Oleh : Dewi Hutabarat
Sudah beberapa kali saya dan Benito Lopulalan perjalanan bersama Sang Maestro pergerakan pemberdayaan masyarakat Bambang Ismawan, tapi ijinkan kali ini saya goreskan sedikit cerita perjalanan kami pekan lalu, ke Jogja dan Salatiga. . Sekedar untuk menyimpan kenangan, dan lebih jauh lagi bagi yang mau dan rasa perlu, untuk tambah2 referensi.
Ada dua hal yg semoga saya tidak salah simpulkan dari seorang Bambang Ismawan. Pertama, ia mencintai, mempercayai, mengakui bahkan mengagumi: rakyat kecil, “si mikro”, “si miskin” (baik di desa maupun kota). Bila seringkali kita mendengar orang2 hebat dan pintar dan modern mengatakan hal2 yang mengecilkan dan meremehkan bahkan kadang menghina rakyat kebanyakan, yang ia katakan adalah sebaliknya. Bukan “orang miskin kan malas” (berapa kali saya dengar orang2 kaya bilang gini.. duhhh), tetapi ia bilang “coba rakyat itu kurang hebat bagaimana, mereka melakukan segala yg bisa dan sanggup mereka kerjakan untuk menghidupi diri dan keluarganya nyaris tanpa dukungan apa2 dari berbagai pihak yang mestinya dapat membantu mereka…”.
Kedua, ia adalah true believer dari: membangun kekuatan masyarakat harus dengan melalui membangun partisipasi mereka. Masyarakat bukan gelas kosong. Di tiap tempat dimanapun itu, suatu masy pastilah telah membangun pengetahuan dan kekuatan mereka. Maka yang perlu dilakukan adalah mendorong dan memberi stimulus agar proses partisipasi masyarakat dalam membangun kekuatannya sendiri dapat semakin mengembang menghebat menguat. Ini sepertinya adalah premis utama yang ia bawa (atau beliau simpulkan?) dalam kerja puluhan tahun untuk apa yang lebih suka ia sebut sebagai “meningkatkan keberdayaan masyarakat” daripada istilah “pemberdayaan masyarakat” yang seolah2 menganggap masy begitu lemah sehingga perlu diberdayakan.
Pergi ke Jogja kali ini agenda utamanya adalah melanjut-proses-kan upaya untuk ikut memaksimalkan peran strategis elemen Perguruan Tinggi dalam meningkatkan keberdayaan masy dan menanggulangi kemiskinan. Proses ini telah berjalan beberapa tahun terakhir ini, sebagai bagian dari upaya “melahirkan” elemen “perekat multi pihak” dalam komunitas2 masy, agar dapat bersinergi dalam menanggulangi kemiskinan, dan meningkatkan keberdayaan.
Terasa seperti teoritis dan mengawang? Well, untuk seorang Bambang Ismawan, masyarakat adalah subyek, titik. Bila bicara soal masyarakat berdaya, ya yang harus didorong adalah “proses untuk masyarakat berproses”. Bukan kita datang seolah dengan obat ajaib di tangan, si masyarakat tinggal disuruh minum obat ajaib itu dan boom! Masyarakat kuat berdaya.
Tumbuhnya “elemen perekat sinergi multi pihak” dalam masyarakat dipandang sebagai sesuatu yg urgent dibutuhkan, merupakan salah satu kesimpulan dari “belajar” berpuluh tahun di ranah social development, community development, micro finance, micro enterprises, social entrepreneurship, gerakan koperasi dan lain2. Di tengah berkembangnya kompleksitas struktur masyarakat kita (lokal hingga global), ternyata bekerja sama yang melibatkan lintas sektor, lintas dimensi, lintas institusi, lintas wilayah, masih banyak pe-er nya. Padahal, at the end of the day, tidak ada sektor atau bidang atau wilayah dst, yang bisa ‘beres’ hanya dengan kerja sendirian.
Di Jogja, jadwal pertama adalah memenuhi undangan menjadi narasumber atau dosen tamu di Jurusan Hubungan Internasional Univ. Islam Indonesia (UII) yang bekerjasama dengan Univ Sungkonghoe Korea Selatan. Menarik sekali, karena kerjasama UII – Korea ini untuk mengadakan mata kuliah “Community Development and International Cooperation”. Yang juga menarik adalah: yang mengundang Pak Bambang justru pihak dari Korea nya.
Kuliah berjalan lancar. Dengan satu detil yang mengagetkan saya. Di tengah presentasinya, beliau mengungkapkan beberapa fakta kemiskinan di Indonesia antara lain adalah tiap 2 jam 1 orang ibu melahirkan meninggal dunia karena buruknya fasilitas kesehatan. Di situ, beliau sempat terdiam, tercekat, menahan tangis.
Untuk seorang yang telah jatuh bangun hampir 50 tahun di ranah rakyat jelata, Pak Bambang sudah memilili benteng “kesabaran yang revolusioner” yang cukup kokoh. Tapi toh, once in a while, emosinya muncul juga. Sama ketika sekali dua, saya menyaksikan ia “marah” ketika melihat bagaimana rakyat miskin hanya dilihat sebagai komoditi yang dimanfaatkan untuk keuntungan-keuntungan pribadi.
Usai kuliah langsung pindah ke DPPM UII (Direktorat Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) untuk diskusi bersama beberapa Ketua Lppm perg tinggi di Jogja. Termasuk hadir pula Romo Wiryono Ketua APTIK (Asosiasi Perg Tinggi Katholik).
Hari berikutnya bertemu dan diskusi dengan Rektor dan Wakil Rektor Univ Ahmad Dahlan (UAD), juga hadir Ketua LPPM. Rektor UAD kebetulan juga adalah Ketua APTISI Jogja (Asosiasi Perg Tinggi Swasta Indonesia). Diskusi berjalan sangat positif. Beberapa langkah lanjutan kongkrit sudah langsung direncanakan bersama.
Usai dari UAD, kami beranjangsana ke teman-teman Mubyarto Institute di PUSTEK UGM (Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan). Berbincang bersama Mas Toni Satriyantono Hidayat dan Pak Dumairy (Ketua PUSTEK UGM dan Ketua Mubins), cukup intens untuk menjajagi kerjasama menumbuhkan sinergi dalam masyarakat.
Keesokan hari, perjalanan agak berat. Ke Klaten, menemui Pak Sarwidi jagoan pembuat pewarna alami untuk batik tulis. Pak Sarwidi menerima penghargaan Kusala Swadaya dari Bina swadaya yg didirikan Pak Bambang 48 tahun lalu. Penghargaan ini, menurut Pak Sarwidi, membawa banyak perubahan dalam perjalanannya sebagai produsen batik tulis warna alam. Senang sekali ia kedatangan Pak Bambang. Usai makan siang di tempat Pak Sarwidi langsung kami lanjut perjalanan ke Salatiga. Selama 3 jam kadang diskusi, kadang bergurau, kadang menikmati Pak Bambang nembang.. “…gajah meto dicancang wit sidoguri…”
Sampai Salatiga langsung ke markas besar Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayibah nya Ahmad Bahruddin. Di sana ikut nimbrung keluarga hebring hebohnya Septi Peni Wulandani yang malamnya kemudian mentraktir makan.
Di markas SPPQT Pak Bambang mengangkat ulang sejarah pergerakan petani yang ia geluti sejak bahkan kami semua di ruangan itu belum pada lahir. Kiranya menjadi referensi tambahan untuk gerakan SPPQT yang per hari ini menjadi naungan pergerakan sekitar 17 ribu keluarga petani di Salatiga.
Keesokan hari, adalah hari terakhir, pagi-pagi kami sarapan di rumah keluarga Septi. Lalu ke Sekolah Lebah Putih yang mereka bikin dengan metode ajar yang “gak biasa2 aja” . Pak Bambang dan Bu Silvi sempat memberikan sepatah dua kepada sejumlah ibu2 orang tua murid yang kebetulan memang sedang berkumpul khusus di aula sekolah. Seusainya, langsung menuju Jogja untuk kembali ke jakarta. Pak Bambang capek, terlihat dari rautnya. Tetapi ia keral berkeluh kesah begini: repotnya kalau seperti saya ini, menikmati seluruh kerja yang saya lakukan, sehingga capek tidak terasa sampai kemudian badan protes.
Perjalanan bersama Pak Bambang selalu adalah perjalanan yang meneguhkan. Bahwa ia tidak pernah berbeda kata dan perbuatan, tidak pernah berkonflik-pandangan dari waktu ke waktu, selalu yang dikatakannya hari ini semata-mata meneguhkan, menjelas dan mengkristalkan, apa2 yg kemarin dan lalu2 ia sampaikan. Meneguhkan langkah, bahwa apa yang dijalani, kita pilih untuk jalani, kita anggap baik dan perlu kita jalani, adalah berharga dan patut kita perjuangkan. Bahwa memperjuangkan kepentingan orang banyak, is always work of worth. Kekuatannya berjuang seperti air yang menetesi batu karang meneguhkan langkah kaki dan kepercayaan diri. Kerendahan hatinya meneguhkan rasa malu untuk bersombong pada capaian yang baru seujung pengalaman yang dimilikinya.
Perjalanan bersama Pak Bambang, Sang (tokoh wayang) Bismo, buat saya adalah seperti menjadi saksi sejarah, menyaksikan sendiri sejumlah sangat kecil dari langkah-langkah yang beliau tapaki berpuluh tahun 2/3 hidupnya, hingga kini, merajut benang-benang pergerakan untuk masyarakat yang berdaya. Berdaya dalam makna yang sesungguhnya: kuat dan mandiri.
Sehatlah selalu ya Pak.
Sumber : https://www.facebook.com/dewi.hutabarat/posts/10207333680293063