Oleh: Prof. Dr. Paulus Wirutomo, MSc
I. Reformasi dan Peran Sosiologi
Sosiologi memang sering dianggap sebagai ilmu murni yang seharusnya hanya melakukan analisis bukan mengobati. Tetapi sebetulnya kelahiran sosiologi sendiri didorong oleh kebutuhan yang mendesak untuk memecahkan masalah sosial di jaman modern ini, mencoba membaca situasi reformasi ini, saya menemukan beberapa gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat saat ini.
Semua arah moral bangsa praktis dikuasai oleh kelompok kecil yang cenderung bersifat partisan dan primordial, namun kita juga masih melihat adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mendukung nilai-nilai yang sebaliknya yaitu bersifat altruitik, nasionalis, inklusif , universalistic dsb. Aspirasi ini sebenarnya banyak didukung oleh masyarakat luas (silent majority), tetapi gerakan-gerakan sosial yang memperjuangkan nilai-nilai ini masih lemah, dan sporadik. Mereka belum tergabung dalam jaringan yang solid dan mampu melakukan gebrakan besar yang berskala nasional, sehingga cenderung tenggelam oleh gerakan yang punya dana.
Di Indonesia sendiri presiden Soeharto pernah mengecam sosiologi dan ilmu sosial lainnya sebagai “tukang kritik dan tukang mencari masalah”, mungkin beliau kurang mengetahui betapa banyaknya hasil penelitan, teori, pemikiran dan model-model pengembangan masyarakat dan komunitas, pengelolaan konflik didaerah, pemecahan masalah pertanahan dsb. yang pernah dihasilkan oleh para sosiolog, karena amat sedikit yang diangkat menjadi kebijakan daerah apalagi nasional.
II. Apakah Masyarakat “Adab” Itu?
Tak perlu disangkal lagi bahwa millenium kedua yang lalu telah ditandai oleh perkembangan yang dahsyat dari peradaban manusia. Revolusi Industri, urbanisasi, perkembangan teknologi dan kesenian, lahirnya berbagai ideologi modern, globalisasi dsb. Namun pada penutupan millennium yang lalu PBB menyatakan bahwa:“millenium II adalah millennium yang paling kejam”.Kekejaman ini bukan hanya dilihat dari jumlah korban manusia dalam peperangan dan konflik antar negara, bangsa dan golongan, tetapi juga dari hasil pembangunan yang ternyata hanya memperkaya sekelompok kecil masyarakat dan menjerumuskan lebih dari 1 milyar orang dalam sekarat kemiskinan (ruthless development dalam bahasa UNDP). Kekejaman itu bukan hanya terhadap manusia tetapi juga pada binatang dan lingkungan alam..
Munculnya organisasi warga negara yang sukarela dan mandiri (seperti LSM, organisasi massa, organisai politik) serta pers yang bebas dsb. sebagai ciri dari civil society ternyata belum cukup untuk menjamin terciptanya kondisi masyarakat yang diimpikan. Sampai akhir abad 20 peradaban manusia di dunia masih diwarnai berbagai kekejaman terhadap manusia dan lingkungannya. Kunci dari kesejahteraan manusia bukan hanya terletak pada terciptanya hubungan yang seimbang antara negara dan masyarakat (civil society) saja, tetapi yang lebih mendasar lagi suatu moralitas baru perlu dihembuskan kedalam system modern tersebut.
Suatu tuntutan moralitas baru misalnya telah diteriakkan oleh revolusi Perancis: “liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan), tetapi sampai saat ini nampaknya hanya “kebebasan” yang bisa diperoleh, sedangkan “persamaan” masih jauh tertinggal. Ini terutama disebabkan karena moral “persaudaraan” hampir tidak mengalami kemajuan di dunia modern ini.
Hal itu pula yang terjadi dalam reformasi kita. Semua golongan mabuk kebebasan sementara “semangat persaudaraan” sebagai bangsa justru makin terpuruk dan akibatnya “persamaan” dan keadilan dalam bentuk apapun takkan mungkin tercapai. Mengingat hal ini saya berpendapat bahwa inti dari kwalitas “civil society” yang masih harus kita bangun dalam masyarakat kita adalah moral “persaudaraan”, artinya perimbangan antara kesadaran akan hak individu dengan kewajibannya pada orang lain. Oleh karena itu saya sependapat dengan pemikiran yang mengatakan bahwa konsep civil society bersifat dinamis, artinya merupakan suatu gerakan sosial dimana warganegara secara terus menerus perlu menyelaraskan antara hak dan kewajiban didalam praktek hidup sehari-hari. (Lihat Z.A. Pelczynski, The State and Civil Society, l984).
- Kita harus mampu menciptakan suatu moralitas baru yang tidak mengganggu kehidupan pribadi orang (sikap anti puritanisme).
- Kita harus mempertahankan suatu “hukum dan keteraturan” tanpa harus jatuh pada suatu “negara polisi” dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan untuk pemerintah.
- Kita harus menyelamatkan kehidupan keluarga tanpa harus membatasi hak anggotanya secara diskriminatif (misalnya memaksakan peran domestik kepada perempuan)
- Sekolah harus mampu memberikan pendidikan moral, tanpa mengindoktrinasi anak muda.
- Kita harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain
- Kita harus meningkatkan tanggungjawab sosial bukan sebagai suatu pembatasan hak-hak kita, tetapi justru sebagai perimbangan dari hak – hak yang kita peroleh. Semakin besar hak yang diterima, semakin besar pula kewajiban yang perlu ditanggung.
- Perjuangan kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa harus menjadi tumbal bagi kelompok. Oleh karena itu kerakusan individu yang tanpa batas harus diganti dengan “kepentingan pribadi” yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang yang disahkan oleh masyarakat.
- Kewibawaan pemerintah harus dijaga tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga menyampaikan pendapat dan kepentingannya.
III. Membangun Masyarakat “Adab” di Jakarta
Dalam pidato singkat ini mula-mula saya mencoba menangkap gejala sosial-budaya yang mendasar (societal atau sociological problems) yang menjadi sumber segala masalah sosial (social problems) serta berbagai masalah lain (politik, ekonomi dsb.) di masyarakat kita dan menggambarkan sejauh mana sosiolog bisa berperan dalam hirukpikuk di awal era reformasi ini. Kemudian saya melihat khasanah pemikiran, konsep-konsep dan model masyarakat ideal dimasa depan yang sedang menjadi wacana dalam ilmu sosiologi saat ini. Masyarakat Adab adalah suatu konsep yang sementara ini saya anggap ideal untuk menjadi format masyarakat kita dimasa depan. Akhirnya saya memberanikan diri untuk menguraikan apa yang pernah saya pikirkan dan kerjakan sebagai seorang sosiolog dalam usaha membangun masyarakat Jakarta menuju masyarakat adab.
Situasi negara dan bangsa kita pada masa ini jelas sangat memprihatinkan kita semua, bahkan saya pernah terpikir bahwa kebudayaan bangsa kita ini adalah “kebudayaan yang terkalahkan!”, karena sampai usia 55 tahun merdeka, kita masih harus jatuh lagi kedalam krisis yang paling elementer yaitu menyangkut kelangsungan hidup atau krisis eksistensi, sementara itu bangsa bangsa lain disekitar kita telah bergumul dengan masalah-masalah lain yang lebih maju. Di dunia Internasional kebudayaan kita sekarang selalu berada dalam peringkat terendah. Saya menyadari bahwa pernyataan saya itu mungkin lebih bersifat emosional daripada rasional. Tetapi maksud pernyataan keras itu adalah untuk menggugah kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah dalam “proses perkembangan budaya” kita.
Di penghujung era reformasi ini banyak pakar yang mengemukakan berbagai pemikiran, banyak wacana dikembangkan. Ditengah hiruk pikuk ini peran sosiolog sering dipertanyakan. Mengapa kondisi kehidupan sosial budaya kita bisa berubah sedemikian drastis dan fantastis, bangsa yang dikenal sabar, ramah, penuh sopan santun dan pandai ber-basa basi ini sekonyong-konyong menjadi pemarah, suka mencaci, membakar manusia hidup-hidup dikeramaian kota, perang antar kampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang amat biadab, bahkan yang lebih tragis, anak-anak kita yang masih dibangku sekolahpun sudah bisa saling bunuh dijalanan atau membajak dan merampok bis kota.
Situasi yang bergolak serupa ini memang dapat dijelaskan secara sosiologis karena ini memang memiliki kaitan dengan struktur sosial dan system budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu. Akan tetapi ternyata banyak juga kejadian yang secara sosiologis semu karena terlalu banyak rekayasa yang dibuat oleh berbagai kepentingan politik. Misalnya dapatkah semua demonstrasi yang ada dijadikan indikator peningkatan demokrasi? apakah semua kerusuhan merupakan ekspresi budaya yang murni dari masyarakat lokal yang masih bersahaja? Sejauh mana faktor provokator dan konspirasi bermain dibalik itu? Bila intelijen tidak berhasil menembus misteri itu, apalagi seorang sosiolog. Untuk pemecahan masalah jangka pendek, dalam situasi yang telah amat eksplosif ini peran sosiolog memang tidak terlalu berarti, peran aparat keamananlah yang justru amat menentukan.
gejala sosiologis fundamental yang menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita saat ini:
1. Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi Oligarki
Inti dari Reformasi kita adalah demokrasi tetapi ternyata tidak mudah memilih format demokrasi yang sesuai dengan kebutuhan kita saat ini dan sekaligus sesuai dengan sikap mental budaya kita. Berbagai undang – undang politik baru yang lebih demokratis telah dibuat, tetapi ternyata tidak mampu mengatur dan menjinakan pola perilaku politik bangsa ini yang ternyata masih cenderung anarkis bukan saja di tingkat bawah tetapi juga ditingkat elit.
Yang memprihatinkan adalah suatu kenyataan bahwa setelah kita berhasil menumbangkan “otokrasi” gaya Soeharto ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki dimana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi dsb.). Misalnya:
· Sebagian besar uang di negeri ini berada ditangan sekelompok kecil orang yang justru sedang terpojok secara politis. Kelompok ini bisa membeli “kebenaran” melalui lembaga hukum, demo, informasi di mass media, bahkan kursi di parlemen.
· Kekuasaan politik formal dikuasai oleh sekelompok orang partai yang melalui Pemilu berhak “menguras” suara rakyat untuk memperoleh kursi di Parlemen. Melalui Parlemen kelompok ini berhak mengatas namakan suara rakyat untuk agenda politik mereka sendiri yang seringkali berbeda dengan kepentingan nyata masyarakat.
· Kekuasaan kharismatik yang berakar dari tradisi, maupun agama terdapat pada beberapa orang yang mampu menggerakan loyalitas dan emosi rakyat yang bila perlu mau mati untuk tujuan yang bagi mereka sendiri tidak jelas.
· Kekuasaan hukum formal dikuasai oleh para praktisi dan penegak hukum yang dengan ketrampilannya atau wewenangnya bisa mengatur siapa salah, siapa benar.
· Sekelompok kecil elit daerah memiliki wewenang formal maupun informal untuk mengatasnamakan aspirasi daerah
demi kepentingan mereka sendiri. Kelompok inilah yang sering
menyuarakan isu “separatisme”, federalisme, otonomi luas
bahkan isu putra daerah.
· Kelompok aktivis vokal (vocal minority) yang sering melakukan aksi-aksi demo dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat banyak dengan cara-cara yang seringkali justru memuakkan rakyat kebanyakan (kekerasan, sweeping dsb.)
Apapun sumber-sumber yang mampu memobilisasi rakyat digunakan oleh kelompok-kelompok kecil ini demi memaksakan kehendak mereka di era reformasi ini. Yang paling memprihatinkan adalah tindakan mengklaim symbol keagamaan untuk legitimasi politik, karena agama adalah satu-satunya ideologi yang bisa “mengabsolutkan kebenaran”. Secara sosiologis gejala ini amat berbahaya karena dapat mengakibatkan devaluasi, desakralisasi bahkan sinisme terhadap agama. Semua ini terjadi baik disadari maupun tidak oleh para elit masyarakat yang memang sedang mengidap “myopia politik” yaitu hanya berorientasi pada pemilu 2004 bukan tujuan bangsa jangka panjang.
2. Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–Cultural Animosity).
Ketika rejim Orba berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas antar suku, agama, kelas sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertical antara kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering horizontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (tidak fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi “self destroying nation”.
Yang terjadi di Indonesia bukan hanya “manifest conflict” tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden atau latent conflict” antara berbagai golongan. Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung dihampir seluruh pranata sosialisasi di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik dsb.).
Saya yakin bahwa kebencian budaya ini sangat berhubungan dengan pluralitas negara-bangsa Indonesia tetapi ini bukan factor penentu, karena banyak masyarakat plural yang lain bisa membangun platform budaya yang mampu menghasilkan kerukuran antar etnis pada derajat yang cukup mantap. Sebagai contoh masyarakat Malaysia dengan konsep pembangunan sosial budayanya telah berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture) mengenai kerukunan antar kelompok rasial dan agama. Seorang antropolog Malaysia mengatakan bahwa konflik politik sekeras apapun yang terjadi di Malaysia, tidak pernah mengusik kesepakatan ini. Sedangkan di Indonesia setiap perbedaan pandangan politik selalu ditarik lagi kepada factor perbedaan budaya yang paling mendasar (terutama agama). Inilah yang membuat persoalan politik tidak pernah mudah diselesaikan.
Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif (integrasi normatif), tetapi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi koersif). Hal ini telah saya bahas dalam pidato saya pada Dies Natalis UI yang baru lalu (lihat Wirutomo, 2001).
Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu “socio-cultural policy” dan “socio-cultural” planning – yang berdasarkan analisis sosiologis-antropologis yang mendalam dan metode pemecahan masalah yang dipelajari dari berbagai pengalaman bangsa yang lain – amat kita perlukan.
3. Proses Institusionalisasi Tanpa Internalisasi.
Reformasi kita amat gencar menghasilkan perubahan dan perombakan, tetapi semua masih dalam tataran “legal formal” (misalnya di era pemerintahan Habibie yang singkat kita menghasilkan banyak sekali undang-undang baru), tetapi bangsa ini sama sekali belum sempat menanamkan nilai-nilai yang mendasari peraturan baru tersebut sehingga yang terjadi adalah “melawan norma lama dengan norma lama pula” (menyapu lantai kotor dengan sapu kotor). Beberapa contoh:
· Mengganti otokrasi dengan oligarki (intinya tetap: yakni kekuasaan tidak didistribusikan secara adil pada rakyat).
· Membasmi pelaku KKN lama dan menggantikannya dengan pelaku baru.
· Otonomi mengurangi kekuasaan pusat tetapi memindahkan pada “pusat-pusat kekasaan” baru didaerah.
· Mencaci budaya kekerasan militer tetapi membentuk system kekerasan sipil model baru (laskar-laskar sipil).
Sekali lagi, negara kita tidak memiliki rencana dan agenda yang jelas untuk mensosialisasikan nilai-nilai baru tersebut.
4. Merebaknya Budaya Penganggur
Bekerja adalah kegiatan yang paling asasi baik bagi pembentukan martabat pribadi manusia maupun terbentuknya tatanan sosial yang sehat. Karena itu masalah kesempatan bekerja yang layak bagi setiap angota masyarakat merupakan hal yang paling mendasar dari bangunan sosial suatu masyatakat dan harus benar-benar dilindungi oleh negara. Pengangguran adalah sumber masalah sosial yang mendasar, tetapi krisis ekonomi yang berkepanjangan saat ini telah menciptakan gumpalan massa penganggur yang jumlahnya luar biasa. Secara sosiologis, penganggur adalah orang yang tidak memiliki status sosial yang jelas (statusless), sehinga cenderung mudah melepaskan diri dari tanggungjawab sosial dan paling tidak peduli dan berkepentingan terhadap keteraturan dan tata tertib sosial. Gumpalan massa penganggur ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik formal maupun informal sebagai alat penekan politik dan pembenaran bagi aspirasi politik mereka, sehingga demonstrasi sekarang menjadi indicator demokrasi yang kurang valid dan menyulitkan analisis sosiologis.
Empat gejala mendasar diatas menurut saya merupakan variable penting yang mempengaruhi maju mundurnya proses reformasi kita. Sosiolog harus mengambil peran signifikan dalam usaha mengatasi persoalan bangsa itu dan ini adalah suatu tantangan yang berat.
Tantangan terhadap sosiologi bukan hanya di tanah air, tetapi di seluruh dunia, karena dunia sedang mengalami perubahan sosial yang takpernah terjadi sebelumnya. Globalisasi adalah suatu fenomena yang bersifat eksistensial.
Banyak pemikir kritis yang melihat bahwa dalam era globalisasi, dimana tatanan kehidupan sosial berubah dengan amat pesat (run away world menurut Giddens) telah menyapu segala-galanya sehingga Sindhunata (2000) misalnya, menulis:
”Memang ditengah dunia yang diwarnai banyak krisis ini, sosiologi rasanya tidak mempunyai sesuatu yang dapat diandalkan lagi. Kategori sosiologi seperti “masyarakat”, “negara”, “kerja”, “modal”, “keluarga” tidak mempunyai lagi daya kejelasan untuk menerangkan problem dan perkembangan baru akibat globalisasi.”
Sindhunata nampaknya terlalu percaya pada kedahsyatan globalisasi sehingga dalam sekejap gejala ini akan mampu menyapu bersih sifat naluriah manusia seperti tradisi, nilai, system kepercayaan, kebutuhan akan ikatan kelompok, kehangatan keluarga dsb.
Dalam kenyataannya globalisasi tidak mencuci habis-habisan kebudayaan manusia. Masyarakat dimana-mana ternyata banyak melakukan tawar menawar budaya terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi. Ekspansi kapitalisme duania yang cenderung liar juga mendapat perlawanan keras, baik secara budaya, ideologis maupun tindakan-tindakan politis antar bangsa. Lihat misalnya usaha PBB yang senantiasa mengembangkan jaringan antar bangsa untuk menciptakan suatu new governance pada tingkat global guna menjinakkan dan meng-adabkan “sang juggernaut” globalisasi.(UNDP,l999 h.11), dan secara konsisten mendorong usaha Human Development.
Jaringan LSM internasionalpun telah melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan para multi national corporation. Naisbit (1999) bahkan mengilustrasikan munculnya gejala perimbangan antara perkembangan hi-tech (teknologi tinggi) dengan kebutuhan akan hi-touch (kehangatan hubungan sosial). Disamping itu kita juga menyaksikan pula gejala “global paradox” dimana arus globalisasi yang dijiwai oleh rationalisme telah ditandingi oleh arus tribalisasi yang dijiwai oleh tradisi atau nilai-nilai primordialisme yang irasional.
Manusia memang mahluk yang memiliki kemampuan adaptasi yang besar terhadap perubahan, bahkan manusia adalah pencipta perubahan yang utama, akan tetapi manusia juga mahluk yang membutuhkan dan selalu mencari equilibrium (Parsons, l952), karena hanya dalam kondisi itulah mereka dapat melangsungkan hidupnya dengan nyaman.
Sementara itu para sosiolog sendiri juga dengan sigap mulai mengadaptasi perkembangan yang radikal ini . Banyak karya pemikiran sosiologi yang telah siap untuk merubah unit analisanya dari masyarakat lokal atau nasional menjadi global (the sociology of globalization). Oleh karena itu sebagai seorang sosiolog saya tidak akan ikut panik dan meninggalkan ilmu ini, saya mengambil posisi bahwa betapapun cepatnya perubahan teknologi yang terjadi dan betapapun banyaknya konsep sosiologis yang menjadi usang karena perubahan pola kehidupan manusia, adalah masih lebih baik menggunakan kerangka berpikir sosiologis daripada sekedar mengunakan akal sehat. Lebih dari itu kita justru semakin perlu mendayagunakan analisis sosiologi sebagai landasan suatu perencanaan sosial. Karena kita tidak boleh menyerah kepada perubahan tetapi harus mengelolanya dan mengendalikannya demi kemaslahatan umat manusia.
Sebagai ilmu yang telah cukup tua, sosiologi mampu membantu manusia untuk memberikan pencerahan berpikir untuk memahami situasi sosial dan tindakan sosial, bahkan sosiologi juga dapat membantu manusia menerobos penglihatan commonsense sehingga mampu membuka tabir – tabir mitos yang sering memenjarakan pikiran manusia. Disamping itu konsep-konsep sosiologi mampu membantu kita melakukan identifikasi secara lebih sistematis dan obyektif masalah-masalah sosial disekitar kita dalam rangka mencari pemecahannya.
Sebagaimana dialami oleh ilmu-ilmu sosial lainnya, pada jaman perkembangan teknologi dan pembangunan ekonomi yang pesat ini, sosiologi sering dianggap tidak terlalu dibutuhkan, karena diasumsikan bahwa masyarakat dengan kebudayaannya akan serta merta mengikuti arus perubahan yang dituntut oleh perkembangan teknologi dan ekonomi, ada atau tanpa sosiolog, ada atau tanpa perencanaan sosial.
Pemerintah rejim komunis di Uni Soviet menganggap sosiologi tidak berguna bahkan sifat analisisnya yang cenderung kritikal dianggap berbahaya. Para sosiolog negeri itu dibatasi ruang geraknya dengan penutupan lembaga pendidikan yang mengajarkan sosiologi. Para sosiolog yang masih bertahan harus membungkus pemikiran sosiologisnya dengan retorika komunisme.Tetapi dibawah Gorbachev, pada tahun 1988 sekonyong-konyong Partai Komunis Soviet mendeklarasikan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang diberi prioritas secara nasional. Pemimpin Soviet itu membutuhkan suatu studi ilmiah mengenai pendapat umum, birokrasi, penyimpangan sosial, kontrol sosial, mobilitas sosial dsb. untuk mendukung gerakan perestroika (semacam otonomisasi) dan glasnost (keterbukaan) yang sedang digulirkannya. Ketua Ikatan Sosiologi Sovietpun diangkat menjadi penasehatnya (Bassis,1991).
Oleh karena itu pesan untuk millennium III adalah “keadilan dan anti kekerasan”. Ini adalah suatu pesan moral, karena krisis umat manusia adalah pada aspek moral. Ditengah perkembangan peradabannya, umat manusia masih berkubang dalam naluri dasar “kebiadabannya” yaitu “kekerasan” (violence).Ilmu pengetahuan yang berkembang amat pesat pada millennium II ternyata lebih banyak mengembangkan rasionalitas namun tidak membela nilai-nilai (moral, etika dsb.).
Huntington (1996) bahkan berteori bahwa setelah perang ideologi antara komunisme dan kapitalisme berakhir, justru akan muncul “the clash of civilization”.(perang antar peradaban). Dasar dari permusuhan antar “peradaban” itu menurut Huntington justru “basic instinct” manusia yaitu “kebencian” dan “rasa permusuhan” terhadap golongan lain yang berbeda identitasnya. Seperti tercermin dalam motto:”There can be no friends without true enemies” atau: “ Unless we hate what we are not, we cannot love what we have” . Tanpa musuh bersama kita tidak dapat mencintai teman kita sendiri. Manusia ternyata lebih mudah digerakkan oleh kebencian daripada kasih saying.
Pengertian Civil Society dan Masyarakat Adab.
Sedikit atau banyak, konsep masyarakat adab yang saya gunakan adalah terkait dengan konsep civil society. Konsep ini sebenarnya sudah lama, berasal dari kata societas civilis atau “political society”. Tekanan konsep ini lebih kepada hubungan antara pemerintah dan rakyat, negara dan masyarakat
Karena bidang politik pada masa lalu selalu dikaitkan dengan negara (lihat Locke, Rousseau, Kant), maka muncul konsep civil society sebagai arena bagi warga negara yang ingin aktif dalam politik. Tetapi lebih luas lagi konsep ini sering juga dikaitkan dengan “peradaban masyarakat” (civilization) yaitu suatu kwalitas kebudayaan masyarakat yang ditandai oleh supremasi hukum.
Antonio Gramsci memiliki pendapat berbeda, ia justru melihat bahwa civil society bisa digunakan sebagai “alat” dari negara untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan budaya ( “the manufacture of consent”). Ini merupakan suatu “politik kebudayaan (“cultural politics”). Pranata-pranata yang dapat digolongkan dalam “civil society” misalnya: sekolah, gereja, organisasi buruh melalui mana kelas yang berkuasa sering melakukan hegemoni terhadap masyarakat, walaupun menurut Gramsci lembaga-lembaga itu sekaligus juga dapat menjadi sumber kekuatan yang menantang hegemoni itu sendiri.
Pada dekade yang penuh radikalisme antara tahun 60an dan 70an, kekuatan civil society yang beroposisi terhadap penguasa tetapi tidak ingin menggunakan kekerasan memilih menggunakan strategi gerilya budaya. Daerah perjuangan mereka terutama adalah bidang pendidikan dan kebudayaan.
Di Eropa Timur dan Tengah konsep ini juga marak lagi pada tahun 70 dan 80an. Para penentang penguasa menggunakan konsep ini untuk melawan totalitarianisme negara. Gerakan Solidaritas di Polandia misalnya melakukan perlawanan pada pemerintah bukan dengan kekerasan tetapi menciptakan lembaga-lembaga civil society sebagai “parallel society” (masyarakat tandingan). Dalam pengertian ini civil society adalah suatu kombinasi yang transenden antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum yang memperjuangkan penguatan posisi masyarakat terhadap negara.
Apapun bentuk tindakannya, yang pasti konsep itu menyangkut suatu ruang gerak masyarakat yang berada diluar negara. Disinilah warga negara dapat terus menerus mengembangkan kemandirian diluar institusi negara yang nantinya merupakan landasan bagi terwujudnya pranata politik formal (misalnya partai politik).
Konsep civil society harus ditanggapi secara kritis. Penekanannya pada “rule of law” misalnya, masih perlu diberikan catatan. Law (hukum formal) yang hanya berlandaskan otoritas legal – rational ternyata tidak selalu mampu melindungi nilai-nilai moral, sehingga penegakkan hukum tidak secara otomatis berarti penegakkan moral. Hukum didalam peradaban modern yang semakin individualis sering lebih menekankan pada “hak individu” daripada “kewajiban pada masyarakat umum”, sehingga para praktisi hukum dengan keahliannya dapat saja membebaskan seseorang bersalah dari jerat hukum walaupun harus melukai rasa keadilan dalam masyarakat. Padahal secara sosiologis, hukum formal hanya merupakan salahsatu saja dari berbagai norma yang ada di masyarakat, maka rakyat kelas bawah yang tidak dapat “membeli keadilan” akan cenderung menggunakan norma lain diluar hukum yaitu “kekerasan” (pembakaran, perusakan dsb.). Bentuk-bentuk “law disobedience” seperti inilah yang telah menghasilkan anarki di masyarakat kita akhir-akhir ini.
Konsep civil society yang menekankan persoalan hubungan masyarakat dan negara sebagai suatu otoritas politik nampaknya perlu dilengkapi dengan unsur-unsur moral yang ditujukan bagi hubungan antar warga masyarakat itu sendiri.
Kekecewaan akan peradaban modern telah menghasilkan suatu impian untuk menciptakan suatu masyarakat baru dengan moralitas baru (lihat misalnya Giddens dalam The Third Way 1998, Etzioni dalam “The Spirit of Community “1993, Robert Bellah dalam “The Good Society” 1992).
Robert Bellah (1984), seorang sosiolog Amerika Serikat juga lebih menekankan pentingnya kebangkitan moral baru yang mampu melandasi pranata sosial dan menghasilkan hubungan sosial yang lebih baik antara masyarakat dan negara maupun antar warganegara sendiri. Ia mengatakan bahwa semua kejadian-kejadian yang telah merendahkan martabat manusia adalah hasil dari pilihan-pilihan kita (social choices) yang kemudian kita bakukan dalam pranata sosial. Untuk merombaknya perlu dilakukan suatu pemilihan-pemilihan yang baru, ini membutuhkan suatu system nilai, karena semua pilihan memiliki landasan moral dan etika.
Menganalisa paranata-pranata sosial berarti mempertanyakan: “bagaimana kita seharusnya hidup?” dan “ Bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?”. Praranata-pranata sosial yang telah mengatur bagaimana kita hidup ternyata berjalan kurang baik atau tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya tidak kita inginkan (ideal values). Jadi ideal values hanya tersimpan dalam khasanah budaya kita, tetapi tidak secara efektif mengatur perilaku kita di dalam pranata sosial yang ada.
Bellah menggambarkan bahwa nafsu menghancurkan pada manusia di jaman modern ini sampai pada taraf menghancurkan diri mereka sendiri – misalnya bila terjadi perang nuklir – karena masyarakat dunia telah menjadi suatu komunitas besar yang saling bergantung. Di masyarakat kita saat ini konflik antar komunitas (antar kampung antar suku, ras) juga suatu tindakan yang mampu menghancurkan kedua belah pihak yang berkonflik. Betapa nikmatnya pelampiasan kebencian sehingga rela dibayar dengan kehancuran diri sendiri! Maka jadilah kita suatu “self destroying society”. Bila kaum beragama telah ikut menikmati konflik semacam ini maka terjadi suatu kesalahan besar pada perilaku beragama pada masyarakat kita (bukan pada ajarannya).
Mengingat saling ketergantungan antar kelompok dan bangsa akan semakin dekat dengan adanya perkembangan teknologi, maka menurut Lippman perubahan sikap moral manusia menuju “good society” secara teoritis menjadi lebih meyakinkan dan lebih diperlukan. Menuju masyarakat komunitarian bukan lagi suatu keinginan yang idealistis tetapi kebutuhan yang realistis dan bahkan strategis. Bahkan bangsa Amerika yang besar dan jaya ingin mentransformasi dirinya dari great society menjadi good society.
Pada hakekatnya good society bernafaskan azas komunitarian, tetapi Bellah lebih suka mengunakan konsep “good society” daripada “communitarian society” karena banyak yang mengartikan komunitas hanya merupakan kelompok yang kecil dan bersifat tatap muka, sehingga sikap komunitarian dituduh anti negara, anti ekonomi dan struktur sosial yang lebih luas. Konsep itu sendiri berasal dari Walter Lippman (l937).
Kekecewaan terhadap masyarakat Amerika yang sebetulnya telah memiliki banyak ciri civil society, juga diungkapkan oleh seorang sosiolog terkenal negeri itu yakni Amitai Etzioni (l993). Masyarakat AS, menurut Etzioni, perlu mengimbangi nilai keakuannya (individualisme) yang telah berakar pada budaya mereka dengan nilai-nilai ke-kitaan yang bersifat komunitarian artinya kekitaan yang tidak menindas keakuan. Dengan kata lain adanya keseimbangan antara hak (yang berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yang berorientas pada hak orang banyak).
Etzioni menyadari terbentuknya masyarakat komunitarian hanya dapat terwujud melalui suatu gerakan sosial yang sistematis. Itulah sebabnya dia bersama-sama kelompoknya mencanangkan kebulatan tekad gerakan “komunitarian” sbb:
Semua itu adalah inti dari sikap moral komunitarian yang ditawarkan oleh Etzioni, yakni kesepakatan manusia modern untuk menciptakan moral baru, kehidupan sosial, dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan kembali nilai “kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan.
Etzioni mengingatkan bahwa di masyarakat demokratis liberal sering muncul suatu gejala “a strong sense of entitlement” yaitu sikap warga negara yang menuntut hak-hak dari pemerintah tanpa diimbangi oleh kesediaan menerima kewajiban.
Rakyat Indonesia yang sejak masa penjajahan sampai masa Orde Baru selalu dilecehkan hak-haknya oleh pemerintah dan negara, dalam masa reformasi ini sekonyong-konyong juga mengidap gejala “strong sense of entitlement” yaitu cenderung menuntut haknya (bila perlu secara paksa dan kekerasan) tetapi segan menerima kewajiban bagi kepentingan umum.
Semangat mengembangkan moral baru bagi dunia modern yang telah mengalami kegagalan ini juga nampak dari pemikiran Giddens dalam “The Third Way” dimana ia memperjuangkan demokrasi sosial yang berintikan solidaritas, kesamaan dan keamanan serta peran aktif negara.
Konsep masyarakat adab yang saya maksudkan dalam pidato ini pada dasarnya mencakup konsep civil society tetapi bukan sekedar memberikan posisi warganegara yang lebih mandiri terhadap negara, bukan saja demokrasi yang hanya menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi terutama menekankan pada pembenahan moral hubungan antar warga negara itu sendiri. Penanaman nilai kerukunan antar warga negara yang menghasilkan kepedulian terhadap semua warga dan nasib seluruh bangsa (sikap komunitarian).
Dari berbagai penerjemahan kata civil society yang kita kenal di Indonesia seperti “masyarakat sipil”, “masyarakat warga”, “masyarakat madani” dan “masyarakat adab”, saya memilih yang terakhir karena memiliki nuansa yang lebih besar terhadap pembenahan peradaban masyarakat kita yang masih menyimpan unsur paling irasional dan paling menghambat perjalanan kita menjadi bangsa beradab yaitu “kebencian tersembunyi (cultural animosity)” antar kelompok primordial.
Masyarakat adab yang kita cita-citakan tentu tidak cukup hanya menjadi sekedar wacana, ini harus menjadi suatu komitmen moral. Uraian dibawah ini adalah hasil dari apa yang pernah saya pikirkan, diskusikan bersama rekan-rekan saya di jurusan sosiologi selama sepuluh tahun terakhir ini. Hasil itu kini sedang menunggu proses legalisasi (Surat Keputusan) untuk menjadi dokumen resmi.
Membangun masyarakat adab tentu bukan tugas dan tanggungjawab pemerintah saja. Ada banyak kekuatan besar lain yang perlu berperan secara harmonis seperti organisasi masyarakat (LSM), organisasi politik, para pengusahan swasta, perguruan tinggi dan kaum professional lain. Suatu kekuatan yang tak kalah penting adalah Masyarakat (terutama dalam satuan-satuan komunitas), karena pada akhirnya semua warga kota adalah warga dari suatu komunitas. Merekalah kelompok yang paling berkepentingan dengan segala hasil pembangunan . Akan tetapi pada masa transisi yang masih serba kemelut ini peran pemerintah amat penting terutama sebagai inisiator kemudian sebagai fasilitator (empowerment) dan regulator.
Membangun masyarakat adab pada dasarnya adalah suatu pembangunan aspek sosial budaya karena yang dibangun adalah pranata sosial yang berunsurkan system nilai dan norma sehingga dapat membentuk pola perilaku dan hubungan sosial yang diinginkan. Oleh karena itu langkah utama yang perlu dilakukan pemerintah DKI adalah menyususn suatu Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya.
RUPSB bukan dimaksud untuk mengarahkan dan bahkan membatasi dinamika sosial budaya didalam masyarakat, akan tetapi justru merupakan pedoman kebijakan bagi pemerintah untuk secara konsisten dan terencana memberikan suatu fasilitasi dan menciptakan kondisi yang kondusif pada masyarakat dalam mengembangkan sociability (lihat Achwan, 2001).
Sociability (kecakapan bermasyarakat) adalah suatu kemampuan dari individu-individu didalam masyarakat untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban sosial dalam segala tindakannya, sehingga menghasilkan akivitas untuk kebaikan bersama dalam wujud oganisasi kemasyarakatan yang dibentuk secara sukarela tanpa campur tangan pemerintah. Kemampuan berorganisasi yang merupakan collective intelligence of society ini perlu dikembangkan. Fukuyama mengatakan bahwa kegagalan dan keberhasilan pembangunan politik dan ekonomi suatu negara akan ditentukan oleh kekayaan atau kemiskinan sociability yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan. Rangkaian perkumpulan warga yang mandiri serupa ini merupakan infrastrutur sosial paling berharga untuk menjembatani kepentingan dan aspirasi antara masyarakat dan negara.
Disamping itu sebagai suatu dokumen perencanaan jangka panjang (10 tahunan) dan sebagai suatu produk pemikiran Sosiologi, RUPSB harus bersifat analitikal antisipatif yaitu didasarkan pada analisis situasi (situasional analysis) masyarakat DKI Jakarta secara empirik terutama untuk menemukan gejala sosiologis apa yang dapat mengembangkan atau menghambat berkembangnya masyarakat adab di Jakarta. Melalui hasil analisis sosiologis itulah suatu perencanaan sosial-budaya jangka panjang disusun. RUPSB juga dilengkapi dengan indikator pencapaian yang dapat dijadikan sebagai alat evaluasi dan pemantauan.
Sejak l994 Bappeda DKI bekerjasama dengan Labsosio UI memberanikan diri menyusun dokumen Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya. Walaupun sampai saat ini dokumen tersebut belum memperoleh landasan hukum yang resmi, tetapi telah disosialisaskan dikalangan para staf Pemda DKI dan bahkan kini sedang dipersiapkan SK Gubernur untuk dokumen tersebut.
Analisis sosiologis didalam RUPSB menunjukkan bahwa akar dari berbagai masalah sosial-budaya di kota ini dapat digolongkan kedalam empat masalah dasar yang perlu menjadi perhatian dalam perencanaan pembangunan sosial budaya kota ini.
Masalah Dasar 1 : Kerukunan.
Seperti yang terjadi pada tingkat nasional, gejala cultural animosity juga merupakan masalah yang signifikan bagi kota ini. Rasa permusuhan tersembunyi ini bukan hanya menghasilkan tawuran atau kerusuhan, tetapi bahkan dapat mewarnai pola perilaku politik, serta praktek diskriminasi disegala bidang kehidupan yang dapat mengganggu kehidupan kota dan jalannya pembangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu salahsatu nilai dasar yang perlu dikembangkan melalui RUPSB di kota ini adalah nilai kerukunan.
Kerukunan didalam masyarakat yang kota yang kompleks dan modern ini diekspresikan dalam bentuk munculnya organisasi masyarakat yang terbuka bagi semua golongan. Pemerintah secara intensif harus membantu tumbuhnya gerakan-gerakan masyarakat yang tidak bersifat terbuka bagi semua golongan. Organisasi semacam ini akan dapat menghilangkan kecurigaan, kebencian, dendam, kecemburuan sosial antar kelompok, berkembangnya solidaritas antar kelompok dan terbentuknya sikap mental yang dapat menerima perbedaan.
Sebagai contoh masyarakat Malaysia dengan konsep pembangunan sosial budayanya telah berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture) mengenai kerukunan antar kelompok rasial. Seorang antropolog Malaysia mengatakan bahwa konflik politik sekeras apapun yang terjadi di Malaysia, tidak pernah mengusik kesepakatan ini.
Masalah Dasar 2: Kepedulian
Penduduk Jakarta yang lebih dari 10 juta ini hampir seluruhnya pendatang. Kota ini tidak memiliki dominant culture sebagaimana Bandung dengan budaya sundanya, Surabaya dengan budaya Jawa Timur dan Medan dengan budaya Bataknya, sehingga pada dasarnya sulit mencari platform kesamaan identitas budaya. Stratifikasi secara sosial-ekonomi juga amat kompleks, Sehingga sulit membangun solidaritas. Disamping itu mobilitas sosial amat tinggi sehingga hubungan sosial bersifat transient (sementara), impersonal dan artificial. Kepedulian terhadap sesama warga kalaupun ada amat bersifat particularistik, terbatas pada kelompok primordial mereka (kesamaan daerah asal, suku, agama dsb).
Kepedulian warga kota terhadap pemeliharaan ketertiban kota amat rendah sehingga keteraturan sosial kota mengalami degradasi yang mengkhawatirkan. Kini Jakarta menjadi kota ketiga paling tidak nyaman didunia. Gejala ini dapat berkembang lebih buruk lagi tetapi juga dapat diperbaiki yaitu dengan program penanaman nilai kepedulian secara terencana dan terprogram.
Kepedulian merujuk kepada sikap individu dan kelompok yang merasa ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan diluar dirinya. Sikap mental ini muncul dari kesadaran sistemik artinya menyadari bahwa tindakan seseorang/kelompok dapat menghasilkan akibat negatif ataupun positif pada kelompok lain atau bahkan seluruh kota. Jadi inti dari penanaman nilai kepedulian ini adalah: ”Penanaman kesadaran sistemik yang mampu menghasilkan kohesi, solidaritas sosial dan kerjasama antar warga kota”.
Masalah Dasar 3:Kemandirian
Sistem pembangunan dimasa lalu amat terpusat pada peran pemerintah. “Pembangunan adalah persembahan pemerintah pada rakyat”. Semua organisasi rakyat diseragamkan dan dikooptasi oleh pemerintah agar mudah dikendalikan, akibatnya masyarakat kehilangan sense of organizing dan menjadi “atomistik” yaitu merasa tak punya dukungan organisasi. Semua proyek pembangunan sampai ditingkat RT/RW pun dikontrakkan pada swasta. Hal ini membuat rakyat tergantung pada pemerintah. Semua ini terjadi sampai akhirnya benar-benar disadari bahwa pemerintah tak mungkin mampu mengatasi semua persoalan pembangunan.
Bila pemerintah DKI bertekad memasuki paradigma pembangunan berpusat rakyat (people centered development) serta mengikuti prinsip-prinsip “Reinventing Government”, maka perlu di budayakan nilai kemandirian dikalangan warga kota.
Kemandirian mempunyai dua aspek, internal dan eksternal. Aspek internal adalah kemauan dan kemampuan warga kota untuk mengambil inisiatif, melakukan pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan tanpa menggantungkan diri pada pemerintah termasuk menggalang kekuatan antar warga. Jadi sikap kemandirian tidak boleh diartikan sebagai sikap inklusif, individualis dan tidak mau bekerjasama. Pengembangan kemandirian warga amat tergantung dari sejauhmana pemerintah siap mengalihkan wewenang pelaksanaan pembangunan pada masyarakat. Misalnya pemberian anggaran pembangunan kepada organisasi komunitas (RT/RW) secara “block grant” agar warga setempat dapat merencanakan serta melaksanakan sendiri pembangunan di tingkat komunitas. Dengan cara ini RT/RW diberi wewenang menjadi unit pembangunan, bukan sekedar alat birokrasi kelurahan.
Secara eksternal sikap mandiri adalah sikap yang adaptif, mampu menyesuaikan diri dan memanfaatkan perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungannya dan mampu bersaing dengan kekuatan dari luar. Nilai ini amat penting bagi warga Jakarta bila ingin “survive” dalam era globalisasi. Kenyataannya pada saat ini kemampuan bersaing kita secara internasional amat rendah dan cenderung menurun.
Inti dari program yang perlu dilaksanakan adalah meningkatkan kreativitas pada kaum muda melalui pendidikan di sekolah maupun luar sekolah (Gelanggang Remaja, Lembaga Pengembangan Bakat, Lomba Kreativitas dsb.). Pemberdayaan usaha kecil dan menengah (kredit usaha, pengembangan sumberdaya dan ruang untuk usaha).
Masalah Dasar 4: Demokrasi
Di masa lalu kemajuan Jakarta selalu dihambat oleh konsep penguasa tunggal, bahkan wakil rakyatpun disubordinasikan pada pemerintah. Sekarang wakil rakyat telah memiliki kekuasaan terhadap pemeritah, tetapi lembaga ini belum benar-benar mewakili rakyat. Kekuatan rakyat yang lain (LSM, pers, universitas) juga berkembang tetapi masih mewakili kepentingannya sendiri. Infrastruktur demokrasi telah diturunkan sampai tingkat komunitas dengan adanya Dewan Kelurahan tetapi lembaga inipun masih dikooptasi oleh pemerintah. Kebuntuan untuk menyampaikan aspirasinya secara formal membuat rakyat lebih suka menggunakan aksi-aksi jalanan dan kekerasan.
Demokrasi memang telah akrab ditelinga masyarakat bahkan mereka juga merasa telah melakukan tindakan-tindakan yang mereka anggap demokratis, sementara itu infrastruktur demokrasi juga sudah dibangun tetapi permasalahan mendasarnya adalah nilai-nilai demokrasi belum tertanam secara benar bukan saja ditingkat masyarakat bawah tetapi juga di semua lapisan sosial. Oleh karena itu RUPSB perlu memberikan pedoman perencanaan pada pemerintah dalam rangka menciptakan kondisi yang kondusif agar sikap-sikap demokratis yang mulai muncul di masyarakat tidak dimatikan lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut RUPSB pembangunan Jakarta menuju masyarakat adab harus berlandaskan pada empat nilai dasar yaitu Rukun, Peduli, Mandiri dan Demokrasi. Keempat nilai tersebut harus dilihat sebagai kesatuan. Nilai Rukun dan Peduli mengatur landasan moral dari hubungan horizontal antar warga, sedang Mandiri dan Demokrasi mencirikan format hubungan antara pemerintah dan masyarakat.
Penanaman nilai tidak hanya dilakukan dengan cara memberikan penataran atau penyuluhan, tetapi lebih penting lagi melalui pengembangan lembaga-lembaga yang dapat memfasilitasi dan memberikan kondisi agar nilai-nilai tersebut berkembang. Misalnya memberikan dana pembangunan secara “block grant” pada organisasi RW agar warganya dapat merencanakan dan melakukan pembangunan secara mandiri dilingkungannya. Hal ini secara otomatis akan dapat mendorong kerjasama antar warga di tingkat komunitas sehingga menumbuhkan kerukunan dan kepedulian antar warga dari berbagai agama, suku, kelas sosial dsb. Bila organisasi ditingkat komunitas berkembang menjadi kuat maka kemandirian warga akan meningkat dan demokrasi akan berkembang lebih baik.
RUPSB memegang prinsip bahwa setiap lembaga atau organisasi memiliki kemampuan mendidik baik ketrampilan maupun nilai-nilai. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan bukan intruktif atau verbal (dengan kata-kata) tetapi melalui organisasi.
Pemulihan kepercayaan
Usaha yang terprogram untuk menanamkan keempat nilai itu harus dilakukan secara konsisten oleh Pemda DKI dengan mengikutsertakan partisipasi dari seluruh kekuatan masyarakat. Akan tetapi dalam kondisi yang serba tidak menentu saat ini dimana tingkat kepercayaan (social trust) antara masyarakat dengan pemerintah dan antar masyarakat itu sendiri, maka perlu digelar suatu program pemulihan kepercayaan. Unsur-unsur program ini diadaptasi dari program pemulihan kepercayaan yang diterapkan pada masa reformasi di Polandia yang diajukan oleh seorang Sosiolog Piotr Tzompka, unsur-unsur itu adalah sbb:
1. Mencanangkan Arah Reformasi Jakarta
Di awal era reformasi ini perlu dirumuskan kepastian arah reformasi Kota Jakarta secara jelas dan tegas kepada seluruh masyarakat. “Jakarta Baru” yang dicita-citakan harus dipikirkan dan dirumuskan oleh Pemda bersama tokoh masyarakat, pemimpin agama dan para pakar lalu diputuskan oleh DPRD. Penjabaran arah reformasi ini perlu disosialisasikan dan dikomunikasikan secara luas dan efektif ke seluruh lapisan masyarakat sebagai suatu pedoman kontrol sosial terutama bagi pemerintah daerah.
2. Melaksanakan secara konsisten prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Semua tindakan Pemerintah, swasta maupun perorangan yang menyangkut kepentingan umum harus dapat dikontrol oleh masyarakat (transparan) dan dapat ditanggung-gugat secara hukum (akuntabel). Upaya ini perlu dimulai dari pihak yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi. Sebagai contoh pengumuman kekayaan pejabat birokrasi yang diaudit oleh lembaga independen (Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat) akan meningkatkan rasa percaya publik pada pejabat yang bersangkutan.
3. Menegakkan Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Warga
Kota
Akhir-akhir ini rasa aman warga kota sangat merosot, hal ini bukan hanya disebabkan karena kondisi kota memang kurang aman, tetapi sumber ketidak-amanan seringkali adalah ketakutan di tingkat persepsi, sehingga banyak terjadi ketakutan yang berlebihan. Semua ini merupakan gejala krisis kepercayaan pada perlindungan hukum. Tidak beraninya investor menanamkan modal, banyaknya orang membeli sejata api, pembangunan tembok tinggi di rumah-rumah mewah dsb. adalah gambaran ketakutan di tingkat atas, sedang ketidakpercayaan pada kepastian hukum ditingkat bawah cenderung akan menciptakan apatisme terhadap ketertiban dan bisa menjadi benih dari anarkisme serta mendorong munculnya kelompok-kelompok preman yang memanfaatan situasi tersebut.
Kurangnya sarana dan prasarana hukum dan keamanan dapat menghasilkan fear of crime bagi keselamatan jiwa maupun kepastian berusaha. Pemberian imunitas dan impunitas bagi mereka yang bersalah juga akan merugikan proses terbentuknya kepercayaan pada supremasi hukum.
4. Penerapan Konsep Pembangunan Berbasis Komunitas
Salah satu sumber ketidak percayaan rakyat pada Pemda adalah karena kegiatan pembangunan sebagian besar ada ditangan Pemda, sehingga segala kekurangan dan ketidakberesan pembangunan akan terus ditimpakan pada citra Pemda dan aparaturnya. Untuk memulihkan kepercayaan ini Pemda harus memberikan kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat untuk menjalankan peran nyata dalam pembangunan.
Salah satu basis dimana warga dapat berpartisipasi dalam pembangunan adalah komunitas, untuk itulah maka organisasi di tingkat komunitas (RT/RW, Dewan Kelurahan, serta organisasi akar rumput lainnya) perlu dihidupkan dan difungsikan agar komunitas siap menjadi unit pelaku pembangunan yang dapat diandalkan.
Sebagai catatan, walaupun organisasi RT/RW merupakan bentukan pemerintah, namun kiranya masih perlu dipertahankan, karena bila pada masa sekarang ini organisasi komunitas tersebut dibubarkan dan diserahkan pada masing-masing kelompok atau individu membentuk organisasinya sendiri, maka akan terbentuk organisasi-organisasi yang sifatnya primordial dan eksklusif, sehinga kelompok minoritas akan terpinggirkan, ini justru dapat membatasi partisipasi seluruh warga ditingkat komunitas.
5. Peningkatan Pelayanan Publik Secara Inovatif
Cara efektif lainnya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Pemda dalam waktu yang relatif singkat adalah dengan cara memperbaiki mutu pelayanan publik. Itikad Pemda DKI untuk meningkatkan pelayanan harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku nyata para pegawainya dalam melakukan pelayanan pada masyarakat.
Di samping perubahan sikap dalam pelayanan, diperlukan juga suatu pengembangan pusat-pusat pelayanan yang lebih menyebar di berbagai tempat. Melalui perubahan sikap dan mutu pelayanan dari aparat di ujung tombak ini, kepercayaan pada pemerintah Daerah diharapkan dapat dipulihkan dalam waktu relatif cepat.
Tindakan di atas pada dasarnya harus diprakarsai oleh Pemda terlebih dahulu, sehingga tercipta kondisi yang dapat mendorong atau memaksa kelompok swasta dan masyarakat luas mengikuti pola itu, karena krisis kepercayaan tidak hanya terhadap Pemda saja tetapi juga pada dunia swasta dan antar anggota masyarakat .
Laboratorium Sosiologi saat ini juga sedang membantu Pemda DKI Jakarta untuk mengembangkan pola perencanaan yang benar-benar bottom-up, berbagai mekanisme sedang dikembangkan untuk menyerap aspirasi rakyat dari segala lapisan. Akan tetapi suatu pembangunan kota tidak dapat diarahkan hanya oleh keinginan masyarakat yang bersifat kasat mata dan sesaat. Pemerintah kota perlu memiliki rencana pembangunan kebutuhan yang tak terumuskan oleh rakyat kebanyakan tetapi memiliki nilai-nilai strategis bagi berlangsungnya kota sebagai suatu system sosial, kebutuhan-kebutuhan yang bersifat visioner inilah yang perlu dirumuskan dalam RUPSB.
Program pemulihan kepercayaan perlu diberi prioritas karena ini adalah usaha penciptaan kondisi yang kondusif terhadap proses penanaman keempat nilai dasar. Secara skematis langkah RUPSB dapat digambarkan sbb:
RUPSB merupakan tonggak yang menandakan komitmen pemda terhadap pembangunan aspek sosial budaya yang sejak dulu tidak pernah dianggap penting. RUPSB harus menjadi rujukan dokumen perencanaan dibidang lain seperti Rencana Umum Pembangunan Ekonomi (RUPE) serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan rencana strategis Gubernur. Dengan merujuk RUPSB, DPRD akan dapat melakukan evaluasi secara sistematis dan substantif terhadap kinerja eksekutif dibidang pembangunan sosial budaya.
Semoga langkah pionir DKI ini dapat diikuti oleh Propinsi serta Kabupaten lain di Indonesia dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunannya di era otonomi ini.
IV. Penutup
Membangun masyarakat adab memang bukan persoalan yang bisa diurai dalam naskah pidato sependek ini. Disamping penjelajahan saya terhadap konsep masyarakat adab itu sendiri masih amat dangkal, saya pun menyadari bahwa RUPSB dimana saya terlibat dalam penyusunannya masih amat jauh dari memadai.
Namun bagaimanapun, perkenankan saya pada penutupan pidato ini untuk secara khusus mengungkapkan rasa terima kasih saya yang amat dalam pada seluruh staf Pemda DKI yang secara langsung maupun tidak langsung ikut terlibat dalam memberikan kesempatan, kemudahan dan kepercayaan profesional pada saya selama lebih dari sepuluh tahun terutama ketika saya memimpin Laboratorium Sosiologi untuk dapat merealisasikan impian-impian sosiologis saya dalam pembangunan kota Jakarta yang tercinta ini. Mari kita lanjutkan impian kita dan membuat sekurang-kurangnya sebagian dari impian itu menjadi nyata.
Sumber: http://pauluswirutomo.blogspot.com/2013/11/membangun-masyarakat-adab-suatu.html