- Oktober 28, 2025
- Posted by: Astri
- Categories: Articles, Artikel
Krisis iklim semakin memperparah beban masyarakat miskin di Indonesia. Peneliti Senior Lembaga Penelitian SMERU Nila Warda mengungkapkan, masyarakat miskin jauh lebih sensitif terhadap dampak perubahan iklim. Kerentanan ini timbul karena mereka tidak memiliki asuransi atau tabungan untuk melanjutkan kehidupan (bounce back) setelah bencana.
Kapasitas adaptasi masyarakat miskin lebih lemah akibat keterbatasan sosial dan ekonomi. Lebih dari separuh masyarakat miskin bekerja di sektor primer, seperti pertanian, perkebunan, atau kelautan, yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Fluktuasi dan ketidakpastian cuaca secara langsung mengganggu penghidupan dan pekerjaan mereka.
Hasil temuan studi SMERU menunjukkan bahwa 12% masyarakat pedesaan di sektor primer hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan sektor industri pengolahan pedesaan (10%) dan di sektor jasa (7%). Oleh karena itu, perubahan iklim yang memengaruhi sektor primer akan berdampak paling besar pada masyarakat miskin.
Studi SMERU tidak hanya mengukur secara kuantitatif menggunakan metode eksposur, sensitivitas, dan kapasitas adaptasi, tetapi juga menelusuri akar akar kerentanan secara kontekstual. Ditemukan bahwa perubahan iklim bukan penyebab utama, melainkan hanya berfungsi sebagai ‘amplifier’ yang memperdalam kerentanan yang sudah ada.
“Akar penyebabnya adalah faktor sosial ekonomi dan kelembagaan. Secara sosial ekonomi, kemiskinan membatasi pilihan tempat tinggal, mendorong mereka bermukim di daerah rawan seperti bantaran sungai atau pegunungan dengan akses air yang sulit, sehingga hanya mengandalkan air hujan,” kata Nila dalam diskusi Kemiskinan di Tengah Krisis Iklim: Membangun Ketangguhan Masyarakat Miskin dan Rentan, Kamis (23/10/25).
Selain faktor ekonomi, fungsi kelembagaan sangat penting untuk memperkuat daya tahan masyarakat miskin. Kelembagaan di sini mencakup pemerintah, kebijakan, program, dan kelompok yang seharusnya bisa memfasilitasi peningkatan kapasitas adaptasi.
Namun, diakui Nila fungsi kelembagaan di tingkat lokal seperti kelompok tani sering kali terbentuk sebagai formalitas, agar bisa mengakses program bantuan, namun dalam pelaksanaannya, program tidak selalu menjangkau kelompok miskin.
Contohnya, bantuan seperti traktor justru hanya digunakan oleh ketua kelompok, padahal seharusnya dapat digunakan secara bergiliran. Selain itu, struktur keanggotaan kelompok tani kerap mengesampingkan petani kecil. Untuk bergabung, seseorang harus memiliki lahan yang cukup dan diakui sebagai petani aktif.
“Orang miskin dengan penguasaan lahannya seperempat hektare, sering tidak dianggap petani, padahal semua bantuan dan program seperti pupuk selalu disalurkan melalui kelompok,” jelas Nila.
Menurut SMERU, meskipun desain kebijakan adaptasi iklim secara teoritis sudah baik, kesenjangan pelaksanaan dan lemahnya tata kelola di lapangan mempersulit kelompok miskin untuk membangun ketangguhan terhadap dampak perubahan iklim.