- Agustus 23, 2018
- Posted by: andriansyah
- Categories: Artikel, Catatan, Peristiwa, Profil Kemandirian, Working Area
Oleh: Bambang Ismawan
Dalam memperingati 73 tahun Indonesia merdeka, untuk kesekian kalinya perlu diajukan pertanyaan: “buat siapa genta proklamasi berkumandang?”. Pertanyaan itu juga terinspirasi dari novel karya Ernest Hemingway berjudul For Whom the Bell Tolls, menceritakan perang saudara di Spanyol yang mengakibatkan banyak korban, dan yang kemudian difilmkan serta dimainkan oleh bintang-bintang terkenal waktu itu seperti Garry Cooper dan Inggrid Bergman (1943).
Sebenarnya, jawaban dari pertanyaan tersebut sudah dengan tegas dikemukakan Bung Karno, yaitu “buat Kaum Marhaen”. Pak Marhaen adalah seorang petani kecil di Jawa Barat yang suatu ketika bertemu Bung Karno, lama sebelum Indonesia merdeka. Bung Karno sangat terkesan pada perjuangan hidup Pak Marhaen, sebagai petani kecil, seorang pengusaha di bidang pertanian berlahan sempit yang dengan susah payah berjuang untuk penuhi kebutuhan hidup. Sosok Marhaen merepresentasikan rakyat Indonesia pada umumnya yang hidup serba kekurangan, dan bagi merekalah pada hakikatnya buah kemerdekaan diperuntukkan. Sementara Bung Hatta menyebutnya sebagai sektor perekonomian rakyat, yang oleh Prof. Mubyarto dimaknai sebagai sektor ekonomi yang menghidupi sebagian besar rakyat Indonesia. Sementara itu, berdasarkan UU No 20/2008 tentang Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah, selanjutnya oleh Kementerian Koperasi dan UKM berdasarkan ketentuan UU tersebut telah menghitung masing-masing entitas usaha dan dilaporkan sebanyak 57,1 unit usaha atau 98,8% dari seluruh entitas usaha adalah usaha mikro. Kalau setiap usaha mikro dimiliki satu keluarga, maka diperkirakan entitas usaha mikro ini menghidupi lebih dari 200 juta rakyat Indonesia. Maka, usaha mikro, yang disebut Bank Dunia sebagai economicaly active poor, inilah yang dimaksud Bung Hatta dan Prof. Mubyarto sebagai sektor perekonomian rakyat atau menurut Bung Karno sebagai kaum Marhaen.
Setelah kemerdekaan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia segera menghadapi berbagai masalah. Pertama-tama menghadapi berbagai agresi yang menginginkan Pemerintah Belanda kembali berkuasa, bercokol di kawasan Nusantara. Maka, terjadilah berbagai pertempuran dengan persenjataan yang tidak seimbang, pasukan Belanda dengan persenjataan modern dan lengkap, berhadapan dengan tentara rakyat Indonesia yang bersenjatakan bambu runcing. Pada saat yang sama para pendiri bangsa harus membentuk pemerintahan untuk mengelola pelayanan bagi kehidupan masyarakat dan segenap tanah air yang terbentang luas di 17.000 pulau, beratus suku dan bahasa, serta berbagai agama dan aliran kepercayaan. Demikian juga harus diperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia, sambil menghadapi rongrongan separatis yang memberontak mau memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sungguh suatu tantangan hidup bersama yang luar biasa beratnya bagi bangsa baru yang bernama Indonesia. Berbeda dengan negara-negara eks penjajahan Inggris seperti Malaysia dan India yang menerima kemerdekaannya sebagai hadiah dari Pemerintah Inggris dan kemudian diikat dalam Persatuan Bersama Bangsa-Bangsa Persemakmuran (Commonwealth of Nations) dengan sistem pemerintahan yang sudah dipersiapkan. Sementara Indonesia harus mencari sendiri sistem pemerintahan yang cocok dengan trial and error: sistem presidential versus parlementer, sentralisasi versus desentralisasi, tarik-menarik kepentingan yang menghabiskan energi. Semua berakibat kurangnya perhatian bagi rakyat kecil. Padahal, bagi merekalah genta proklamasi berbunyi.
Menyadari kondisi tersebut, sejumlah tokoh masyarakat mengambil inisiatif membentuk gerakan pemberdayaan masyarakat yang disebut Gerakan Sosial Ekonomi Pancasila yang mencakup bidang perburuhan, pertanian, kenelayanan, usahawan, dan kesehatan. Maka, dibentuklah Ikatan Buruh Pacasila (1954), Ikatan Petani Pancasila (1958), Ikatan Usahawan Pancasila (1960), Ikatan Paramedis Pancasila (1962), dan Ikatan Nelayan Pancasila (1963). Dengan organisasi-organisasi tersebut, peningkatan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat ingin diwujudkan dengan mengaktualkan potensi masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan, pembentukan kelembagaan solidaritas, pelayanan keuangan, pengorganisasian produksi dan pemasaran, perjuangan pembelaan (advokasi) kepentingan masyarakat yang diwakili, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup.
Bina Swadaya adalah penerus dari Gerakan Sosial Ekonomi Pancasila, terutama Ikatan Petani Pancasila. Semangat meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat ingin diwujudkan secara berkelajutan dengan mengajak berbagai pilar pembangunan, yaitu lembaga-lembaga pemerintah, swasta, filantropi, perguruan tinggi dan lain-lain bergotong-royong untuk segera mewujudkan cita-cita memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan pengalaman, ingin dikembangkan pendekatan gerakan bersama dan dengan kewirausahaan sosial, yaitu pembangunan sosial berkelanjutan yang meliputi penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja produktif, dan melestarikan lingkungan hidup dengan strategi kewirausahaan. Diharapkan akan berkembang kesetaraan kerjasama antara pendekatan sosial-ekonomi dengan sosial-budaya dan sosial-politik.
Dirgahayulah Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.