- Juni 19, 2012
- Posted by: andriansyah
- Categories: Artikel, Peristiwa, Profil Kemandirian
Sumber: Buletin Bina Swadaya edisi Mei 2007
Soekarno terinsipirasi oleh seorang petani yang bernama Marhen dan kemudian melahirkan marhenisme sebagai paradigma untuk membela wong cilik. Dengan analisis struktural yang serupa, sekelompok pemuda yang bergabung dalam Ikatan Petani Pancasila (cikal bakal Bina Swadaya) meyakini keswadayaan sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Sebuah konsepsi yang tidak secantik dan semenarik seperti sosialisme di era orde lama ataupun paradigma pembangunan berkelanjutan di jaman orde baru.
Bina Swadaya meyakini manusia yang telah berswadaya dapat mengoptimalkan karsa untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses perkembangan lingkungan. Manusia Swadaya berarti manusia yang mengenali, mengatur, dan menentukan kegiatan sendiri. Keswadayaan tersebut juga berarti berkarya bersama masyarakat untuk bersama-sama keluar dari kemiskinan. Optimisme Bina Swadaya adalah orang miskin bukanlan mereka yang “the have not” tetapi mereka “the have little”. Selama 40 tahun karya Bina Swadaya di masyarakat, optimisme tersebut selalu terbukti dan terus menerus dikuatkan.
Berkaca pada sejarah
Sedikit menengok kembali sejarah Indonesia yang telah tetoreh sekian ratus tahun sejak lahirnya konsepsi nusantara oleh hegemoni Mahapatih Gajah Mada. Nusantara di masa lalu sebuah peradaban jaya yang tak kalah agung dari peradaban mesir kuno ataupun perada-ban eropa. Terinspirasi oleh Novel Sejarah “Arus Balik” karya Alm. Pramoedya Ananta Toer, bangsa majapahit adalah bangsa besar yang mampu berdiri diatas kaki sendiri. Sebuah peradaban masyarakat swadaya dan mampu menjadi bandar besar di asia.
Pertanyaan yang kemudian muncul, dimanakan sisa keswadayaan dan kebesaran tersebut di masa sekarang? Ataukah hanya tinggal candi-candi dan puing bebatuan yang tak dapat berbuat apapun bagi masyarakat dan budayanya? Kemanakah hilangnya keswadayaan dan kemandirian tersebut? Jawabnya terletak pada penjajahan politik, budaya dan hegemoni berpikir selama hampir 400 tahun di tanah nusantara. 400 tahun merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk menghancurkan sebuah peradaban swadaya. Belanda dengan cultur stelsel yang diperkuat dengan sistem birokrasi mampu meletakkan masyarakat kepada kondisi tergantung kepada sistem.
Proses menyejarah tersebut masih diteruskan dengan kooptasi oleh penjajahan jepang dengan romusha. Pasca kemerdekaan pun, masyarakat masih saja dibuat tak berdaya dengan sistem politik yang terus berganti selama era orde lama. Politik sebagai komando ternyata menyingkirkan pemberdayaan masyarakat ke pinggiran dari kebijakan nasional. Pada rezim orde baru pilihan ekonomi menjadi komando kebijakan pemerintah malahan semakin menyingkirkan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan ekonomi yang diambil berorientasi pada kepen-tingan teknokrat dan konglomerasi ekonomi.
Melihat ke depan : INDONESIA SWADAYA
Nusantara telah berubah menjadi Indonesia. Penjajahan dan kooptasi wilayah telah ber-ubah wujud menjadi penjajahan ekonomi dan hegemoni kebijakan. Pemimpin nusantara telah berubah dari kerajaan menjadi negara demokratis. Hampir setengah millenum yang lalu Majapahit terkubur dalam sejarah dunia. Namun, sebuah bentuk masyarakat yang swadaya masih tetap relevan untuk dibangkitkan kembali dari tidur panjangnya. Perlu sebuah usaha keras seperti tatkala pasukan Alengka membangunkan Kumbakarna ketika akan berperang melawan Sri Rama.
Indonesia swadaya sebuah imagine society yang harus diciptakan bersama. Sebuah komunitas yang terdiri dari manusia swadaya. Manusia yang mampu mengenali, mengatur, dan menentukan kegiatan sendiri. Berawal dari modal tersebut mereka dapat mengambil bagian secara aktif dalam proses perkembangan lingkungannya. Kemandirian ekonomi menjadi sebuah prasayarat awal. Kemandirian ekonomi akan berdampak pada kemandirian berpikir, kemandirian bersikap dan menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut, proses tersebut akan menguatkan masyarakat menjadi sebuah masyarakat warga (civil society) yang tangguh dan memiliki daya tawar terhadap pemerintah dan pasar dalam konteks tata kelola organisasi yang baik (Good Governance).