Oleh : Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
Saat ini, suku bunga deposito sudah menyentuh dua digit alias 10% pada beberapa bank nasional. Apakah hal tersebut merupakan implikasi kenaikan suku bunga penjaminan (LPS Rate) 25 basis point (bps) dari 7,50% menjadi 7,75% di atas BI Rate 7,50% bagi bank umum?
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menaikkan LPS Rate dari 10% menjadi 10,25% bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk simpanan rupiah pada 14 Mei 2014. Sementara itu, LPS Rate untuk valuta asing (valas) tetap bertahan pada level 1,50%.
Hingga kini, Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan suku bunga acuan 7,50% sejak 12 November 2013 ketika inflasi melambung tinggi 8,37%. Sebagai informasi, BI Rate sudah naik 175 bps selama enam bulan terakhir sejak Juni 2013. Minimal terdapat dua faktor utama yang mendorong kenaikan BI Rate yakni gerak inflasi yang liar dan nilai tukar rupiah yang loyo. Kini nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mencapai level Rp12.000.
Tingkat inflasi mulai jinak dari 8,38% per Desember 2013 menjadi 8,22%, 7,75%, 7,32%, 7,25%, 7,32% masing-masing per Januari, Februari, Maret, April dan Mei 2014. Tetapi, BI Rate bergeming karena BI amat mempertimbangkan akibat lanjutan pemangkasan stimulus keuangan (tapering off) oleh The Fed.
Apakah pemangkasan stimulus keuangan yang telah berjalan dari US$85 miliar menjadi US$35 miliar per bulan akan berlanjut? Iya, manakala ekonomi belum membaik. Pertumbuhan ekonomi AS menipis dari 2,60% per akhir Desember 2013 menjadi 1,50% per kuartal I 2014 bandingkan dengan Indonesia 5,21%. Kita patut bersyukur karena pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi di bawah Nigeria 7,72%, Tiongkok 7,40%, Malaysia 6,20%, Filipina 5,70% namun jauh di atas negara Asean yakni Singapura 4,90% dan Thailand minus 0,60%.
Namun, tingkat pengangguran AS tetap bertahan pada level 6,30% per Mei 2014 sedangkan Indonesia menipis (membaik) dari 6,17% per akhir Desember 2013 menjadi 5,70% per akhir Februari 2014. Ringkas tutur, ekonomi AS membaik sehingga menjadi tanda tanya apakah pemangkasan stimulus keuangan akan berlanjut?
Oleh karena itu, BI mempertahankan BI Rate pada level 7,50% sebagai sikap berjaga-jaga terhadap pembalikan dana asing secara tiba-tiba (sudden reversal). Data BI mencatat sepanjang kuartal I 2014 dana asing yang masuk ke pasar keuangan nasional US$5,7 miliar (setara Rp68,4 triliun dengan kurs Rp12.000/US$1) lebih tinggi daripada periode yang sama 2013. Pada Maret 2014, dana US$1,2 miliar (Rp14,4 triliun) masuk ke pasar saham dan US$1,4 (Rp16,8 triliun) miliar ke Surat Berharga Negara (SBN).
Aneka Implikasi
Implikasi apa saja yang timbul sebagai akibat kenaikan LPS Rate di atas BI Rate? Dan upaya apa saja yang patut dipertimbangkan untuk mengatasi implikasi negatif bagi bank nasional?
Pertama, mengikuti suku bunga simpanan. Menurut LPS, kenaikan LPS Rate bertujuan untuk mengikuti suku bunga simpanan yang masih terus mengalami kenaikan. Langkah itu pun bertujuan untuk menjaga cakupan penjaminan atas dana nasabah di bank nasional. LPS Rate itu efektif 15 Mei 2014 hingga 14 September 2014.
Sungguh amat jarang terjadi LPS Rate melampaui BI Rate. Mengapa? Karena kenaikan LPS Rate itu bisa mendorong munculnya aji mumpung (moral hazard). Dengan bahasa lebih bening, kenaikan itu seolah merestui bank nasional untuk berlomba-lomba untuk menawarkan suku bunga simpanan jauh di atas LPS Rate. Inilah salah satu penyebab lahirnya perang suku bunga deposito saat ini.
Bagaimana potret simpanan di perbankan nasional? Data BI menunjukkan terdapat 147.440.975 rekening simpanan (99,87% dari total rekening) sama atau di bawah Rp 2 miliar. Simpanan itu mencapai Rp1.737.957,83 miliar (46,89% dari total simpanan) per akhir Desember 2013.
Sementara itu, simpanan di atas Rp 2 miliar hanya meliputi 185.535 rekening (0,13%) tetapi jumlahnya melewati simpanan sama atau di bawah Rp 2 miliar yakni Rp 1.968.651,53 miliar (53,11%) (Harian Kontan, 15 Maret 2014). Ingat, simpanan sebesar itu tidak ditanggung LPS lantaran batas simpanan yang dijamin LPS Rp 2 miliar.
Padahal kini makin banyak bank nasional menawarkan suku bunga simpanan di atas LPS Rate. Anehnya, mengapa LPS menetapkan LPS Rate melampaui BI Rate yang justru dapat mendorong kenaikan simpanan yang tidak dijamin LPS. Bukankah ini potensi risiko bagi nasabah?
Kedua, mendorong larisnya saving bonds. Pada awal Mei 2014, pemerintah meluncurkan surat utang Saving Bonds Ritel seri SBR001 dengan bunga 8,75% di atas suku bunga deposito. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi April 2014 yang terbit 20 Juni 2014 mencatat suku bunga rata-rata dana pihak ketiga (DPK rupiah) bank umum mencapai 8,03% untuk tenor satu bulan, 8,79% (tiga bulan), 8,53% (enam bulan) dan 7,83% (12 bulan) per April 2014.
Nah, kenaikan LPS Rate melebihi BI Rate itu agaknya juga bertujuan untuk mendorong agar surat utang itu laris manis. Instrumen investasi yang itu menjanjikan imbal hasil yang manis. Tatkala suku bunga naik, bunga saving bonds akan ikut melonjak. Sebaliknya, ketika suku bunga menipis di bawah bunga saving bonds, imbal hasil tetap. Sayang seribu sayang, penjualan saving bonds hanya mencapai Rp2,39 triliun yang berarti di bawah target Rp2,5 triliun. Wah!
Ketiga, menggenjot dana pihak ketiga (DPK). Bukan hanya itu. Kenaikan LPS Rate di atas BI Rate itu bermakna untuk mendorong masyarakat agar lebih banyak menabung di bank nasional. Lho?
Oleh karena itu, kini likuiditas makin ketat yang ditengarai dengan merosotnya DPK. Awalnya DPK naik tajam 13,57% per Juni 2013, 13,90% per Juli 2013, 14,63% per Agustus 2013 dan mencapai puncaknya 15,48% per September 2013.
Namun, DPK lantas menipis menjadi 14,21% per Oktober 2013, 13,41% per November 2013 (ketika BI Rate mencapai level tertinggi 7,50%) dan 13,32% Desember 2013. Puncak penurunan DPK terjadi per Januari 2014 sebesar 11,92% yang lantas menebal kembali 12,17% per Februari 2014. Eh DPK kembali menipis 11,41% dan 11,81% masing-masing per Maret dan April 2014.
Oleh sebab itu, suka tidak suka bank nasional dari kelompok bank mana pun wajib memutar otak dalam mencari berbagai sumber yang basah sebagai mesin penghasil DPK. Apa saja? Bank nasional dapat menggali sumber pendapatan non operasional (fee-based income) untuk dijadikan DPK yang legit.
Katakanlah, mengambil gurihnya dari pengelolaan rekening giro, tabungan dan deposito (current account saving account/CASA). Bukan berhenti di situ. Tetapi bank nasional juga dapat mereguk manisnya pendapatan dari jasa ATM, Phone Banking, SMS Banking, Mobile Banking dan Internet Banking.
Belum lagi ditambah lezatnya jasa cash management dan wealth management yang kian marak kemudian dilengkapi dengan provisi trade finance seperti ekspor, impor, bank garansi dan standby L/C. Bahkan menjelang Lebaran, bank nasional bakal kebanjiran remitansi (remittances) terutama dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mendulang devisa di manca negara.
Dengan aneka upaya demikian, implikasi negatif atas kenaikan LPS Rate di atas BI Rate dapat teratasi dengan jitu. Alhasil, bank nasional tetap mampu bersaing dengan trengginas tanpa melupakan manajemen risiko.
Sumber : koran Bisnis Indonesia hari ini Selasa 1 Juli 2014