- April 25, 2021
- Posted by: AstriSO93
- Category: Uncategorized
Catatan Bayu Krisnamurthi 25 April 2021
Dalam bukunya yang sangat menarik, “The Infinite Game” (Portfolio/Penguin, 2019) penulis dan inspirator Simon Sinek menyampaikan pandangan bahwa banyak hal yang kita lakukan – bisnis, pemerintahan, hubungan internasional – dibangun dengan asumsi yang keliru. Kita mengasumsikan bahwa semua itu memiliki pemain yang telah diketahui, aturan yang tetap, dan akhir yang jelas. Pemenangnya mudah diidentifikasi, layaknya permainan sepak bola atau catur. Sebuah permainan yang ‘finite’ (berbatas).
Padahal yang ada sebenarnya adalah permainan yang ‘infinite’ (tak berbatas): para ‘pemain’ berganti datang dan pergi, aturannya bisa berubah-ubah, ‘tiang gawang’ bisa berpindah-pindah, dan tidak ada batas akhir yang jelas. Dan akibatnya tidak ada pemenang atau pecundang dalam ‘permainan’ itu. Yang ada mungkin hanyalah mereka yang ‘di depan’ dan mereka yang ‘tertinggal’.
Sebagai elaborasi pertama atas pandangannya, ditulis di halaman buku paling depan, Sinek menulis puisi. Ada dua tanda di sebuah persimpangan jalan, katanya. Yang satu menunjuk ke arah jalan ‘kemenangan’ (victory), yang satu menunjuk ke jalan ‘pemenuhan’ (fulfillment). Apabila kita memilih ‘victory’ maka tujuannya adalah untuk menjadi juara. Kita akan merasakan sensasi persaingan saat bergegas menuju garis finis. Orang lain akan menonton dan mungkin akan bersorak. Dan ketika pertandingan berakhir, semua akan pulang ke rumah; dan mungkin berharap dapat melakukannya lagi di kemudian hari.
Jika kita memilih arah ‘pemenuhan’ (tugas hidup), maka perjalanan kan panjang. Mungkin akan ada waktunya kita harus memilih dan memilah langkah yang tepat, mungkin juga ingin berhenti untuk menikmati pemandangan dari daerah yang dilewati. Dan kita akan terus berjalan, dan berjalan. Orang lain mungkin akan bergabung bersama kita karena merasakan jalan yang dipilih adalah jalan (tugas hidup)nya juga. Dan pada saat kita sudah selesai dan tidak dapat lagi melanjutkan, maka orang-orang lain itu boleh jadi akan terus berjalan, sekaligus menginspirasi yang lain lagi untuk bergabung.
Buku-buku Sinek ditujukan untuk menginspirasi para pemikir dan pemimpin, terutama di dunia bisnis dan pemerintahan. Dimulai dengan buku berjudul ‘Start With Why’ yang dirangkai dengan buku ‘Leaders Eat Last’, dan diperluas dengan ‘Infinite Game’. Kesemuanya ditujukan untuk membangun organisasi yang tangkas dan adaptif terhadap perubahan, dan dengan demikian akan menjadi menguntungkan dan memberi manfaat bagi orang banyak.
Dengan Ramadhan tampaknya kita bisa mendapat pencerahan yang lebih luas. Dalam kehidupan, ‘victory’ dan ‘fulfilment’ bukan pilihan satu atau yang lain, bukan dua jalan yang berbeda, yang perlu dipilih ‘belok kiri’ atau ‘belok kanan’. ‘Kemenangan’ yang diperoleh di hari Idul Fitri ketika seseorang telah selesai berpuasa sebulan penuh adalah ‘pencapaian’ dari hasil keimanan dan ‘perjuangan’ menahan haus dan lapar berikut berbagai syariat yang harus dijalankannya. Dan itupun tidak lalu berarti ‘selesai’ karena ‘kemenangan’ di awal bulan Syawal diharapkan akan menjadi bekal sekaligus ‘penguatan’ kemampuan keyakinan menghadapi berbagai ujian diwaktu-waktu selanjutnya. Dalam perspektif yang ‘lebih tinggi’ itu, kemenangan adalah bagian dari pencapain; dan pencapaian dibangun dari rangkaian kemenangan.
Lebih dari itu ‘the game is not finite or infinite’, tetapi memang dua-duanya sekaligus. Misalnya soal waktu yang tersedia untuk menjalankan tugas hidup. Waktu yang tersedia itu ada batasnya (finite) yang jelas, tidak dapat ditunda atau dipercepat sedetikpun (Al-Araf-34); tetapi tidak ada yang tahu kapan batasnya (relatif ‘infinite’). Segala sesuatu bisa berganti-ganti, datang dan pergi, berubah-ubah; tetapi semua yang ada di langit dan di bumi ada yang ‘memiliki’, ada yang mengatur, ada yang menghidupkan dan mematikan. Situasi bisa berubah-ubah, tidak pasti, tetapi juga ada ‘pelajaran yang menjadi penyembuh bagi ‘penyakit yang ada dalam dada’ (kegelisahan, kekhawatiran) sekaligus sebagai petunjuk (Yunus-55-57).
Nanggala adalah senjata yang dimiliki Prabu Baladewa, tokoh pewayangan yang sangat sakti tetapi temperamental, dan punya pendapatnya sendiri. Sebagai senjata, Nanggala punya kemampuan yang sangat hebat tak tertandingi. Baru ada selentingan kabar Baladewa mau mengeluarkan senjata itu saja telah membuat para dewa khawatir akan daya hancurnya. Sedemikian hebatnya sehingga dikisahkan tidak ada yang tahu wujud dan keberadaan senjata itu, Nanggala selalu tersembunyi. Mungkin karena kehebatan kisah senjata itu pula maka Nanggala digunakan menjadi nama kapal selam TNI Angkatan Laut kita.
Kita tidak tahu apa yang terjadi di Laut Bali. Kita tidak tahu – meski tetap berharap ada keajaiban – apakah Nanggala akan selamat, dan ke 53 awaknya akan kembali ke keluarganya masing-masing dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.
Namun sekiranya kenyataan berkata lain, bahwa memang benar Nanggala telah tenggelam di kedalaman laut dalam lama waktu yang secara logika telah melewati batas kemampuan kapal selam jenis itu, maka kitapun harus menerima dengan besar hati. Nanggala yang sakti mandraguna pun akan mencapai batas waktunya (finite) dalam ke-tak-terhinggaan (infinite) kemungkinan peristiwa yang terjadi di kedalaman laut-laut Nusantara yang dijaganya.
Para perwira, bintara dan tamtama awak Nanggala telah mendapatkan jalan kemenangan (victory) sekaligus pencapaian (fulfilment) atas sumpah untuk menjalankan tugas sebagai prajurit sejati; selalu siaga, siap dan sedia; jiwa raga untuk nusa bangsa. Kita memberi salud dengan bangga, seraya turut mendoakan agar tekad dan pengorbanan mereka diberkahi Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Insya Allah.