Pandemi Covid-19 dan Isu Ketahanan Pangan

Oleh : J. Indro Surono – Pengurus Yayasan Bina Swadaya

Pandemi COVID-19 saat ini berdampak sangat luas tidak saja atas keselamatan nyawa orang dari infeksi virus, namun juga berdampak pada ketahanan pangan nasional. Setidaknya, ada 4 isu besar terkait pandemic COVID-19 dan ketersediaan dan produksi pangan nasional dalam jangka pendek serta menengah/panjang yaitu:

  1. Kondisi ketersediaan (stok) pangan dan distribusinya, khususnya dalam jangka pendek menjelang Idul Fitri
  2. Antisipasi COVID-19 menyebar dan menginfeksi petani dan keluarganya di sentra produksi pangan di perdesaan.
  3. Kepastian produksi dan distribusi pangan yang tetap efisien/produktif, khususnya pasca Idul FItri
  4. Sistem produksi dan distribusi pangan di masa depan Keempat isu akan diuraikan satu per satu.
Kondisi ketersediaan (stok) pangan dan distribusinya, khususnya dalam jangka pendek menjelang Idul Fitri

Pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini tengah menunjukkan tren semakin meningkat. Beberapa pakar menyebutkan puncak penyebaran COVID-19 akan terjadi di bulan Mei 2020. Bahkan ada yang menyatakan lebih Panjang hingga di bulan Juli 2020. Beberapa daerah dan kota sudah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti Jakarta Raya atau karantina lokal seperti terjadi di Solo dan Tegal. Kebijakan ini dimulai pertengahan April dan diperkirakan banyak daerah akan terus mengikutinya. Konsekuensi dari penerapan PSBB atau karantina wilayah adalah pembatasan mobilitas moda transportasi.

Akhir April 2020, akan memasuki bulan puasa dan diakhiri dengan Idul Fitri di akhir Mei 2020. Seperti kita tahu, permintaan dan konsumsi pangan selama puasa dan Idul Fitri selalu meningkat. Sehingga ketersediaan pangan dalam masa puasa dan lebaran perlu dipenuhi. Jika tidak tentu akan berpengaruh pada kekuarangan pangan dan melonjaknya harga yang berujung pada inflasi.

Dibawah ini adalah data perkiraan ketersediaan pangan dan kebutuhan pangan pokok nasional s/d Mei 2020 (Idul Fitri) menurut Kementrian Pertanian (2020).

Dari data diatas, Pemerintah menjamin bahwa ketersediaan 11 pangan utama penduduk akan cukup dan aman sampai dengan Idul Fitri. Semua bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri, kecuali bawang putih, daging sapi/kerbau dan gula pasir yang harus diimpor. Bahkan ayam pedaging saat ini terjadi over produksi, sehingga harganya jatuh dan memaksa pemerintah melakukan pembelian besar-besaran agar tidak merugikan petani.

Faktanya, pangan diatas bukan semuanya tersedia di gudang-gudang BULOG atau pedagang, namun sebagaian masih menunggu panen dan berada di sentra-sentra produksi pangan. Sebagaimana diketahui, bulan Maret s/d Juni adalah masa panen utama komoditas utama pertanian di Indonesia selama musim hujan. Ketersediaan yang dinyatakan aman, masih mengandung tanya: bagaimana memastikan distibusi pangan berjalan lancer ke kantong konsumen di perkotaan dan bahkan di desa?

foto: istimewa

Jadi dalam situasi sekarang hingga Lebaran nanti, isu utama pangan adalah pada kelancaran distribusi pangan ke sentra konsumsi. Bagaimana memastikan PSBB dan karantina wilayah di sentra produksi pangan tidak menghambat distribusi pangan ini? Bagaimana memastikan moda transportasi bisa membawa pangan ini ke sentra konsumsi utamanya di seputar Jabodetabek. Pemerintah telah memasukkan pangan kedalam sector strategis yang tetap harus berjalan dalam situasi pandemic COVID-19. Namun efektivitas penerapan PSBB dan Karantina wilayah akan menetukan kelancarannya. Belum ditambah kemungkinan tertundanya distribusi logistic jika sopir sopir pengangkut pangan positif terjangkit COVID-19 saat pemeriksaan dilakukan saat tugas.

Isu lain adalah, banyaknya program bantuan social selama PSBB atau Karantina wilayah diterapkan. Ada program PKH Kemensos, Pengalihan dana desa, Bantuan masa pandemic COVID dari Kemenkop & UMKM, dan program main yang merupakan pengalihan fokus anggaran dari berbagai kementerian untuk mendukung antisipasi dampak COVID-19 bagi rakyat kecil. Belum bantuan yang dikeluarkan oleh Pemda baik propinsi dan kabupaten/kota. Bahkan banyak inisiatif masyarakt sipil yang memobilisasi bantuan pangan bagi rakyat di luar program pemerintah.

Pertanyaan kritisnya, sejauh mana bantuan-bantuan ini justru akan menyerap lebih cepat ketersediaan pangan dan menyebabkan kelebihan bantuan di masyarakat terdampak? Itu di luar pertanyaan seberapa efektif bantuan tersebut tepat sasaran dan tepat nilai bagi rakyat yang membutuhkan. Jika tidak ada koordinasi yang efektif terkait distribusi bantuan pangan, yang terjadi adalah over bantuan yang menggerus ketersediaan pangan yang mestinya cukup untuk beberapa bulan.

Antisipasi COVID-19 menyebar dan menginfeksi petani dan keluarganya di sentra produksi pangan di perdesaan.

Gelombang mudik tetap tidak terhindarkan selama puasa dan Idul Fitri di bulan Mei 2020. Survey Saiful Mujani terbaru, menyebutkan bahwa 11% warga secara nasional akan mudik pada lebaran nanti. Dari sekitar 180 juta warga dewasa, 11% itu sekitar 20 juta orang. Dan yang paling banyak akan mudik adalah dari DKI Jakarta (31%). Kita tahu bahwa Jakarta adalah episentrum COVID-19 dan trend menunjukkan semakin banyak orang tanpa gejala (OTD) yang terjangkit atau menularkan virus korona kepada orang lain.

Bisa dibayangkan jika arus pemudik tersebut membawa virus korona dan menularkan kepada sanak keluarganya di desa termasuk para petani di sentra-sentra produksi pangan? Artinya situasi ini bisa membawa pada terjadinya karantina wilayah atau PSBB di desa-desa produksi pangan. Dan jika itu terjadi, maka produksi pangan akan terganggu dan pada gilirannya akan mengancam ketersediaan pangan pasca lebaran.

Bulan Juli sampai dengan November adalah masa tanam/panen gadu (sedang) dan kemarau (kecil) tanaman pangan utama, khususnya beras. 60% beras nasional memang dihasilkan dari panen musim hujan (maret s/d Juni) dan sisanya dihasilkan setelahnya. Meskipun hanya 40% produksi nasional, tetap saja akan menggangu ketersediaan pangan dalam paruh kedua 2020. Agak berat untuk mengandalkan ketersediaan pangan dari

impor, mengingat pandemic COVID-19 terjadi disemua negara di dunia, yang tentunya banyak negara akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan domestiknya.

Sehingga, pengharaman atau pelarangan mudik sangat esensial untuk mencegah penularan virus korona hingga ke desa-desa dan memastikan produksi pangan di sentra produksi bisa tetap berjalan dengan baik. Jika pelarangan tidak efektif, maka diperlukan antisipasi yang tepat untuk memastikan desa, petani dan keluarganya siap melindungi dirinya dari penularan virus korona dari keluarganya yang mudik. Sosialisasi COVID-19, membangun system ketahanan komunitas/desa menghadapi virus korona, pengadaan masker dan hand sanitizer dan pemantauan physical distancing menjadi sangat vital untuk bsia secara efektif dilakukan.

Kepastian produksi dan distribusi pangan yang tetap efisien/produktif, khususnya pasca Idul FItri

Isu COVID-19 bukan semata terkait aspek Kesehatan, tapi juga ancaman ketahanan pangan. Bukan saja pada aspek persediaan (stok) pangan dan distribusinya, namun lebih jauh pada keberlanjutan proses produksi pangan. Jika antisipasi dampak penularan virus korona ke desa-desa sentra produksi pangan tidak bisa diterapkan, bisa dipastikan akan menggangu system produksi dan pada gilirannya ketersediaan pangan untuk konsumsi pangan nasional.

Karenanya memastikan system produksi pangan bisa tetap berjalan normal, bahkan lebih baik (lebih efisien, ramah lingkungan) sangat penting dalam situasi pandemic sekarang. Hal ini bukan saja terkait antisipasi penyebaran virus korona ke desa-desa, namun juga memastikan produksi bisa tetap berjalan dalam perubahan iklim yang sangat cepat terjadi. Dukungan sarana produksi pertanian seperti bibit, pupuk dan pengendali OPT sangat penting dalam masa sekarang untuk memotivasi petani agar lebih giat meningkatkan produktivitasnya.

Kita tidak tahu sampai kapan perlawanan atas COVID-19 akan selesai, namun antisipasi dan mencegah dampak perluasan di sector lain, khususnya pertanian dan pangan. Manusia bisa bertahan hidup di rumah selama beberapa minggu sejauh pangan tersedia secara cukup. Namun jika terjadi krisis pangan dan ketiadaan makanan, maka akan memicu kelaparan dan kerusuhan social. Hal ini akan lebih buruk daripada COVID-19 itu sendiri.

Dalam situasi sperti sekarang, menjadi penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa produksi pangan dalam negeri bisa cukup untuk mencukupi pangan seluruh rakyat Indonesia, daripada bergantung kepada impor pangan.

Sistem produksi dan distribusi pangan di masa depan

Pandemi COVID-19 akan memicu perubahan kehidupan di segala bidang di masa depan, termasuk system produksi dan konsumsi pangan. Keberlanjutan system produksi pangan menjadi penting untuk dipastikan kedepan, baik dari sisi produksi, manajemen ketersediaan (stok) dan distribusinya. Selain itu industri pangan untuk menghasilkan makanan yang lebih sehat dan ramah lingkungan akan menjadi kebutuhan kedepan.C

COVID-19 akan menyadarkan semua orang bahwa pangan yang sehat, bergizi dan ramah lingkungan sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas tubuh dalam menghadapi berbagai penyakit termasuk virus.

Sistem produksi pangan akan berubah ke cara yang lebih berkelanjutan (organik) dengan tetap mempertahankan produktivitas yang tinggi. Adaptasi atas iklim menjadi sangat penting untuk memastikan produksi pangan tetap optimal. Dan peran teknologi tepat guna yang lebih adaptif atas perubahan iklim akan menjadi kebutuhan kedepan. Selain itu diversifikasi produksi dan pangan akan menjadi kunci bagi keberlanjutan ketahanan pangan di amsa depan.

Sistem manajemen ketersediaan pangan (stok) juga diperlukan guna memastikan pangan tersedia sepanjang tahun. Stok pangan nasional harus mampu menjamin kecukupan pangan dalam beberapa tahun. SIstem penyimpanan pangan yang lebih baik dan tahan lama akan menjadi kebutuhan. Desentralisasi gudang-

gudang pangan pemerintah menjadi sangat penting, termasuk menghidupkan sistem ketahanan pangan komunitas, seperti lumbung pangan di desa-desa.

Industri pangan juga akan berubah kepada industri pangan yang lebih bergisi, sehat dan higenis. Hal ini akan merubah pola konsumsi pangan masyarakat ke arah lebih sehat dan ramah lingkungan. Pola konsumsi dan distribusi pangan ke konsumen akan mengalami perubahan. Pasokan pangan secara online kepada masyarakat akan menjadi keniscayaan. Moda transpotasi dan distribusi pangan juga akan menentukan sesuai dengan perubahan teknologi informasi.

Karenanya COVID-19 ini sekaligus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem ketahanan pangan (Kedaulatan pangan) secara lebih baik.

J. Indro Surono
Pengurus Yayasan Bina Swadaya