
Foto: Martin Dody / ERCB
Angin berhembus sejuk ketika kami tiba di rumah Ramlah yang terletak di Desa Porame, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi. Sedikit berbeda dari para ibu seusianya, Ramlah sangat peduli terhadap sesama. Kegemarannya untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial membuat wanita kelahiran Desa Porame, tanggal 21 Maret 1962 ini dikenal sebagai tokoh perempuan yang aktif di kalangan sekitarnya.
Dalam kesehariannya, Ramlah tinggal bersama anaknya, Nifa. Menjadi orang tua tunggal sejak suaminya meninggal di tahun 2010, tidak membuatnya larut dalam keputusasaan yang berkepanjangan. Mata pencaharian utamanya adalah bertani. Selain menjadi petani, ia juga dilibatkan dalam program pendampingan di Kecamatan Marawola Barat sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) oleh Dinas Sosial.
Gempa yang melanda Kabupaten Sigi tanggal 28 September 2018 lalu, telah melumpuhkan perekonomian masyarakat, khususnya desa-desa yang berada di Kecamatan Marawola Barat. Rasa empati yang tinggi terhadap peristiwa itu membuatnya berupaya untuk mencari solusi yang tepat agar perekonomian di wilayah tersebut bisa kembali normal seperti sediakala.
Seperti yang diketahui, seminggu pasca bencana, dampak ekonomi dan sosial telah dirasakan di tempat itu. Desa-desa di Kecamatan Marawola Barat tergolong wilayah yang terisolir di Kabupaten Sigi. Ketika itu harga bahan bakar bensin mencapai Rp. 100.000,00 – Rp. 150.000,00 per botolnya (isi 1 liter). Selain itu masyarakat cenderung menjadi lebih individualisme akibat dihadapkan pada terbatasnya ketersediaan logistik dan ketidakpastian adanya bantuan dari pemerintah setempat.
Merespon hal itu, Ramlah yang dipercaya sebagai pendamping kecamatan memiliki tanggung jawab secara moril untuk segera mencari solusi dari persoalan tersebut. Beruntung ia pernah terlibat dalam kerja-kerja pengorganisasian masyarakat. Mengumpulkan informasi melalui diskusi bersama rekan-rekannya seakan memberikan semangat baginya untuk menuntaskan rasa kekhawatiran itu.
“Sesungguhnya saya sudah kebingungan ketika bencana terjadi, saya mau kemana untuk membantu, warga disini (Desa Porame) sudah banyak yang bantu. Sementara saya kan pekerja sosialnya di sana (Kecamatan Marawola Barat). Beruntung saya dihubungi oleh Pak Erwin dan Karsa Institute,” ujarnya.
Niat tulus dalam meringankan beban sesama, itulah yang menuntunnya hingga dipertemukan dengan tim dari ERCB. Pemahamannya atas masalah sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di Kecamatan Marawola Barat menjadi modal penting dalam mengawal tugas kemanusian ini.
Sebelumnya Ramlah adalah tokoh perempuan yang menjadi inisiator berdirinya Bantaya, Organisasi non pemerintah yang peduli pada persoalan lingkungan dan masyarakat adat di Sulawesi Tengah. Pengalaman berorganisasi dan berjejaring itulah yang membuat ERCB memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengawal distribusi logistik di Kecamatan Marawola Barat.
Selama teknis pelaksanaan distribusi di kediamannya, Ramlah dibantu oleh beberapa tetangganya yang tergabung dalam komunitas “Sintuvu Nobesi”. Kelompok itu memiliki peran yang penting dalam proses pengepakan logistik. Posko relawan di kediaman Ramlah mulai melayani distribusi daripukul 08:00 hingga pukul 19:00 WITA. Dalam proses distribusi logistik, Ramlah selalu menghimbau kepada para penerima manfaat untuk mengikuti prosedur dengan baik dan bersikap jujur “Jangan menyalahgunakan bantuan bencana, jika disalahgunakan sama saja kita berdoa untuk bencana lanjutan bagi desa kalian,” tandasnya.
Selain menyampaikan rasa terima kasih, Ramlah berharap agar ERCB selalu konsisten dalam melayani masyarakat. Ia juga berharap untuk terus mendapatkan pendampingan penguatan kapasitas terutama bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan ekonomi pasca bencana ini. (se/mdk)
Artikel ini telah dimuat di KAREBA PALU KORO Edisi 1 Desember 2018