Sistem keuangan yang inklusif memungkinkan akses yang luas terhadap jasa keuangan, untuk membantu golongan miskin dan kelompok yang kurang beruntung.
Saat ini, masyarakat yang belum tersentuh jasa layanan keuangan masih tergolong tinggi.
Hasil survei World Bank (2010) tercatat hanya 47 persen dari total masyarakat penabung dan 17 persen dari total masyarakat peminjam.
Sedangkan data Global Financial Inclusion Index 2011 Jumlah orang dewasa yang memiliki account di Bank hanya 19,6 persen.
Jumlah tersebut rendah yang berakibat rasio deposit terhadap GDP rendah dan loan/DDP terendah di kawasan regional.
“Sistem keuangan yang inklusif memungkinkan akses yang luas terhadap jasa keuangan, untuk membantu golongan miskin dan kelompok yang kurang beruntung,” kata Ekonom CIDES Umar Juoro saat Media Workshop “Financial Inclusion – Peluang dan Tantangan Pembiayaan Mikro 2014, di Semarang, Rabu (22/1).
Ditegaskan, sistem keuangan melayani masyarakat yang berfungsi baik sangat penting seperti tabungan, kredit, pembayaran dan pengelolaan risiko.
Menurut Juoro, tanpa sistem keuangan yang inklusif, golongan miskin harus bergantung pada tabungannya yang sangat terbatas untuk membiayai pendidikan atau menjadi wiraswasta.
Sedangkan UKM dan mikro harus bergantung pada pendapatannya yang minimal sehingga sulit untuk memanfaatkan peluang untuk berkembang.
“Penetrasi pembiayaan ke pelaku UMKM khususnya mikro sangat rendah” ujar Umar yang juga Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI).
Hal tersebut terlihat data Bank Indonesia (BI) 2012,pembiayaan bank ke sektor UMKM 526,4 triliun rupiah atau sekitar 19 persen.
Sedangkan data kementerian Koperasi dan UKM mencatat dari total PDB 2012,sektor UMKM sekitar 59 persen dari keseluruhan PDB di Indonesia.
Dari kategori tersebut usaha mikro merupakan 90 persen dari jumlah unit usaha dan sisanya pelaku usaha menengah dan kecil. Sehingga UMKM memainkan peranan sangat penting dalam perekonomian.
Untuk itu dibutuhkan inovasi sangat dibutuhkan, agar keuangan inklusif bisa berjalan. Terbukanya akses masyarakat kepada jasa layanan keuangan, meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan.
”Bank sering melihat sektor mikro terlalu berisiko dan berbiaya tinggi,” katanya.
Daya Head Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Tbk, David Freddynanto mengatakan, pihaknya fokus dan konsisten menggarap pasar masyarakat berpenghasilan rendah serta usaha mikro dan kecil (mass market).
” Mass market bukan hanya membutuhkan akses keuangan melainkan juga pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas mereka agar usahanya tumbuh secara berkelanjutan,” tegas David.
Dijelaskan, BTPN mengembangkan program daya yakni program pemberdayaan market, yang diterapkan pada empat bisnis, yakni BTPN purna bakti, BTPN Mitra Usaha Rakyat, BTPN Syariah, BTPN Sinaya.
” Melalui program daya BTPN, nasabah memiliki akses finansial dan memiliki kemampuan untuk mengelola keuangan serta menumbuhkan usahanya,” tandasnya. [142]