Perempuan Miliki Potensi dan Berperan Penting dalam Rantai Pasok Pertanian

Penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan Food and Agriculture Organization (FAO), menyebutkan, apabila kesetaraan gender diwujudkan di dalam rantai pasok pertanian, bahkan tanpa adanya pengembangan teknologi ataupun ekspansi sumber daya alam sekalipun, produktivitas pertanian akan mengalami peningkatan hingga 30%. Ketua Pengurus Yayasan Bina Swadaya Bayu Krisnamurthi juga meyakini bahwa perempuan berperan besar dalam rantai pasok pertanian.

“Jika peranan dan keterlibatan perempuan bisa dioptimalkan maka banyak masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan satu instrumen ini. Bahkan kami di Bina Swadaya juga sangat memperhatikan aspek ini,” kata Bayu Krisnamurthi ketika membuka acara Bincang-Bincang Wisma Hijau bertema ‘Peran dan Tantangan Perempuan di Rantai Pasok Pertanian Indonesia’ yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (11/10/22).

Diakui Bayu, tema diskusi ini dipilih mengikuti sebuah guidance yang dibuat oleh Institute For Social Entrepreneurship in Asia (ISEA) di mana Bina Swadaya terlibat dalam penyusunannya, bahkan Indonesia menjadi salah satu lokasi penelitiannya pada saat penyusunan guidance tersebut. Penelitian ini dilakukan di 4 negara seperti Filipina, Indonesia, Vietnam, dan Thailand.

“Untuk penelitian di Indonesia diwakili oleh Bina Swadaya. Dalam penelitian tersebut, diberikan hal-hal penting yang berhubungan dengan kesetaraan gender di dalam rantai pasok pertanian,” tambahnya.

Dosen Agribisnis Universitas Sumatera Utara (USU), Diana Chalil, mengungkapkan, perempuan masih cenderung dianggap sebagai kelompok minoritas (vulnerable) yang perlu mendapat perhatian khusus. Ia juga melihat adanya persamaan persepsi pandangan perempuan dalam skala internasional dan nasional.

Pandangan internasional terhadap perempuan adalah perempuan memiliki kesamaan kesempatan untuk kepemilikan lahan, perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan, perempuan memiliki akses ke benefit, hingga nondiskriminatif dalam keterlibatan. Pandangan internasional terhadap perempuan ini disetujui oleh Bappenas dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Terdapat 6 benchmark yang telah disusun oleh ISEA yang dapat menjadi perhatian dalam kemitraan/kerja sama transformasional yang dapat mengoptimalkan peran perempuan yakni teknologi yang tepat, daya tawar yang seimbang, pola perkembangan yang mengikuti kondisi petani dan keluarganya, tidak hanya terbatas pada strategi yang transaksional tetapi perlu yang transformasional, perlunya transparasi dan akuntabel, serta terukur. Hal-hal yang tidak selalu mudah jika dikaitkan dengan kondisi petani (smallholder) secara keseluruhan, terutama dikaitkan dengan peran perempuan.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Diana di perkebunan kelapa sawit, ia menilai kelapa sawit merupakan industri yang sangat penting bagi Indonesia di mana melibatkan 4,4 juta tenaga kerja. Jika persentase ini ditambahkan dengan adanya keterlibatan perempuan sebagai bagian yang tidak terpisahkan bagi tenaga kerja keluarga, dinilainya bisa bertambah 50% dari 4,4 juta tenaga kerja. Industri kelapa sawit Indonesia ada di 26 provinsi.

“Kajian yang kami lakukan kepada Ibu Rina yang merupakan pekerja di sentra sawit Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Ibu Rina tidak terdaftar sebagai pengelola pemilik usaha sawit, padahal Ibu Rina-lah yang menjadikan usaha ini bangkit dari kebangkrutan. Usaha yang dikelola Ibu Rina ini cukup besar dibandingkan petani lain pada umumnya, namun pernah terpuruk karena risk management yang dikelola oleh suaminya. Ia berusaha memperbaikinya sampai akhirnya usaha ini kembali bangkit. Dari kasus Ibu Rina ini bisa dilihat bahwa perempuan memiliki kemampuan adaptif mengelola risk management dan akuntabel yang menjadi faktor strategi transformasional bisa dioptimalkan untuk membangkitkan suatu usaha,” tutur Diana.

Dari gambaran tersebut, dapat dilihat bahwa perempuan mempunyai potensi besar untuk berperan penting dalam rantai pasok pertanian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran tersebut lebih besar pada perkebunan rakyat, yang banyak melibatkan anggota keluarga, terutama pasangan dalam hal ini adalah perkebunan sawit, sebagai tenaga kerja dalam keluarga dan sebagai ‘mitra’ dalam pengambilan keputusan.

“Dengan total perkebunan rakyat lebih dari 40%, optimalisasi peran perempuan dalam perkebunan sawit rakyat, maka secara signifikan akan memengaruhi rantai pasok pertanian itu sendiri,” tutup Diana.



Tinggalkan Balasan