- Juni 12, 2025
- Posted by: Astri
- Categories: Articles, Artikel
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah lama disebut sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Namun, apakah sebutan itu benar-benar mencerminkan kontribusi UMKM secara utuh terhadap sistem ekonomi nasional? Ataukah hanya menjadi pengakuan simbolik yang tidak diiringi dengan upaya serius untuk mendorong pertumbuhannya?
Dalam sebuah podcast YouTube bersama Ferry Irwandi, muncul pernyataan yang memantik diskusi: “UMKM bukanlah tulang punggung negara, melainkan hanya aktivitas ekonomi yang berjalan karena masyarakat tidak punya pilihan lain.” Menurut Ferry, UMKM di Indonesia belum terintegrasi ke dalam arus utama sistem bisnis nasional yang menuntut keterhubungan dari hulu ke hilir. Ia mempertanyakan: jika memang UMKM dianggap penting, mengapa sebagian besar dari mereka masih tetap dalam skala mikro dan kecil?
“Negara mana yang benar-benar bergantung pada UMKM? Seharusnya, jika memang bergantung, UMKM didorong untuk naik kelas dan bukan dibiarkan kecil terus,” ujar Ferry.
UMKM: Pilihan atau Keterpaksaan?
Ferry Irwandi dan Raymond Surya Chin, sepakat bahwa menjamurnya UMKM di Indonesia bukanlah hasil dari ekosistem wirausaha yang ideal. Sebaliknya, banyak orang memilih menjadi pelaku UMKM karena tidak ada opsi lain, terutama akibat sulitnya akses terhadap pekerjaan formal.
“UMKM seharusnya menjadi besar dan terintegrasi. Kita tidak bisa terus-menerus membanggakan sektor informal jika kita ingin ekonomi yang kuat,” tegas Ferry.
UMKM Harus Bertumbuh, Bukan Langsung Dikonversi
Menanggapi pernyataan tersebut, tokoh pemberdayaan masyarakat dan pendiri Bina Swadaya, Bambang Ismawan, memberikan perspektif yang lebih kontekstual. Ia menegaskan bahwa UMKM mencakup 99,99% dari seluruh entitas usaha di Indonesia. Dari jumlah tersebut, usaha mikro mendominasi dengan 98,7%, sedangkan usaha kecil hanya 1,2%. Usaha menengah bahkan lebih kecil lagi.
“Yang harus kita dorong bukan langsung membuat semua UMKM menjadi besar, tetapi mendorong yang mikro menjadi kecil, dan yang kecil menjadi menengah,” ujar Bambang dalam Podcast Nawala Bisma yang tayang di YouTube Channel Bina Swadaya, baru-baru ini.
Ia menambahkan bahwa banyak pelaku usaha mikro, seperti petani dan peternak, beroperasi secara informal dan tidak memiliki ketertarikan atau kemudahan untuk diformalkan. Kelompok swadaya masyarakat, contohnya, lebih memilih untuk berorganisasi secara mandiri dalam bentuk kelompok (koperasi) tabungan dan kredit usaha kecil tanpa harus mengurus perizinan yang rumit.
“Ketika mereka diminta menjadi koperasi formal, banyak yang menolak karena kerepotan administratif. Mereka hanya ingin saling menolong dan menjalankan usaha dengan cara yang mereka pahami,” jelasnya.
Bambang juga menanggapi soal dominasi UMKM sebagai profesi mayoritas masyarakat Indonesia. Menurutnya, ketika negara menyediakan lapangan kerja formal, masyarakat hanya akan menjadi buruh atau pegawai. Sementara, pengusaha kecil tetaplah menjadi pengusaha yang memiliki kemandirian meski usahanya berskala mikro.
Namun, ia mengingatkan bahwa sistem pendidikan saat ini tidak cukup mendukung ekosistem kewirausahaan di desa. “Kalau pendidikan terus mendorong orang desa ke kota untuk bekerja, akan terjadi brain drain. Desa akan kehilangan potensi manusianya,” tegasnya.
Bina Swadaya: Mendampingi dari Akar Rumput
Selama puluhan tahun, Bina Swadaya berfokus pada pemberdayaan masyarakat kecil. Pendekatan yang dilakukan adalah membentuk kelompok-kelompok usaha mikro berbasis komunitas, lalu mendampingi mereka secara menyeluruh, mulai dari pengembangan SDM, akses keuangan, produksi, pemasaran, hingga teknologi.
“Orang kelas bawah memiliki sedikit uang. Tapi kalau sedikit-sedikit ini dikumpulkan dan dikelola secara kooperatif, maka bisa tumbuh menjadi bukit. Kami memberikan solusi agar masyarakat tidak bergantung pada pemerintah. Masyarakat bisa mandiri jika diberi ruang untuk berkembang sesuai konteks mereka sendiri,” tutupnya.