Dalam ekonomi yang tak pasti, BI dituntut mampu menuntaskan sederet tantangan yang ada di depan mata. Membangun koordinasi yang mesra antara BI, LPS, dan OJK, merupakan hal yang mendesak.Paul Sutaryono
PADA 16 September 2013 telah terpilih Mirza Adityaswara sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) untuk menggantikan posisi Darmin Nasution yang kosong melompong mulai 2010. Ia mengalahkan pesaingnya, Anton Hermanto Gunawan. Lengkap sudah posisi di BI. Namun, tak ada bulan madu karena tantangan sudah menghadang BI pada kuartal keempat 2013 dan 2014. Apa saja?
Ada warna baru dalam pemilihan itu. Katakanlah, pemilihan ini beberapa kali mengalami penundaan dengan berbagai alasan. Terakhir, pemilihan diselenggarakan pada 3 September 2013, tetapi gagal karena beberapa fraksi masih membutuhkan waktu untuk mengambil keputusan.
Selain itu, dua nama itu merupakan calon eksternal. Mirza Adityaswara merupakan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Anton Hermanto Gunawan adalah Kepala Ekonom Bank Danamon. Selama ini tak ada calon yang diambil dari luar bank sentral. Mengapa? Itu gampang ditebak. Karena, Agus D.W. Martowardojo, Gubernur BI, juga berasal dari luar BI. Namun, justru faktor eksternal inilah yang membawa warna baru dalam tugas BI yang sarat tantangan bak jalan terjal.
Jalan Terjal
Lantas, tantangan apa saja bagi BI ke depan? Pertama, menjinakkan inflasi dan nilai tukar rupiah. Setelah terbang tinggi dari 5,90% per Juni 2013 menjadi 8,61% per Juli 2013, inflasi naik 8,79% per Agustus 2013. Hebohnya lagi, inflasi akan mendaki lebih tinggi, mencapai 9,2% pada akhir 2013. Wah!
Artinya, BI harus “melonggarkan dasi” sehingga mampu mengendalikan gerak liar inflasi. Bukan hanya sampai dengan akhir 2013, melainkan hingga 2014, mengingat pelambatan ekonomi global masih mengancam.
BI pun wajib mengendalikan nilai tukar rupiah yang masih bertengger tinggi pada level Rp11.400 per US$1. Depresiasi rupiah mencapai 11,5% hingga akhir Agustus 2013 dibandingkan dengan depresiasi rupiah 16% pada 2008. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun lunglai, dari 4.590 ke level 4.190.
Kedua, mengelola BI Rate. Ketika inflasi melejit tinggi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian loyo, BI dengan terpaksa menaikkan BI Rate pelan tetapi pasti. Pada 29 Agustus 2013 BI mengangkat BI Rate 50 bps (0,50%) dari 6,5% menjadi 7%, suku bunga lending facility naik 25 bps (0,25%) dari 6,75% menjadi 7%, dan suku bunga deposit facility naik 50 bps (0,50%) dari 4,75% menjadi 5,25%. Kenaikan BI Rate itu bertujuan untuk menarik investor agar tak memindahkan dana ke luar negeri (capital flight). Beberapa kalangan menilai BI Rate cukup pada level 7% untuk sementara ini.
Namun, tanpa diduga, BI mengerek kembali BI Rate 25 bps (0,25%) dari 7% menjadi 7,25% pada 12 September 2013. Suku bunga lending facility pun naik 25 bps (0,25%) dari 7% menjadi 7,25% dan suku bunga deposit facility naik 25 bps (0,25%) dari 5,25% menjadi 5,5%. Gebrakan itu bertujuan final untuk mengendalikan inflasi, stabilitas nilai tukar, dan penyesuaian defisit transaksi berjalan secara berkelanjutan.
Dengan kenaikan BI Rate itu, BI seolah kian berpihak pada pasar (market friendly).
Cukupkah BI Rate pada posisi 7,25%? Jangan lupa, pasar senantiasa meminta lebih. Pasar itu tidak mau kompromi, bahkan rakus (greedy), yang selalu ingin mendapatkan margin setinggi langit. Belum lagi nanti setelah Federal Open Market Committee (FOMC) AS mengadakan rapat pada 17-18 September 2013. Apa yang ditunggu pasar? AS mengeluarkan stimulus keuangan (Quantitative Easing/QE) dengan mencetak uang baru untuk membeli Surat Utang Negara (SUN) atau US Treasury Bonds.
Nah, rapat itu akan memutuskan, seberapa jauh The Fed akan mengurangi atau bahkan menghentikan stimulus keuangan itu. Inilah yang ditunggu pasar. Hal yang pasti adalah berapa pun pengurangan stimulus itu, pasti akan memengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Karena itu, inilah pekerjaan rumah (PR) untuk mengelola BI Rate pada level yang tepat.
Ketiga, mengawal suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. Ingat selalu bahwa kenaikan BI Rate itu selalu memengaruhi suku bunga simpanan dan suku bunga kredit. Kenaikan suku bunga acuan hampir selalu membuat bank nasional menderita potensi risiko likuiditas.
Bagaimana tingkat likuiditas bank nasional yang tersirat dalam kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio atau CAR)? Statistik Perbankan Indonesia per Juni 2013 yang terbit pada 16 Agustus 2013 menunjukkan bahwa CAR kelompok bank asing menduduki posisi teratas, walaupun menipis dari 33,60% per Mei 2013 menjadi 33,17% per Juni 2013.
Kemudian, menyusul kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) nondevisa dengan CAR yang menurun tipis dari 22,49% menjadi 21,80%. Kelompok bank campuran justru menebal dari 20,05% menjadi 20,42%. Tiga kelompok bank dengan CAR di bawah 20% yakni kelompok bank persero yang merosot dari 17,51% menjadi 16,61%, kelompok BUSN devisa yang menipis dari 16,43% menjadi 16,21%, dan kelompok bank pembangunan daerah (BPD) yang mengecil dari 17,79% menjadi 15,62% pada periode yang sama.
Akibatnya, bank nasional segera menaikkan suku bunga simpanan, terutama deposito. Saat ini suku bunga deposito berkisar antara 4,25% dan 6,25% untuk tenor satu bulan. Bisa jadi bank nasional akan mengerek suku bunga deposito hingga 150 bps (1,5%) dalam waktu dekat ini. Kalau hal itu menjadi kenyataan, suku bunga deposito bisa mencapai level 7,75%. Apa yang wajib diwaspadai nasabah bank nasional?
Jangan silau dengan tawaran suku bunga deposito yang begitu tinggi. Sungguh berpotensi risiko tinggi bagi nasabah sekiranya suku bunga deposito itu ternyata lebih tinggi daripada suku bunga penjaminan LPS. Mengapa? Karena, LPS tidak akan memberikan ganti rugi kepada nasabah ketika bank tempat menyimpan dana itu mengalami pailit. Tidak berhenti di situ, LPS pun melarang nasabah untuk menerima cash back dari bank nasional karena itu dianggap sebagai bagian dari suku bunga deposito.
Berapa suku bunga penjaminan LPS saat ini? LPS telah menaikkan suku bunga penjaminan 75 bps (0,75%) untuk rupiah dan 25 bps (0,25%) untuk valuta asing (valas) sehingga menjadi 7% untuk rupiah dan 1,5% untuk valas bagi bank umum. Suku bunga penjaminan bagi bank perkreditan rakyat (BPR) menjadi 9,50% untuk rupiah.
Keempat, menerapkan suku bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rates dengan jitu. Ketika suku bunga simpanan mulai terangkat ke atas, tentu saja biaya dana (cost of fund) menjadi lebih tinggi. Konsekuensi logisnya, suku bunga kredit terancam naik pula.
Itulah tantangan sejati bagi BI untuk semakin saksama dalam mengawal suku bunga kredit agar tidak naik terlalu tinggi. Kenaikan suku bunga kredit biasanya akan diawali sektor kredit konsumsi, yakni kredit pemilikan rumah (KPR), kredit tanpa agunan (KTA), dan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Kemudian, akan menyusul kenaikan suku bunga kredit komersial. Hal ini lambat atau cepat akan menekan penyerapan kredit oleh sektor riil. Ujungnya, pertumbuhan ekonomi nasional akan terhambat, bahkan hingga 2014.
Di sinilah ancaman bagi mekarnya kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) tatkala angsuran kredit mulai seret di berbagai sektor kredit. Adalah benar bahwa sekarang ini NPL masih di bawah ambang batas 5%. Namun, meningkatkan kewaspadaan untuk tiada henti memantau NPL bukan barang tabu sama sekali.
Terkait dengan ancaman kenaikan suku bunga kredit itu, BI dituntut untuk menegakkan kebijakan SBDK. Inilah tantangan bagi BI untuk membuktikan kedigdayaan SBDK dalam menyetir suku bunga kredit sehingga tidak naik terlalu tinggi.
Kelima, mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Adalah benar bahwa BI sudah menerbitkan aturan yang mewajibkan bank nasional untuk menyalurkan kredit UMKM minimal 20%. Kewajiban ini ditunaikan secara bertahap mulai 2013 hingga 2018. Tantangan BI adalah bagaimana mengawal SBDK untuk kredit mikro supaya terus menipis. Saat ini suku bunga kredit mikro masih di atas angin, sekitar 30%.
Keenam, menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Fungsi pengawasan BI akan segera beralih ke OJK efektif 1 Januari 2014. OJK akan melakukan pengawasan terhadap semua lembaga jasa keuangan. Sebut saja bank, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, perusahaan pembiayaan, dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Sungguh mendesak untuk membangun koordinasi mesra antara BI, LPS, dan OJK. Untuk apa? Untuk menghadapi krisis yang bersifat sistemik pada perbankan nasional. Sayangnya, undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) masih belum terbentuk.
Inilah PR pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Manakala aneka tantangan itu mampu ditanggulangi, amat diharapkan kepercayaan pasar terhadap BI bakal pulih kembali. Pasar keuangan kembali bergairah. Bank nasional pun akan tetap trengginas di tengah ancaman krisis global. (*)
Penulis adalah pengamat perbankan, mantan Assistant Vice President BNI, dan pengurus Yayasan Bina Swadaya.
Sumber : http://www.infobanknews.com/2014/03/2014-jalan-terjal-menghadang-bank-indonesia/