Ungkapan itu patut disematkan pada Paulus Dua Ladjar. Bagaimana tidakpria kelahiran Lembata, 23 April 1938 itu, dalam usia 75 tahun masih terus melakukan aktivitas sosial membantu dan mendampingi masyarakat miskin. Bila laki-laki lain seusianya telah pensiun dari segala aktivitas, Paulus tetap bersemangat keluar masuk kampung menemui kelompok doa yang dibentuknya sejak 1992. Jarak yang jauh bukan hambatan baginya. Ia biasa naik angkutan umum, ojek, bahkan berjalan kaki, menuju kampung yang dituju. Kegiatan itu dilakukan setiap hari, dari pagi hingga malam. Tubuhnya yang tinggi besar, tetapi telah dimakan usia tidak mengurangi akivitasnya bergerak.
Sebagai bekas kepala personalia di Kantor Kanwil Agama, Kupang, kehidupan ekonomi Paulus tergolong memprihatinkan. Rumah tempat tinggalnya yang merupakan wakaf sahabatnya, ditarik kembali oleh ahli waris. Namun, ia pasrah dengan takdir itu dan mengalah. Ayah 8 anak itu memilih tinggal di rumah kos daripada bergabung dengan anak-anaknya. Ia hanya menitipkan semua berkas atau arsip Yayasan Abdi Bangsa di rumah putrinya.
Kelompok doa ke kelompok ekonomi
Sejak muda, Paulus memang telah tertarik pada kegiatan sosial dan aktif berorganisasi. Namun, kegiatan sosial sepenuhnya digeluti sejak masuk masa pensiun. Paulus mulai membentuk Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik St, Yoseph Naikoten pada 1996. Anggotanya adalah ibu-ibu rumah tangga dengan pendidikan dan tingkat ekonomi rendah. Satu ayat pada kitab injil menjadi pegangan dalam membina kelompoknya. “Barang siapa yang mau berbuat baik pada saudaranya yang paling hina, maka mereka pasti akan berbuat baik kepadamu”.Paulus pun menerapkan dengan berbuat baik. Kelompok doanya pun berklembang sehingga mencapai 10 kelompok. Lima di Kota dan 5 di Kabupaten Kupang
Pada 2007 alumnus Fakultas FISIP Undana, Kupang, membentuk kelompok ekonomi. Paulus berpikir, “ Bila doa bagus, tetapi ekonomi tidak bagus, maka kelompok tidak bisa jalan. Ia pun membentuk Yayasan Abdi Bangsa. Ia pun mengarahkan kelompok doa itu juga menjadi kelompok ekonomi, yaitu Bintang Kejore Oebelo pada November 2010. Paulus mendorong anggota mengolah makanan. Sedangkan yang sudah mempunyai usaha, didorong agar lebih giat berusaha, contoh: tenun kain dan catering
Pada 2008, FAO masuk ke daerahnya dan menawarkan bantuan teknis di kelompok doanya di Oebobo. Kupang Tengah. Bahan makanan yang diolah ialah: abon ikan, abon jantung pisang, dendeng ikan, pilus udang, abon dan dendeng sapi, keripik pisang dan singkong, stick labu,garting jantung pisang dan pepaya, dan manisan asam. Kelompok itu kemudian diberi berbagai pelatihan pembuatan abon di Surabaya, dan pengemasan di Denpasar. Kini produk abon ikan rutin dibuat sebagai oleh-oleh khas Kupang,
Pada awalnya, selain memberi dukungan moril, Paulus pun memberi bantuan materi, terutama pada anggota kelompok tuna netra Rp 300.000 per orang. Namun, karena ekonomi sulit, tidak jarang bantuan modal itu dipakai buat makan. Tapi saya maklumi karena hidup mereka sengsara. “Cita-cita saya, ingin membuat perkampungan orang buta. Semoga Bina Swadaya dan Bapak-bapak di Jakrata bisa membantu.
Motivator dan mediator
Ke sepuluh kelompok binaannya dikunjungi secara rutin secara bergilir. Mereka menyanyikan kidung puji-pujian dan doa secara bergiliran. Setelah itu, Paulus memompa semangat anggota dan memberi masukan-masukan.Berkat kedekatan dengan pejabat di daerahnya, kelompok binaan Paulus kerap mendapat kesempatan mengikuti pelatihan: manajemen organisasi, kelembagaan. Yang menarik, dari 30 peserta, 6 orang di antaranya tuna netra. Di daerahnya, memang cukup banyak tuna netra. Karena itulah ia bercita-cita membuat perkampungan tuna netra.
Yayasan dan Koperasi
Untuk kelancaran usaha anggota, pada 2011, lewat Yayasan Abdi Bangsa, Paulus Dua Ladjar membentuk Koperasi Simpan Pinjam Pusaka (Pusat Sandaran Keluarga). Lantaran pengumpulan iuran tersendat, maka baru pada Juli 2013 fungsi koperasi sebagai simpan pinjam dapat terlaksana.Semua anggota kelompok doa binaan Paulus terdaftar pula sebagai anggota koperasi.Perayaaannya dihadiri dan diresmikan oleh Drs. Frans Lebu Raya, Gubernur Nusa Tenggara Timur. Pada kesempatan itu, segala urusan perizinan selesai pada hari itu.
Pada awalnya, anggota koperasi berjumlah 42 orang. Kini anggota koperasi mencapai 100 jiwa. Anggota menyimpan Rp200.000 sebagai simpanan pokok, dan Rp10.000 simpanan wajib perbulan. Simpanan pokok dapat dicicil sesuai kemampuan, bahkan dapat dilakukan secara berkelompok
Dalam waktu 4 bulan, omzet koperasi mencapai Rp30-juta. Anggota dapat meminjam hingga Rp450.000 dan dicicil 10 kali dengan bunga 2%. Dalam usia 4 bulan, omzet koperasi mencapai Rp30-juta. Dengan adanya koperasi, aktivitas usaha anggota kelompok mulai bergulir. Untuk menjalankan koperasi, Paulus dibantu oleh sekertaris Yayasan Abdi Bangsa, Baptista sebagai pelaksana harian.
Agar semua anggota kelompok terlayani, maka saat kunjungan doa, seluruh keperluan administrasi koperasi dibawa pula sehingga yang mau bayar cicilan atau mau meminjam dapat terlayani
Kendala-kendala
Pendidikan rendah menjadi kendala utama dalam pengembangan kelompok. Anggota kelompok sangat banyak yang buta hurup. Tidak bisa membaca dan menulis. Mereka amat lambat menyerap teknologi yang diajarkan.Sebagai kegiatan sosial, kelompok binaan Paulus tidak lepas dari kendala. Setiap ada pesta di kampung, maka pertemuan ditunda. Padahal di daerah itu cukup banyak pesta. Pemasaran yang belum lancar pun menjadi kendala yang kerap menurunkan semangat anggota dalam berusaha.
Testimoni
Agustina Wokal (Oebelo, Kupang Tengah). :“Saya salut pada Pak Paulus. Ia sudah tua (75 tahun) tetapi masih energik. Desa mereka (penenun) di Rakname. Itu jauh dari Kupang dan lokasinya sulit ditempuh dengan angkutan umum. Tapi Paulus tetap masih aktif mendatangi kelompok itu. Apalagi ia datang sendiri dengan kendaraan umum dengan biaya sendiri”
Casalpina Prada, Kelompok Nauru (Kupang Timur): “Dulu pemasukan kami hanya dari pertanian yang sangat sedikit hasilnya. Tidak cukup untuk makan sehari-hari. Kami pun menenun, tapi tidak terjual. Sejak bergabung dengan kelompok dampingan Pak Paulus, kain tenun kami sudah sering dibeli orang, meski hanya 1—2 lembar per bulan”