Utang pemerintah semakin membengkak. Hal ini dapat dilihat dari catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan utang pemerintah hingga September 2013 mencapai Rp 2.273 triliun, naik sekitar Rp 95,81 triliun jika dibanding posisi Agustus 2013. Sementara pada akhir tahun 2012 utang Rp 1.977 triliun.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Harry Azhar Aziz mengatakan, penyebab utang pemerintah yang semakin meningkat karena utang pemerintah dalam bentuk dolar AS. Artinya ketika dolar mengalami depresiasi maka utang otomatis semakin meningkat.
“Kemudian tumpukan dari beberapa utang selama 10 tahun yang digunakan SBY (Susilo Bambang Yudhaoyono, red) dengan maksimum 3 persen terhada PDB (Produt Domestic Bruto). Kalau sekarang misalnya Rp 1.800 triliun, sekarang kan utang sekitar Rp 180 trilun rata-rata pertahun itu sekitar antara Rp 150-180 triliun kalikan saja 10 tahun jadi Rp 1.800 trilun,” kata Harry kepada Harian Terbit, kemarin.
Harry mengungkapkan, pemerintah tidak pernah menjelaskan secara transparan soal penggunaan utang tersebut. DPR sudah meminta kepada pemerintah agar utang tersebut tidak boleh digunakan untuk program seperti memberantas kemiskinan dan program reformasi birokrasi. Tetapi digunakan untuk proyek pembangunan infrastruktur seperti jembatan, pelabuhan, dan bandara.
“Utang digunakan untuk infrastruktur itu baru berjalan setahun dua tahun ini. Lalu, utang itu harus terdistribusi ke regional dengan baik, saat ini bisa dikatakan 70 persen utang yang digunakan jatuhnya ke Jawa sehingga enggak merata,” tutur Harry.
Harry menjelaskan, apabila utang digunakan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga dengan ekonomi meningkat maka otomatis kemampuan pemerintah membayar utang ikut meningkat. Namun, jika digunakan untuk pembangunan reformasi dan birokrasi seperti membayar gaji pegawai maka kemampuan bayar utang semakin sulit.
Sementara itu, Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, utang pemerintah tidak sekedar naik, tetapi membuat keseimbangan premier atau penerimaan dan pengeluaran pemerintah negatif.
Artinya, lanjut Enny, pengeluaran tersebut sudah digunakan untuk bayar bunga, sehingga tambahan pengeluaran pemerintah yang ekspansif yang didanai dengan kebijakan defisit APBN justru menambah utang tidak menambah penerimaan.
Menurut Enny, konsep utang pemerintah tidak jelas, dimana anggaran tetap pemerintah banyak sisa anggaran lebih yang artinya utang tidak digunakan. Lalu, jika digunakan mendekati akhir tahun sehingga utang ini tidak produktif dan tidak membantu perekonomian Indonesia melainkan hanya gali lobang tutup lobang.
“Kecuali dulu utang konsepnya jelas, digunakan untuk membangun infrastruktur atau investasi, sehingga mendorong perekonomian,” ujar Enny.
Enny menambahkan, utang ini menjadi akumulasi yang terus meningkat lantaran tidak digunakan untuk pengeluaran yang produktif. Ditambah lagi porsi pengunaan utang lebih banyak untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) serta gaji pegawai bukan untuk infrastruktur dan sistem logistik nasional.
Sumber : http://www.harianterbit.com/read/2014/06/11/3530/21/21/Pemerintah-Tak-Transparan-Dalam-Penggunaan-Hutang-Negara