- Agustus 8, 2025
- Posted by: Astri
- Categories: Articles, Artikel

Sekretaris Eksekutif Yayasan Bina Trubus Swadaya, Emilia Setyowati, menjadi salah satu pembicara pada Sesi Paralel 7 dalam rangkaian Festival Filantropi 2025 (FiFest2025). Acara dua tahunan berskala internasional ini menjadi agenda rutin untuk mempromosikan berbagai capaian dan kemajuan filantropi di Indonesia, memperkuat jejaring antar-pemangku kepentingan, serta memacu kolaborasi strategis untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan agenda iklim.
Sesi yang diikuti Emilia mengangkat tema “Transformasi Derma untuk UMK Berdaya: Mengoptimalkan Peran Filantropi dalam Lanskap Pemberdayaan Ekonomi di Indonesia.” Diskusi ini dipandu oleh Eri Trinurini Adhi, anggota pengurus Bina Trubus Swadaya, yang membawa alur pembicaraan menjadi interaktif dan kaya wawasan.
Sebagaimana diketahui, Usaha Mkro dan Kecil (UMK) telah terbukti menjadi penyumbang besar terhadap PDB nasional dan penciptaan lapangan kerja. Namun, banyak pelaku UMK, terutama di pedesaan, masih terbentur kendala klasik: keterbatasan modal, minimnya penguasaan teknologi, kurangnya pelatihan manajemen dan keterampilan digital, serta akses pasar yang stagnan. Kompleksitas regulasi juga sering menjadi hambatan yang sulit ditembus.
“UMK di desa sering kali terjebak pada lingkaran ekonomi lokal yang sempit. Tanpa intervensi, mereka sulit menembus pasar yang lebih luas,” ujar Emilia dalam diskusi yang diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (7/8/25).
Di sinilah peran filantropi menjadi sangat penting, untuk mengisi celah dukungan yang belum sepenuhnya dijangkau pemerintah maupun sektor swasta.
Bina Swadaya: Beyond Social Enterprise
Dalam paparannya, Emilia menuturkan perjalanan panjang Bina Swadaya, organisasi yang berdiri sejak 1967 telah fokus pada pemberdayaan masyarakat, khususnya di wilayah pedesaan.
“Pergeseran besar sudah terjadi sejak awal 2000-an. Saat itu istilah social enterprise belum populer, tapi Bina Swadaya sudah menjalankannya. Bahkan melampaui itu,” kata Emilia.
Kesadaran untuk mengembangkan model usaha yang berkelanjutan muncul ketika sumber pendanaan dari donor mulai berkurang. “Kami mulai bertanya, kalau nanti tidak ada dana donor, dari mana organisasi ini akan bertahan?”
Namun, membangun social enterprise tidak semudah membalikkan telapak tangan. Emilia menyebut tantangan besar seperti brain drain, di mana generasi muda desa yang sudah menempuh pendidikan tinggi enggan kembali untuk membangun kampung halamannya.
Menurutnya, kunci keberhasilan pemberdayaan kini adalah pemetaan potensi desa secara menyeluruh. “Kita harus tahu apa yang ada di desa, apa yang bisa dikembangkan, dan apa yang bisa meningkatkan pendapatan warga,” jelasnya.
Bina Swadaya mengubah pendekatan pendampingan. Jika dulu pertemuan kelompok hanya menjadi ajang berkumpul, kini setiap pertemuan harus menghasilkan sesuatu, mulai dari peningkatan keterampilan, inovasi produk, hingga strategi pemasaran.
“Masyarakat akan tertarik berkumpul jika mereka merasakan manfaat langsung, terutama peningkatan pendapatan,” tambahnya.
Dalam konteks pemberdayaan ekonomi, Emilia menekankan pentingnya filantropi yang bersifat transformasional. Dukungan harus dipersiapkan untuk mendorong kemandirian UMK, misalnya dengan, investasi pada pelatihan keterampilan dan manajemen usaha, fasilitasi akses teknologi dan digitalisasi, penciptaan jejaring pemasaran lintas wilayah, hingga pendampingan berkelanjutan untuk menjaga daya saing.
“Filantropi seharusnya menjadi jembatan. Ia menghubungkan potensi lokal dengan peluang pasar yang lebih besar,” tutup Emilia. Dengan model yang tepat, peran filantropi dapat menjadi penggerak lahirnya ekosistem ekonomi desa yang berdaya saing dan berkelanjutan, tujuannya adalah pembangunan ekonomi nasional yang menyeluruh.