melakukan pemberdayaan ekonomi, tetapi dibutuhkan juga pendekatan yang lebih komprehensif, serta langkah-langkah yang terasa kompleks tetapi menjadi sebuah keharusan,” ungkapnya kembali.

Kegiatan ini lanjut Bayu, faktor paling penting lainnya adalah transformatif partnership/bermitra untuk bisa bertransformasi atau untuk bisa berubah bersama. Kegiatan ini bukan charity, bukan dimasukkan untuk menjadi sekadar program yang harus dilaksanakan hanya oleh pemerintah, melainkan ini adalah program atau kegiatan yang kita laksanakan bersama-sama.

Kebersamaannya sendiri perlu didorong untuk menjadi transformatif. Artinya, semua mitra yang ada sama-sama menjadi lebih baik, tapi ini tidak mudah dan penuh tantangan yang tidak ringan untuk dilakukan karena kita sangat mudah terjebak dan memerlukan bantuan, tapi bukan ini yang dimaksud, kita akan maju bersama-sama.

“Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih untuk teman-teman di ISEA atas kerja samanya,” kata Bayu.

Sementara itu, Presiden ISEA, Marie Lisa Dacanay mengatakan bahwa dirinya sangat senang menjalin kerja sama dengan Bina Swadaya dan Dompet Dhuafa. Menurutnya pedoman ini mempromosikan pemberdayaan ekonomi perempuan, atau yang disebut GTP Wee in AVCs.

“Kami begerak di social enterprises dan bisnis yang inklusif ini berhasil mengubah taraf hidup petani kecil, baik perempuan ataupun laki-laki,” ucapnya.

Sebagaimana diketahui, ISEA melakukan penelitian tindakan di Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia dengan mengumpulkan hasil penelitian terpenting yang diturunkan dalam standar aspiratif.

Lisa mengatakan, ada delapan prinsip Pedoman GTP WEE in AVCs. Pertama, teknologi tepat guna dan inovasi berorientasi atau berbasis komunitas. Kedua, lebih banyak keuntungan substantif dari pertambahan nilai yang dibuat. Ketiga, ketahanan pangan dan ketahanan masyarakat. Keempat, pemberdayaan para produsen kecil. Kelima, pelayanan dan sistem konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Keenam, layanan yang transaksional dan transformatif. Ketujuh, partisipasi dan pemberdayaan perempuan. Kedelapan, hasil yang terukur dari transformasi.

ASEAN GTP WEE in AVCs bersifat sukarela dan berorientasi untuk membantu meningkatkan dan melengkapi kebijakan, pendekatan, dan pedoman ASEAN yang ada. Kebijakan dan program ini berfokus pada pemulihan dari pandemi Covid-19 yang berorientasi dalam investasi yang bertanggung jawab dalam food, agriculture, and forestry. Kemudian pemetaan untuk meningkatkan peran koperasi pertanian dalam rantai nilai global pertanian.