- Januari 3, 2023
- Posted by: Astri
- Categories: Artikel, BBWH
Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman hayati (KEHATI), Renata Puji Sumedi Hanggarawati, mengungkapkan, sorgum sebagai tanaman pangan alternatif perlu dikembangkan karena memiliki daya adaptif yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim.
Menurutnya, sorgum menjadi pilihan tepat untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mengingat, sifat sorgum sendiri merupakan tanaman alternatif untuk daerah yang memiliki karakteristik kering seperti di NTT. Hal tersebut diungkapkan Puji dalam Bincang-Bincang Wisma Hijau bertema “Sorgum sebagai Sumber Pangan potensial dan Antisipasi Dampak Perubahan Iklim”, Jumat (2/12/22).
Diakui Puji, kegiatan penanaman sorgum di Lembor sebagai salah satu upaya pelestarian sumber pangan lokal di daerah lahan kering seperti di Flores, Lembata, Solor, dan Adonara. Kegiatan ini dilakukan sebagai implementasi dari Gerakan Koridor Pangan Lokal di NTT, dengan melakukan pendampingan masyarakat mulai dari pengembangan benih, budidaya, pengolahan pascapanen, pengembangan produk olahan, pemanfaatan limbah hingga melakukan beragam kampanye dan gerakan konsumsi sorgum.
Sorgum dapat diolah menjadi beragam produk makanan bergizi tinggi mulai dari beras, tepung, seral, aneka kue kering, kue basah, puding, mi, hingga gula.
“KEHATI bekerja sama dengan kelompok petani lokal Maria Loretha untuk kembali melestarikan pangan lokal sorgum yang lebih beragam, bergizi, memberikan peningkatan ekonomi bagi petani, hingga pengembangan pertanian berkelanjutan di Indonesia, khususnya di NTT. Sorgum dipilih karena paling sesuai dengan kondisi lahan di wilayah tersebut,” tuturnya.
“Pada pelaksanaannya, kami turut melibatkan tokoh-tokoh agama untuk mendukung program sorgum berbasis komunitas. Bersama tokoh agama, kami memperkenalkan kembali pangan lokal dan memberikan contoh untuk mengonsumsi,” tambah Puji.
Meski demikian, sejumlah tantangan pengembangan pangan lokal sorgum di NTT yang masih dihadapi adalah lahan kering mendominasi lebih dari 50%, serta permasalahan stunting di wilayah tersebut cukup tinggi.
Berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017, prevalensi stunting anak berusia di bawah lima tahun secara nasional tercatat sebanyak 29,6 persen. Tingkat stunting tertinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan prevalensi mencapai 40,3 persen. Prevalensi stunting di NTT tersebut terdiri atas bayi dengan kategori sangat pendek (18 persen) dan pendek (22,3 persen). Prevalensi stunting mencapai 42,6% (Riskesdas, 2018).
“Sorgum bisa menjadi salah satu solusi pemenuhan pangan yang bergizi tinggi. Dari berbagai literatur, sorgum sangat adaptif dan juga minim air. Sorgum dipilih karena tanaman ini dapat hidup dengan baik di tanah marginal, memiliki nutrisi tinggi, dan memiliki akar budaya kuat dengan masyarakat lokal. Melalui sorgum, kami ingin menyadarkan masyarakat bahwa sorgum bisa menjadi sumber pangan potensial,” tuturnya.
“Setiap daerah di Indonesia memiliki sumber pangan yang sangat beragam, salah satunya sorgum yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan lokal. Untuk itu, kita harus mengoptimalkan sumber pangan alternatif yang kaya agar tidak hilang karena kebanyakan masyarakat Indonesia hanya bergantung pada beras. Kami melihat Indonesia memiliki banyak sumber pangan karbohidrat yang terabaikan. Tugas kita adalah mengembalikan atau merevitalisasi sumber-sumber pangan lokal dalam konteks budaya pangan di Indonesia,” tambahnya.
Selain itu, KEHATI turut mengintervensi perempuan untuk dapat terlibat dalam pengembangan sorgum mulai dari produksi hingga konsumsi. Puji menegaskan bahwa perempuan memegang kunci semua kegiatan pertanian sorgum dari hulu hingga hilir.
“Perempuan adalah kunci perubahan yang dapat meningkatkan perekonomian serta bisa mengatasi permasalahan seperti gizi dan mengajak keluarganya untuk mengonsumsi sorgum,” tegasnya.
Ketika berbicara terkait program pengembangan pangan lokal sorgum berbasis masyarakat, harus melewati proses panjang yang harus dilalui serta dikawani dan dikawal hingga tahap/fase kemandirian. Artinya, ke depan masyarakat bisa mengembangkan pangan lokal sorgum secara mandiri.
Selanjutnya, mengatasi berbagai persoalan di mana rata-rata wilayah NTT berada di wilayah merah (angka stunting tinggi). Belum lagi ancaman perubahan iklim yang saat ini semakin sulit diprediksi.
Puji mengungkapkan, nilai gizi sorgum sangat tinggi. Selain itu, hasil olahan sorgum lebih variatif dan bisa dikonsumsi sebagai makanan utama, diolah menjadi kue kering atau basah, hingga makanan tambahan untuk pencegahan stunting. KEHATI juga melakukan penguatan kelompok perempuan dan generasi muda dalam pengolahan sorgum. Seperti diketahui, angka migrasi di NTT cukup tinggi, melalui program sorgum ini, pihaknya mengajak kembali perempuan dan anak-anak muda NTT untuk mengembangkan sumber pangan potensial menjadi sebuah produk dengan nilai jual dan gizi tinggi.