Untuk menghasilkan selembar kain dibutuhkan waktu sekitar 14 hari.
Kain tenun khas Sulawesi Tenggara (Sultra) seperti kain khas Tolaki, Buton, dan Muna, kini menjadi buruan para wisatawan baik turis domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke provinsi tersebut. Sayangnya, produk kerajinan tradisional warisan leluhur itu malah kurang bisa menarik minat warga setempat.
Masyarakat belum memanfaatkannya sebagai bahan pakaian untuk digunakan sehari-hari. Mayoritas mereka lebih memilih mengenakan pakaian dari bahan tenunan tradisional ketika menghadiri pesta adat atau pagelaran tradisi budaya masyarakat lokal.
“Kami tidak paham mengapa penggunaan tenun tradisional khas daerah ini belum membudaya di masyarakat Sultra. Mereka baru memakainya kalau ada pesta adat atau ritual budaya,” kata Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sultra, Sahibo, dalam percakapan dengan SH di Kendari, Senin (24/6) lalu.
Padahal, tutur Sahibo, Pemerintah Provinsi Sultra sudah membudayakan penggunaan pakaian berbahan kain tenun khas daerah melalui instruksi gubernur yang mewajibkan pegawai di lingkungan instansi pemerintah memakai pakaian berbahan kain tenun khas daerah satu kali dalam lima hari kerja.
Sebaliknya, justru para wisatawan selalu membeli kain batik khas Tolaki, Buton, dan Muna sebagai cendera mata. “Yang banyak diburu tamu adalah ragam hias mua, batik tenun khas Tolaki dan motif garis-garis lurus, kain tenun khas Buton. Kedua motif itu biasanya berwarna jingga muda, kelabu, biru laut, kuning susu, hijau lumut, dan merah samar,” katanya.
Selain itu, bahan yang digunakan menenun kain ragam hias mua juga berbahan benang warna emas yang dibentuk dengan motif garis halus dan kesan bunga kecil. Di dalam tatanan masyarakat Tolaki dan Buton, motif kain tenun tradisional tersebut mengandung nilai-nilai kearifan budaya lokal.
Bernilai Tinggi
Kain tenun Tolaki, Buton, dan Muna bernilai cukup tinggi. Untuk satu helai kain ukuran 4 x 1 meter dijual seharga Rp 320.000-375.000. Dalam bentuk pakaian jadi seperti kemeja harganya Rp 250.000-300.000 per lembar. Kain syal yang biasa dijadikan sebagai penutup kepala perempuan ditawarkan seharga Rp 30.000 per lembar.
Meski begitu, kerajinan tenun ini belum digeluti sebagai usaha yang menjanjikan masa depan. Masalahnya, menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) atau alat tenun tradisional, seorang perajin hanya bisa menyelesaikan kain tenun ukuran panjang 4 meter dan lebar 1 meter, dengan jumlah maksimal tiga lembar dalam sebulan.
Seorang perajin kain khas Sultra, Syamsiah (26), yang ditemui di Kendari, Sabtu (22/6) pekan lalu mengaku, kerajinan kain tenun tradisional khas Sultra belum bisa dijadikan sumber utama pendapatan keluarga, karena untuk menghasilkan satu lembar kain dibutuhkan waktu sekitar 14 hari.
“Dengan harga jual antara Rp 320.000-375.000 per helai, seorang perajin hanya bisa memperoleh pendapatan antara Rp 200.000-250.000 per bulan. Pendapatan itu jelas tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari,” kata Syamsiah. Oleh sebab itu, rata-rata perajin di daerah ini membuat kerajinan kain khas daerah hanya sebagai pekerjaan sambilan, bukan mata pencarian pokok.
Seorang petugas Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sultra, Samsiah menilai, kurangnya minat masyarakat memakai pakaian berbahan kain tenun khas daerah karena kain tersebut kalah bersaing dengan produk-produk industri maupun bahan impor yang dijual di sejumlah mal dan pasar.
Selain itu, masyarakat pada umumnya lebih bangga menggunakan produk asing daripada memakai hasil karya sendiri. “Pakaian khas daerah yang dimiliki setiap daerah di Indonesia sama nasibnya dengan penggunaan bahasa Indonesia. Sebagian besar kalangan lebih suka dan bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia yang menjadi warisan leluhurnya,” Samsiah mengingatkan.
Ia sangat mengapresiasi upaya Pemerintah Provinsi Sultra yang telah membudayakan pemakaian kain tenun khas daerah di lingkungan instansi pemerintah sekali dalam lima hari kerja. Namun, seyogianya upaya tersebut diikuti tindakan nyata dengan mendorong para perajin kain tenun tradisional khas daerah untuk menciptakan corak dan motif kain yang menarik selera konsumen dan kompetitif di pasar.
“Kalau corak dan motif kain tenun khas daerah dibuat lebih menarik, masyarakat akan gemar memakai pakaian khas daerah,” tambahnya.
Sahibo, Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra menilai, prospek kain tenun khas daerah Sultra ke depan akan terus membaik dan menjanjikan masa depan. Pada setiap event nasional yang diselenggarakan di Sultra, kain tenun tradisional khas daerah ini banyak diminta para tamu undangan sehingga omzet penjualannya meningkat saat ada kegiatan nasional di Sultra.
http://www.shnews.co/detile-21281-tersingkir-di-kampung-sendiri.html