Darpius Indra memprakarsai pembentukan sedikitnya 12 organisasi di Nagari Cerocok Anau Ampang Pulai, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Organisasi-organisasi itu semuanya ditujukan untuk memberdayakan nelayan di wilayah kanagarian tersebut sejak tahun 2004.
Darpius memulainya dengan mengorganisasi kelompok pemuda dalam wadah Pemuda Mandiri Cinta Bahari (PMCB). Pilihannya pada kelompok muda didasari alasan logis. ”Pemuda itu energik, pemberani, tanpa pamrih. Merekalah yang bisa mengubah nasib keluarga. Mereka yang akan mengambil alih tongkat kepemimpinan sebagai kepala keluarga,” katanya.
Dari kelompok itu kemudian dilakukan pembagian berdasarkan spesialisasi tertentu. Misalnya, kelompok nelayan keramba jaring apung, nelayan tambak, nelayan penyelam, pengolahan, dan kelompok simpan pinjam.
Selain itu, terbentuk juga kelompok nelayan kolam air tawar, usaha pengasapan ikan, pengawas masyarakat kegiatan perikanan dan pertanian, pekerja bongkar muat kapal, pekerja transportasi, serta kelompok pengelola air bersih.
Khusus untuk kelompok simpan pinjam, semua pengelolanya perempuan. Berdasarkan pengalaman subyektif Darpius, keputusan itu didasarkan kemampuan pengelolaan keuangan yang cenderung lebih teliti.
Sementara kelompok transportasi melayani bongkar muat, terutama pada Selasa dan Jumat yang merupakan hari balai atau hari pasar. Beragam komoditas perikanan dan hasil bumi, seperti pinang dan pala, diangkut dari pelabuhan di wilayah kanagarian itu.
Kelompok PMCB mengelola kegiatan yang terkait dengan pelestarian lingkungan bahari, di antaranya penyelamatan hutan mangrove dan budidaya ikan di tambak payau.
Ia beranggapan, beraneka jenis kelompok itu memang harus diorganisasi dalam sebuah wadah karena beragamnya aktivitas warga sehari-hari. Darpius juga mengajak 20 warga mengikuti pelatihan tanggap kebencanaan guna meningkatkan respons warga terhadap ancaman bencana di perkampungan mereka.
Kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan beragam kegiatan itu menjalankan program yang terkait dengan sejumlah kegiatan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dinas kelautan dan perikanan, serta Universitas Bung Hatta, Padang.
”Pemuda pokoknya harus diberi pelatihan, seperti pelatihan kewirausahaan, perikanan, dan pengolahan ikan,” kata Darpius.
Pengaturan
Darpius memulai aktivitasnya di kanagarian itu sejak 2004. Dia pindah ke lokasi itu menyusul istrinya yang berasal dari nagari tersebut.
Sebelum ia memulai aktivitasnya, para nelayan cenderung menjalani kehidupan dengan begitu saja. Relatif tak ada penataan, termasuk perkampungan yang masih terkesan kumuh.
Kini, perkampungan nelayan itu tertata apik dengan rumah-rumah berikut pekarangan yang bersih. Kapal-kapal pencari ikan sandar dengan rapi di dermaga.
”Dulu sangat kumuh karena memang cenderung tidak ada cetak biru dari pemerintah mengenai penataan perkampungan nelayan,” katanya.
Bagaimana ia mengubah cara pandang sebagian besar nelayan di kawasan itu penuh liku-liku.
”Masa awal diberi tahu cara-cara yang baik dan bagaimana pengaturan harus dilakukan, memang ada yang tidak terima. Bahkan, ada yang lari dari ajakan,” katanya.
Saudara dari keluarga istrinya pun pada masa-masa awal itu juga sempat menentang aktivitasnya. Resistensi tersebut muncul karena sebagian besar warga sudah telanjur menjalani kehidupan dengan kebiasaan lama. ”Banyak yang mengatakan, kami sejak dulu model ikolah (seperti inilah). Tidak perlu diatur lagi,” kenang Darpius.
Ia menganalisis, sikap itu muncul karena cara pandang sebagian nelayan yang berpikir keseharian dan cenderung tak memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan produktif. ”Sebagian besar cenderung keras dalam bersikap dan berbahasa. Itu bisa dimaklumi karena dipengaruhi faktor alam dan lingkungan,” katanya.
Agar bisa diterima dengan baik, ia melakukan pendekatan secara perlahan. Sejumlah orang yang selama ini dianggap relatif sulit diatur terus dibina. Mereka akhirnya berubah menjadi tokoh masyarakat yang perilakunya bisa diteladani.
Kuncinya adalah mengajari anggota kelompok masyarakat agar mampu berbicara dan berkomunikasi. Ini sangat berguna karena kemampuan komunikasi akan berujung pada kemampuan beradaptasi. ”Selanjutnya akan dicintai orang dan ini akan memunculkan gairah hidup,” ujarnya.
Perlawanan
Hal itu berbuah ketika tahun 2010 dia melakukan perlawanan pada pemerintah yang berencana mengambil sekitar 30.000 kubik kayu di kawasan hutan Nagari Sungai Nyalo, Kabupaten Pesisir Selatan. Kayu-kayu besar itu akan ditebang untuk kebutuhan pembangunan rumah korban gempa bumi di Kabupaten Padang Pariaman pada 30 September 2009.
Padahal, jika hutan itu jadi digunduli, dampaknya kerusakan lingkungan hingga ke Nagari Ampang Pulai dan sekitarnya. Posisinya sebagai pegawai negeri sipil tak membuat Darpius kendur menentang kebijakan pemerintah ketika itu.
”Saya tantang mereka, kalau memang mau diteruskan, sekalian saja saya suruh masyarakat membabat habis semua hutan yang ada. Rencana penebangan hutan itu tidak jadi dilakukan karena kami juga mendapat dukungan pemerintah pusat.”
Kini, bagi warga nagari yang melanggar dan merusak lingkungan, mekanisme sanksi sosial berupa pengucilan mulai diperketat. ”Bentuknya bisa berupa tidak diberi bantuan, tidak diajak dalam kelompok, dan sebagainya,” kata Darpius.
Kini, sehari-hari Darpius membagi waktunya sebagai Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pesisir Selatan dengan aktivitasnya di tengah masyarakat. Sebagai penasihat sejumlah organisasi kemasyarakatan, Darpius berkeliling ke kantong-kantong kegiatan masyarakat dan merelakan waktu tidurnya hanya sekitar empat jam sehari.
”Alasan saya kenapa mau seperti ini karena memang saya senang bermasyarakat dan cinta lingkungan. Bukan mau dilirik orang, tetapi karena paling tidak ini akan berguna buat anak cucu saya,” ucap anak kelima dari tujuh bersaudara itu.
Sumber:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/31/02123581/Memberdayakan.Nelayan.dengan.Organisasi