Trubus Kusala Swadaya 2015: Penghargaan Bagi Penyemai Benih Harapan

Trubus Kusala Swadaya merupakan penghargaan bagi individu, kelompok, atau tokoh-tokoh inspiratif yang melakukan kegiatan pemberdayaan dan mencerdaskan masyarakat.

Senyum mengembang di wajah Abdul Gofur ketika menerima Trubus Kusala Swadaya, Kamis, 5 November 2015 di Kampus Diklat Bina Swadaya, Mekarsari, Cimanggis Depok, Jawa Barat. Gofur bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Yayasan Merah Putih, pegiat bidang pendidikan kepada masyarakat adat Tau Taa Wana di Morowali, Sulawesi Tengah. Mereka berperan mengentaskan buta aksara yang membuat masyarakat adat kerap terpedaya. Mereka mengajarkan pendidikan melalui skola lipu atau dalam bahasa setempat berarti sekolah kampung.

Karena kiprahnya itu, Gofur dan rekan-rekan di Yayasan Merah Putih menjadi salah satu dari 3 penerima Trubus Kusala Swadaya 2015. Penghargaan itu merupakan penghargaan kepada para wirausahawan muda yang telah berinisiatif dan kreatif melakukan upaya-upaya peningkatan keberdayaan masyarakat, baik melalui aktivitas di bidang pertanian, lingkungan, pendidikan, energi terbarukan, maupun sosial-ekonomi dengan pendekatan kewirausahaan sosial. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan Bina Swadaya, yang menaungi Grup Trubus, sejak 2007. Penyelenggaraan pada 2015 merupakan periode ke-4.

“Dengan penghargaan itu, kami mengharapkan semangat masyarakat terdorong untuk lebih banyak melakukan pemberdayaan berbasis kewirausahaan sosial,” demikian dikatakan Ketua Panitia Trubus Kusala Swadaya 2015, Suryo Dwianto Agung Nugroho.

Panitia menunjuk ekonom dari Universitas Indonesia Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., sosiolog dan guru besar FISIP Universitas Indonesia sekaligus ketua pengurus Yayasan Bina Swadaya, Prof. Dr. Paulus Wirutomo, sastrawan dan budayawan Arswendo Atmowiloto, serta pengamat kebijakan dari Insitute of Ecosoc Rights Sri Palupi sebagai juri. Dari 60 kandidat yang terjaring, akhirnya terpilih 12 nomine yang akan dipilih juri sebagai pemenang dengan beragam kriteria.

Kriteria itu di antaranya kemandirian, tata kelola, kesetaraan gender, kepedulian lingkungan, peningkatan kontribusi masyarakat (promosi dan advokasi), serta penciptaan hal baru (kreativitas dan inovasi) dalam meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Anggota panitia Trubus Kusala Swadaya, Emilia Setyowati mengatakan, beberapa poin penting penilaian adalah dampak terhadap lingkungan, keberlanjutan, serta daya inovasi untuk memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal.

“Kewirausahaan sosial harus berefek kepada 3 P, yaitu people, planet, dan profit. Artinya, efeknya dapat dirasakan oleh masyarakat tanpa merusak lingkungan sambil tetap menghasilkan keuntungan tinggi,” ujar Emilia.

Contohnya adalah yang dilakukan Lasmi, pengusaha jamu gendong di Mampang, Jakarta. Selain menghimpun penjual jamu gendong di sekitarnya, ia juga mengajak warga sekitar untuk terlibat mengolah serta meracik jamu. Industri jamu jelas ramah lingkungan lantaran menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam dengan metode pengolahan yang tradisional dan higienis.

Hal serupa juga tampak di industri bulu mata D’Eyeko di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sejatinya, D’Eyeko terbilang industri bulu mata buatan yang sangat mapan dengan kualitas standar ekspor yang dipercaya banyak pembeli internasional.

Beberapa pesohor seperti Syahrini dan Olga Lydia pun bersedia menjadi duta produk itu. Hebatnya, Yohanes Ferry, pemilik D’Eyeko, tidak lupa dengan masyarakat sekitarnya. Ia membuat remote facilities, yaitu unit produksi di luar pabrik yang dilakukan mitra. Dengan 87 mitra yang masing-masing mempekerjakan 30—60 orang, kehadiran D’Eyeko memberikan efek domino bagi perekonomian masyarakat sekitar. Bersama Yayasan Merah Putih, Lasmi dan Yohanes Ferry terpilih menjadi peraih Trubus Kusala Swadaya 2015.

Bagi panitia Trubus Kusala Swadaya, sekolah kampung ala Yayasan Merah Putih (YMP) di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah sangat berkesan. YMP menyelenggarakan pendidikan bagi etnis Wana yang tinggal di lereng-lereng gunung.

“Setiap kantong perkampungan etnis Wana hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki berjam-jam dari jalan utama terdekat. Padahal, etnis asli Sulawesi Tengah itu tinggal terpisah-pisah di banyak perkampungan,” ungkap anggota panitia, Aquinus Krisnaldi, yang datang langsung ke lokasi itu.

Bisa dikatakan, orang asli Morowali saja berpikir 2 kali kalau harus mengajar di sekolah di perkampungan itu. Namun, YMP justru mengkhususkan diri memberikan pendidikan bagi anak-anak etnis Wana. Maklum, ketertinggalan mereka membuat etnis Wana kerap dibodohi oleh pedagang yang membeli hasil bumi mereka.

“Semangat belajar mereka tinggi meskipun hanya dengan fasilitas seadanya,” ujarnya.