Business Model Canvas for Social Enterprise

Model Bisnis Kanvas (Business Model Canvas/BMC) bukan saja menjadi ‘Kitab suci’ bagi Perusahaan konvensional. Bagi perusahaan/lembaga yang berfokus pada dampak sosial, terdapat adaptasi khusus yang disebut Business Model Canvas for Social Enterprise (BMCSE).

Hal ini diungkapkan Emilia Setyowati, Sekretaris Eksekutif Bina Trubus Swadaya saat memberikan seminar di di acara Rural ICT Camp yang diselenggarakan Common Room, Jumat (26/9/25).

Di hadapan para peserta Rural ICT Camp, emilia menjelaskan perbedaan mendasar antara BMC konvensional dan BMCSE.

“Jika BMC konvensional hanya memiliki 9 blok, BMC for Social Enterprise memiliki 11 blok,” ucapnya.

Dua blok tambahan pada BMCSE ini secara spesifik memetakan bagaimana sebuah bisnis menghasilkan dampak sosial yang terukur dan terencana.

Kewajiban Reinvestasi Surplus dan Legalitas Entitas Sosial

Di hadapan para peserta emilia juga menjelaskan aspek legalitas yang menguatkan eksistensi social enterprise di Indonesia. Berdasarkan aturan yang baru disahkan, entitas bisnis dapat secara resmi diakui sebagai social enterprise.

“Berdasarkan aturan di Indonesia yang disahkan tahun 2024, sudah ada undang-undang untuk social enterprise,” tambahnya.

Syarat utamanya adalah 51% dari surplus (keuntungan) Perusahaan harus direinvestasikan Kembali untuk misi sosial. Aturan ini, yang tercantum dalam akta pendaftaran di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), memastikan bahwa fokus utama Perusahaan tetap pada dampak sosial.

Syarat Badan Hukum Social Enterprise

Emilia juga memberikan pemahaman kepada para peserta, ketika memilih badan hukum, baik itu Yayasan atau Perseroan Terbatas (PT), Lembaga tersebut harus secara tegas menyatakan sebagai perusahaan social enterprise.

Selain itu, lanjut Emilia, ada kewajiban yang lebih spesifik, yaitu harus melaksanakan kegiatan yang mendukung minimal satu dari 17 tujuan (goals) SDGs (Sustainable Development Goals).

“Kegiatan social enterprise adalah menyelesaikan 17 goals SDGs. Sehingga, baik BMC konvensional maupun BMC for social enterprise berangkat dari satu hal yang sama, adanya masalah yang ingin diselesaikan,” bebernya.

Ia juga mengingatkan para peserta bahwa fokus pada masalah sosial secara otomatis menciptakan ‘pasar’ bagi produk atau layanan yang ditawarkan.

“Jika ada masalah, berarti sudah jelas tersedia pasarnya, sehingga sudah tersedia beneficiaries. Jika kita tidak punya pasar, sebagus apapun produknya, akan percuma tidak akan terjual,” jelasnya. Menurutnya, pemahaman ini penting agar social enterprise tidak berakhir sebagai ide bagus di atas kertas, juga agar mampu mencapai keberlanjutan finansial untuk menjamin dampak sosialnya terus berjalan. Menganalisis masalah dan pasar adalah fokus untuk menyusun Value Proposition yang kuat, baik nilai ekonomi bagi konsumen maupun nilai dampak bagi penerima manfaat.



Tinggalkan Balasan