- September 15, 2022
- Posted by: Astri
- Category: Artikel
Foundations Platform F20 dan The Habibie Center menjadi tuan rumah pelaksanaan F20 Climate Solutions Forum 2022, pada 7–8 September 2022 di Jakarta. Kegiatan yang berlangsung secara hibrid ini bekerja sama dengan dengan para mitra F20 Indonesia, yakni Yayasan Bina Swadaya, Wahid Foundation, dan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA).
Permasalahan iklim memang telah menjadi isu utama dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan iklim yang semakin sulit diprediksi ini menyebabkan krisis iklim dan memengaruhi lingkungan hidup. Tidak hanya perihal lingkungan hidup, tetapi menyangkut sektor pertanian dan sumber energi.
Foundations Platform F20 yang merupakan jaringan dari lebih 70 yayasan dan organisasi filantropi dari berbagai belahan dunia, menyerukan aksi bersama lintas negara menuju pembangunan berkelanjutan, membuat transformasi positif untuk menyediakan jalan menuju solusi tantangan paling mendesak saat ini, yaitu perubahan iklim dan transisi yang adil menuju pembangunan berkelanjutan berdasarkan energi terbarukan.
Platform F20 pertama kali hadir pada 2017 di Jerman, hingga saat ini telah berperan dalam proses KTT G20. Platform F20 menyerukan kepada G20 untuk mendorong kerja sama global terhadap dampak perubahan iklim yang parah, saling terkait, dan seringkali tidak dapat diubah terhadap ekosistem, keanekaragaman hayati, dan sistem manusia.
Langkah-langkah di tingkat global, nasional, dan lokal harus dibangun di atas prinsip membangun ketahanan, meningkatkan energi terbarukan dan memulihkan alam. Langkah-langkah ini juga harus mencakup penguatan adaptasi terhadap dampak yang tidak dapat dihindari lagi seperti gelombang panas, banjir, dan bencana alam lainnya.
“KTT G20 harus dianggap sebagai KTT krisis yang berkomitmen untuk menemukan solusi keberlanjutan jangka panjang. Krisis iklim yang sedang berlangsung tidak memungkinkan pertemuan G20 tanpa hasil nyata pada lebih banyak aksi iklim,” tutur Klaus Milke, F20 Chair.
Menurut Klaus Milke, kesepakatan tahun lalu di Roma bahwa G20 harus membuat lintasan nol bersih menjadi kenyataan untuk menjaga tolok ukur berbahaya dari pemanasan global 1,5°C. Penyerapan dan peningkatan energi terbarukan adalah kunci dalam hal ini.
Percepatan Transisi Energi yang Adil harus dibina oleh kemitraan iklim dan energi dengan semangat tidak meninggalkan siapa pun. Selain itu, konsensus dan respons iklim yang terkoordinasi dengan baik diperlukan dari KTT G20 yang berlangsung di Bali tahun ini.
“Butuh lebih banyak Kemitraan Transisi Energi yang Adil seperti kasus Afrika Selatan seperti yang disimpulkan pada COP26,” tambah Klaus Milke.
Krisis iklim ini tidak dapat diatasi oleh satu pihak saja. Akan tetapi, perlu kerja sama banyak pihak, baik lintas sektor maupun negara. Hal ini karena dampak buruk krisis iklim dirasakan secara global.
“Di saat ketegangan dan kekakuan geopolitik, masyarakat sipil menjadi lebih penting dari sebelumnya membangun jembatan antara pemangku kepentingan yang berbeda dan mendorong kerja sama dan kepercayaan lintas sektor untuk mengambil tindakan tegas terhadap iklim. Dampak buruk krisis iklim dirasakan secara global dan juga di Indonesia,” jelas Ilham Habibie, F20 Co-Chair dari The Habibie Center.
Pada kesempatan ini F20 juga mendesak para kepala negara yang tergabung dalam G20 untuk mempercepat Transisi Energi yang Adil dengan menyetujui target sementara (70%) yang konkret pada 2030, menghapus subsidi bahan bakar fosil, melindungi dan memulihkan ekosistem, membangun kemitraan energi dan iklim baru dalam konteks G20, serta meningkatkan energi terbarukan.
Emisi CO2 dari bahan bakar fosil berperan terhadap krisis iklim yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan energi terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat dunia.
“G20 harus mendorong Kemitraan Transisi Energi yang Adil dan secara drastis meningkatkan energi terbarukan. Saya melihat banyak harapan dan potensi di Indonesia yang harus dipupuk seperti kekuatan inovatif dari start-up, para insinyur yang menerapkan transisi hijau, dan suara aktif pemuda yang berjuang untuk masa depan yang aman dari iklim,” terang Ilham Habibie.
Untuk membangun energi yang terbarukan dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Investasinya relatif besar. Meskipun begitu, hal ini bisa dilakukan dengan pembiayaan multilateral untuk pembiayaan program transisi energi terbarukan.
“Pembiayaan multilateral harus jadi pendorong untuk pembiayaan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Tapi itu tidak membatasi sumber pembiayaan lain untuk mengakomodasi percepatan program transisi energi,” ujar Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dalam F20 Climate Solutions Forum 2022.
Selain pembiayaan, tentunya dampak lingkungan perlu menjadi perhatian bersama. Ancaman perubahan iklim atau krisis iklim telah nyata. Oleh karena itu, diperlukan investasi yang aman dan ramah lingkungan. akan EBT yang aman.
Indonesia sendiri memang telah memiliki EBT, tetapi belum maksimal penggunaannya. EBT ini antara lain energi panas bumi (geothermal), hydro, biomassa, dan solar panel. Sementara itu, potensi EBT lain belum dikembangkan.
“Untuk renewable energy lain semisal pembangkit listrik tenaga ombak, gelombang pasang surut (tidal wave), biofuel, sampai nuklir yang belum berkembang, dipesilakan untuk diinvestasikan mengikuti permintaan global,” ujar Luhut.